Sukses

Sejarah Penggunaan Dasi Ternyata Diawali dari Militer China

Mengungkap asal-usul dasi, simbol mode tak terpisahkan, dari Fred Flintstone hingga terakota Tiongkok dan Roma. Petualangan menyelami sejarah dan makna sosialnya.

Liputan6.com, Jakarta Siapa yang tidak kenal Fred Flintstone, karakter utama dalam film serial animasi ‘The Flintstones’. Gambaran manusia zaman batu dengan pakaian kulit binatang dan dasi berwarna biru telah menjadi ikonik. Tetapi, apakah dasi benar-benar sudah dikenal di zaman batu? Pertanyaan ini membuka tirai mengenai asal-usul aksesori yang menjadi bagian integral dari busana modern. Sebagai simbol mode yang tak terpisahkan, dasi menghadirkan misteri sejarah yang menarik, memicu penelusuran mengenai peran dan evolusinya dari masa ke masa.

Dalam lintasan sejarah manusia, dasi ternyata tidak sekadar aksesori fesyen, melainkan awalnya merupakan lambang penghormatan di dunia militer. Jejak dasi dapat ditelusuri pada terakota di Tiongkok dan relief Colonna Traiana (Tiang Trajan) di Roma, Italia. Kedua lokasi ini memperlihatkan bahwa dasi tidak hanya menjadi bagian dari mode, tetapi juga membawa makna sosial dan simbolik yang mendalam. Kita akan menjelajahi bagaimana dasi melintasi batas budaya, mengekspresikan identitas, dan berkembang dari zaman ke zaman.

Penelusuran asal-usul dasi membawa kita ke masa kekaisaran Tiongkok dan peradaban Romawi di Italia. Pada masa itu, dasi bukanlah hanya aksesori penunjang penampilan, melainkan mencerminkan status sosial, kehormatan, dan kedudukan di masyarakat. Sebagai pengantar ke petualangan mengungkap sejarah dasi, kita akan menyelami akar budaya dan militer yang menjadi landasan penting bagi evolusinya. Dengan menyelidiki sisi yang tersembunyi dari asal-usul dasi, kita akan menemukan kisah menarik di balik aksesori ini yang melampaui sekadar gaya dan menembus ke dalam kompleksitas sejarah manusia.

2 dari 20 halaman

1. Tentara Terakota yang Menggunakan Kain di Leher (210 SM)

Dalam kompleks makam kaisar pertama Tiongkok, Qin Shi Huang, terletak sebuah fenomena mode yang mencengangkan: Dasi Tentara Terakota. Pada tahun 210 SM, ketika kaisar wafat, makamnya dibuat menjadi tempat peristirahatan abadi bersama ribuan prajurit terakota. Yang membuat perbedaan adalah kehadiran dasi yang terpampang di leher para prajurit tersebut. Ini adalah pernyataan mode yang tak terduga, menandakan bahwa bahkan dalam kematian, para prajurit tersebut dirancang untuk mempertahankan ketertiban dan keteraturan.

Dasi Tentara Terakota memberikan wawasan unik tentang pandangan mereka terhadap mode dan penampilan di masa lalu. Meskipun fungsi sebenarnya dari dasi tersebut mungkin tidak pernah dapat diketahui secara pasti, keberadaannya menunjukkan bahwa unsur-unsur fashion dan simbolisme sosial telah menjadi bagian integral dari budaya Tiongkok kuno. Kehadiran dasi pada prajurit terakota menciptakan narasi mode yang bersifat abadi dan merangkul nilai-nilai estetika bahkan di tengah situasi kematian.

Penting untuk mengapresiasi bahwa Dasi Tentara Terakota bukan hanya sebagai elemen dekoratif, tetapi juga sebagai cerminan kecanggihan seni dan warisan budaya pada masa Kaisar Qin Shi Huang. Makam ini menjadi situs arkeologi yang menggambarkan betapa pentingnya mode dalam konteks sejarah dan bahkan dalam ritual pemakaman yang megah. Dasi Tentara Terakota menjadi saksi bisu dari kekayaan budaya dan pemikiran estetika pada zaman kuno Tiongkok.

