Sukses

Jejak Sejarah Sepatu dari Zaman Batu hingga Era Modern, Terselip di Antara Jerami

Sejarah panjang sepatu dimulai sejak zaman batu, di mana sepatu kulit tertua menjadi perintis tren alas kaki. Tidak ada sepasang sepatu khusus yang menandai awal sejarah alas kaki, karena bentuk dan bahan sepatu bervariasi sesuai dengan iklim dan medan yang berbeda. Awalnya, sepatu berfungsi sebagai kebutuhan praktis untuk melindungi kaki, namun seiring waktu, pemakaian sepatu berkembang menjadi tren mode, mencerminkan perubahan gaya hidup dan identitas seseorang.

Liputan6.com, Jakarta Tradisi mengenakan sepatu diyakini telah ada jauh sebelum penemuan sepatu tertua yang ditemukan. Bukti awal kemungkinan munculnya kebiasaan menggunakan alas kaki ditemukan dalam fosil manusia berusia 40.000 tahun yang memiliki tulang jari kaki yang lemah.

National Geographic mencatat temuan ini sebagai indikasi sejarah panjang manusia dalam mengenakan sepatu sebagai bagian integral dari evolusi peradaban. Pada periode itu, tidak ada pasang sepatu khusus yang menandai awal perjalanan sejarah alas kaki, karena bentuk dan bahan sepatu bervariasi sesuai dengan iklim dan medan yang berbeda.

Di wilayah utara, sepatu terbuat dari kulit tebal dan dilengkapi dengan bulu serta jerami untuk memberikan kehangatan, sementara di wilayah selatan, sebagian besar orang menggunakan alas kaki dari daun kelapa atau serat papyrus. Sepatu awalnya dikenakan sebagai kebutuhan praktis untuk melindungi kaki, tetapi seiring berjalannya waktu penggunaan sepatu mengalami perkembangan menjadi tren mode.

Manusia tidak lagi memakai sepatu hanya untuk kegunaannya, tetapi juga untuk mengikuti perkembangan gaya dan gaya hidup. Saat ini, sepatu tidak sekadar berfungsi sebagai pelindung atau aksesori, melainkan juga menjadi representasi dari identitas dan selera fashion individu.

 

2 dari 14 halaman

1. Sepatu Oetzi

Pada tahun 1991, penelitian arkeologi di pegunungan Alpen, Austria mengungkapkan penemuan yang menarik berupa manusia mumi bernama Oetzi, yang diyakini hidup pada zaman batu sekitar 5.300 tahun yang lalu.

Keberadaan langka ini semakin istimewa karena Oetzi ditemukan masih memakai sepatu kulit. Sepatu tersebut tampaknya dirancang secara khusus untuk menghadapi salju, memiliki sifat kedap air dan sol lebar yang terbuat dari kulit beruang, sementara bagian atasnya menggunakan kulit rusa.

Bagian jaring-jaring sepatu dibuat dari kulit pohon, dan jerami diletakkan di sekitar kaki di dalam sepatu, menyerupai fungsi kaos kaki modern. Meskipun jahitannya kecil dan kurang handal mengingat keterbatasan alat pada masa itu, sepatu Oetzi memberikan pandangan menarik tentang kecerdikan manusia prasejarah dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan alam mereka.

Sepatu Oetzi menjadi saksi bisu perjalanan panjang manusia dalam menemukan solusi kreatif untuk bertahan hidup dalam kondisi alam yang ekstrim.

3 dari 14 halaman

2. Sepatu Kulit Armenia

Dalam penggalian arkeologis yang dilakukan di Gua Armenia, sebuah temuan menarik muncul dengan ditemukannya sepatu kulit tertua yang masih dalam kondisi baik. 

Berdasarkan perhitungan tanggal radiokarbon, sepatu ini diperkirakan berasal dari sekitar 3.500 SM, pada masa logam Armenia. Sepatu tersebut ditemukan terisi rumput dan memiliki bentuk yang mirip dengan Moccasin, yaitu sepatu tanpa hak yang terbuat dari kulit bertekstur lembut, dalam hal ini, sepotong kulit sapi. Tali kulit digunakan untuk menjahit bagian depan dan tumit sepatu.

Sepatu ini, ketika dipakai mampu menutupi area tumit dan kaki. Menariknya, sepatu ini dapat dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan, karena minimnya informasi tentang kaki orang Armenia pada masa itu. 

Dari segi ukuran, jika dibandingkan dengan ukuran kaki modern, sepatu ini lebih mirip dengan ukuran kaki perempuan, yakni sekitar ukuran 7 dalam ukuran AS. Temuan ini memberikan wawasan unik tentang sejarah perkembangan sepatu dan gaya hidup masyarakat Armenia pada masa lalu, sambil mempertahankan pesona dan keunikan desain sepatu zaman dahulu.

4 dari 14 halaman

3. Sepatu Mesir

Sepatu yang datar dan berbentuk perahu ini adalah salah satu pencapaian luar biasa dalam desain dari zaman Mesir Kuno, sekitar tahun 1550 SM. Yang membedakan, sepatu ini terbuat dari anyaman bulu, memberikan kesan ringan dan fleksibel saat digunakan.

Tali sepatu dihasilkan dari buluh yang panjang dan tipis, yang kemudian dilapisi dengan potongan buluh yang lebih lebar, menambahkan sentuhan estetika yang unik.

Kepraktisan bentuk sepatu ini mencerminkan kecerdikan perancang sepatu pada masa itu dalam menciptakan alas kaki yang nyaman dan berfungsi. Yang menarik, gaya desain sepatu ini ternyata masih relevan hingga abad ke-19, menunjukkan ketekunan dan ketahanan ide-ide inovatif dalam dunia mode.

Temuan ini tidak hanya memberikan wawasan tentang kemajuan teknologi pembuatan sepatu pada masa Mesir Kuno, tetapi juga mencerminkan warisan kreativitas dalam sejarah evolusi desain alas kaki yang terus berkembang dari waktu ke waktu.

5 dari 14 halaman

4. Sepatu Rami

Sebuah penemuan bersejarah muncul melalui penggalian arkeologis di jalur sustra kuno, Dunhuang utara, Tiongkok, dengan sebuah sepatu yang berasal dari rentang waktu 68-56 SM.

Sepatu ini dibuat dari beberapa lapisan tanaman rami yang dijahit bersama dengan teknik yang mirip dengan teknik perca atau quilting. Selain berfungsi sebagai alas kaki, jahitan pada sepatu ini juga memiliki unsur dekoratif yang menambah keindahan estetika secara keseluruhan.

Selain menjadi bukti kepiawaian dalam penggunaan tanaman rami sebagai bahan utama, sepatu ini juga mencerminkan tingkat detail dan keindahan dalam proses pembuatannya. Sepatu serupa bahkan dapat ditemui pada kaki tentara terakota di Xi'an, menunjukkan kesinambungan gaya dan teknik pembuatan alas kaki ini dalam konteks budaya yang lebih luas pada masa itu. 

6 dari 14 halaman

5. Sepatu Bebat Kaki

Jejak yang unik dalam sejarah mode muncul dari lingkungan kekaisaran Tiongkok pada masa Dinasti Song abad ke-10 M, yaitu jenis sepatu yang kemungkinan pernah dipakai oleh perempuan pada periode tersebut.

Pada masa itu, praktik pembebatan kaki menjadi bagian dari budaya yang umum, terutama di kalangan wanita dengan status sosial yang lebih tinggi. Praktik ini bertujuan untuk menghambat pertumbuhan kaki dan menjaga ukuran kaki tetap kecil, sekitar 8 cm, yang dianggap sebagai standar kecantikan pada masa tersebut.

Pembebatan kaki tidak hanya berperan sebagai norma kecantikan, tetapi juga mencerminkan hierarki sosial dan norma keanggunan pada zaman kekaisaran Tiongkok. Fenomena ini mencerminkan sejarah penampilan dan norma kecantikan yang unik dalam masyarakat tersebut.

Pada tahun 1911, dengan berakhirnya masa kekaisaran, praktik pembebatan kaki diresmikan oleh pemerintah sebagai langkah menuju perubahan sosial dan kesetaraan gender. Dengan demikian, jejak sepatu ini tidak hanya mencerminkan transformasi dalam mode, tetapi juga melibatkan perubahan sosial dan kebijakan yang signifikan di Tiongkok pada abad ke-20.

7 dari 14 halaman

6. Poulaine

Pada abad ke-12, perajin sepatu di Eropa mengawali tren yang unik dengan menciptakan sepatu berujung lancip yang dikenal sebagai poulaine. Sepatu-sepatu ini memiliki ujung yang sangat sempit dan terbuat dari kulit, menciptakan tampilan yang elegan namun ekstrem.

Pada akhir abad ke-14, bentuk poulaine mencapai puncaknya dengan sepatu yang memiliki ujung sangat lancip dan meruncing ke atas. Namun, popularitas poulaine tidak hanya membawa dampak positif. Pada masa itu, banyak orang yang menjadi korban mode, terutama di kalangan bangsawan.

Beberapa di antara mereka bahkan berpesta dengan sepatu yang begitu panjang dan sempit, sehingga terpaksa menalikan ujung sepatu mereka dengan pita elastis yang dipasang di sekitar lutut. Lingkungan istana Inggris terkenal karena ekstremnya gaya ini. Akibatnya, para pemakai poulaine mengalami kesulitan dalam berjalan.

Kondisi ini mencapai tingkat yang mengkhawatirkan hingga akhirnya pemerintah mengeluarkan aturan yang mengatur panjang sepatu. Aturan ini diperlukan untuk membatasi ukuran sepatu dan mengurangi risiko cedera serta kesulitan mobilitas yang disebabkan oleh tren mode yang ekstrem.

8 dari 14 halaman

7. Sepatu Ujung Bulat

Pada awal abad ke-16 di Inggris, variasi sepatu begitu beragam. Sepatu anak-anak pada masa tersebut umumnya berujung bundar dan terbuat dari bahan kulit. Salah satu ciri yang mencolok adalah adanya satu tali pengait di bagian atas sepatu, yang melintang dari satu sisi ke sisi lainnya.

Model sepatu ini, dengan sentuhan desain yang sederhana namun fungsional, telah membekas dalam sejarah mode dan masih dapat dijumpai hingga kini, terutama sebagai model sepatu untuk anak-anak. 

Desain yang ergonomis dan nyaman ini menjadi ikon dalam perkembangan sepatu anak-anak seiring berjalannya waktu. Melalui evolusi mode, sepatu ini tetap bertahan sebagai opsi yang populer untuk memberikan kenyamanan dan kepraktisan kepada anak-anak, menunjukkan bagaimana desain sepatu dari masa lalu dapat memberikan inspirasi dan warisan untuk generasi mendatang.

9 dari 14 halaman

8. Sepatu Cocor Bebek

Pada abad ke-16, dunia mode mengalami perubahan yang signifikan dalam desain sepatu. Sepatu tidak hanya menjadi lebih pendek, tetapi juga mengadopsi ujung yang lebih bulat, memperkenalkan tren sepatu cocor bebek ke dunia mode.

Contoh yang menarik dapat ditemukan dalam lukisan tahun 1536 yang menggambarkan Raja Henry VIII dari Inggris mengenakan pakaian paling mutakhir pada masa itu. Raja tersebut tampak anggun dengan sepatu cocor bebek yang memiliki lapisan atas berpola sayatan.

Sepatu ini ditandai dengan ujung yang membulat, menciptakan ilusi bentuk seperti paruh bebek yang sedang diperluas. Untuk meningkatkan kenyamanan dan memberikan bentuk yang lebih lebar, sepatu ini dilengkapi dengan bantalan khusus. Inovasi desain ini tidak hanya mencerminkan perubahan dalam preferensi mode pada masa itu, tetapi juga memberikan pandangan tentang bagaimana sepatu dapat menjadi simbol status dan gaya hidup pada masa lalu.

10 dari 14 halaman

9. Sepatu Hak Tinggi

Selama periode Renaisans, raja-raja Eropa mengenakan sepatu berhak sangat tinggi sebagai simbol supremasi dan status tinggi mereka. Sepatu ini bukan hanya aksesori mode, tetapi juga alat untuk menonjolkan kekuasaan dan keagungan.

Penggunaan sepatu berhak tinggi oleh para raja memungkinkan mereka tetap tampil anggun dan merasa dominan, bahkan saat melintasi kubangan air, karena tinggi hak sepatu mereka terkadang mencapai ukuran yang mencengangkan, yaitu mencapai 30 cm.

Salah satu tokoh terkenal yang memainkan peran penting dalam popularitas sepatu berhak tinggi adalah Raja Louis XIV dari Perancis. Keberaniannya mengenakan sepatu yang tinggi dan mewah menciptakan tren yang cepat menyebar di kalangan kaum bangsawan Eropa. Tren ini tidak hanya mencerminkan selera fashion pada masa itu, tetapi juga menjadi manifestasi visual dari kekuasaan dan kebangsawanan yang sangat dihormati.

11 dari 14 halaman

10. Chopine

Chopine, sebuah jenis platform sepatu, mencapai puncak popularitasnya pada abad ke-15, 16, dan 17 di Venesia.

Meskipun awalnya digunakan sebagai alat praktis untuk melindungi sepatu dan pakaian dari lumpur dan tanah jalanan, Chopine berkembang menjadi lebih dari sekadar alas kaki fungsional. Pertama kali diperkenalkan oleh pelacur, chopine kemudian diadopsi oleh perempuan bangsawan, menjadi simbol yang mencolok dari status sosial dari abad ke-15 hingga 17.

Chopine tidak hanya berperan sebagai pelindung sepatu, tetapi juga sebagai indikator status sosial. Semakin tinggi hak chopine, semakin tinggi status sosial pemakainya. Pada puncak popularitasnya selama Renaisans, beberapa chopine bahkan mencapai ketinggian lebih dari 50 cm.

Pada tahun 1430, pemerintah Venesia mencoba untuk mengendalikan tren ini dengan membatasi tinggi chopine hingga tiga inci melalui undang-undang. Meski demikian, aturan ini sering diabaikan, menunjukkan bahwa minat terhadap mode dan simbolisme status sosial sering kali dapat mengatasi batasan hukum pada masa itu.

12 dari 14 halaman

11. Gaya Barok (Baroque)

Sebagai kesenian, aliran ini berkembang di Eropa sekitar abad ke-16 hingga abad ke-18. Ini ditandai dengan gaya yang kompleks dan kecenderungan akan keagungan dan kemewahan. Gaya inipun mempengaruhi mode, khususnya model sepatu. Bahan beludru, satin, sutra, hiasan berbunga-bunga dan batu permata mewarnai sepatu-sepatu pada era ini. Itu baik yang dikenakan laki-laki maupun perempuan. Keterampilan hebat pun dibutuhkan bagi para pembuat sepatu. Tak ada produk masak pada era ini, karena masing-masing sepasang sepatu dibuat dengan tangan,

Khususnya ketika Charles II dikembalikan ke takhta pada 1660 muncul lagi perubahan mode. Sepatu berhak merah menjadi populer di Inggris. Terutama, gaya sepatu ini untuk menunjukkan status, baik untuk perempuan maupun pria.

13 dari 14 halaman

12. Sepatu Bot Kulit

Pada abad ke-18, dunia menghadapi tantangan besar, termasuk Perang Napoleon yang mengguncang Eropa. Setelah perang berlalu dan memasuki abad ke-19, terjadi perubahan signifikan dalam dunia mode, khususnya dalam desain sepatu yang menjadi lebih praktis. Pergeseran ini mencerminkan adaptasi terhadap kebutuhan dan preferensi masyarakat setelah melewati masa perang yang sulit.

Di abad ke-19, model sepatu mulai membedakan antara laki-laki dan perempuan. Pada saat yang bersamaan, tren ini menandai akhir dari dominasi sepatu berhak tinggi untuk laki-laki, karena model-model yang lebih praktis dan fungsional menjadi lebih diminati. Perempuan, di sisi lain, cenderung memilih sepatu yang lebih modis dan seringkali lebih beragam dalam desainnya.

14 dari 14 halaman

13. Sepatu Trendi

Pada paruh kedua abad ke-20, muncul tren sepatu yang dipengaruhi oleh keberhasilan budaya pop Amerika. Pada periode ini, dorongan untuk tampil berbeda, unik, dan menjadi bagian dari subkultur tertentu semakin memengaruhi citra pria dan wanita.

Seiring dengan perkembangan gaya hidup yang berbeda, bahan baku yang lebih terjangkau, dan struktur baru, dunia alas kaki mengalami transformasi yang signifikan. Sebelumnya, sepatu yang mewah dan berkualitas tinggi digantikan oleh alas kaki yang lebih modis dan selalu mengikuti tren warna.

Aktor dan penyanyi Hollywood berperan penting dalam membentuk popularitas model sepatu tertentu. Sebagai contoh, The Beatles membawa popularitas sepatu Chelsea ke tingkat global, sementara aktris Audrey Hepburn mengangkat sepatu kitten heels ke puncak popularitasnya.

Pengaruh dari ikon budaya ini tidak hanya terbatas pada layar kaca, melainkan juga menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Transformasi dalam desain sepatu mencerminkan pergeseran nilai dan norma dalam masyarakat, di mana gaya hidup dan ekspresi diri semakin menjadi fokus utama. Pada titik ini, sepatu bukan hanya aksesori biasa, tetapi juga menjadi pernyataan gaya dan identitas kultural.