3 dari 20 halaman

2. Ribuan Tentara Troya yang Mengenakan Dasi dalam Relief (113 M)

Di tengah perjalanan sejarah yang tak terlupakan, Dasi Tentara Troya muncul sebagai elemen mode yang menghiasi kemenangan Kaisar Trajan dalam penaklukan Dacia. Colonna Traiana, yang dibangun sekitar tahun 113 M di Roma, Italia, menjadi saksi bisu dari kehebatan militer Romawi dan, tak kalah pentingnya, menjadi pameran fashion tentara Romawi. Dalam relief monumentalnya, ribuan tentara diabadikan dengan berbagai gaya dasi, menciptakan sebuah perayaan kemenangan yang memancarkan keanggunan.

Relief Colonna Traiana bukan hanya sekadar catatan visual dari kemenangan militer, tetapi juga sebuah karya seni yang merinci kehidupan sehari-hari tentara Romawi pada masa itu. Dasi yang terpampang di leher para prajurit menciptakan nuansa keanggunan yang tak terduga, memberikan dimensi baru pada aspek mode dalam keseharian mereka. Pilihan gaya dasi yang beragam menunjukkan bahwa meskipun dalam suasana perang, tentara Romawi tidak melupakan nilai-nilai estetika dan mode sebagai bagian dari identitas mereka.

Melalui Dasi Tentara Troya, Colonna Traiana memperlihatkan bahwa keindahan dan keanggunan dapat bersanding dengan kekuatan militer. Mode tidak hanya menjadi pengekspresian diri, tetapi juga elemen yang mendukung citra kejayaan dan kehormatan militer Romawi. Dengan gaya dasi yang bervariasi, relief ini menjadi bukti bahwa bahkan dalam konteks perang, elemen mode dapat menjadi sarana untuk merayakan keindahan dan mengabadikan gaya hidup tentara Romawi yang begitu khas pada zamannya.

4 dari 20 halaman

3. Aksesori Leher di Zaman William Shakespeare (1564-1616)

Ruff, aksesori leher yang penuh keanggunan, mencapai puncak popularitasnya pada masa keemasan William Shakespeare, pujangga terkemuka asal Inggris. Masa hidup Shakespeare, yang berlangsung dari 1564 hingga 1616, menjadi saksi bagi tren mode yang mencakup penggunaan aksesori leher yang dikenal dengan sebutan Ruff. Ruff adalah sebuah karya seni dalam mode yang menghiasi leher dengan kekakuan dan keindahan yang memukau.

Dalam zamannya, Ruff menjadi simbol status sosial dan selera fashion yang tinggi. Aksesori ini berbentuk kerah kaku dari kain putih yang bertumpuk-tumpuk dan melingkari leher. Kekakuan dan kemewahan Ruff menciptakan kesan elegan, mencerminkan kehalusan dan keanggunan kaum elit pada masa Renaissance Inggris. Seiring berjalannya waktu, Ruff mengalami berbagai evolusi dalam bentuk dan ukuran, tetapi kehadirannya tetap melambangkan kejayaan mode di masa lalu.

William Shakespeare, sebagai figur kunci di era Elizabethan dan Jacobean, tidak hanya mengukir warisan sastra tetapi juga menyaksikan tren mode yang mencolok. Dalam karyanya yang timeless, Shakespeare mungkin saja menginspirasi atau merangkul elemen-elemen mode seperti Ruff. Melalui Ruff, kita dapat menjelajahi bukan hanya sejarah mode, tetapi juga bagaimana seni dan sastra merajut bersama untuk menciptakan narasi keindahan yang abadi.

5 dari 20 halaman

4. Cravat di Pangkuan Tentara Bayaran Krosia (Abad ke-17)

Cravat, dianggap sebagai leluhur elegan dari dasi modern, memulai perjalanannya pada abad ke-17. Sebagai evolusi mode yang mengantar kehadiran dasi, cravat ditemukan dalam pangkuan tentara bayaran Krosia, yang membantu Prancis selama Perang Tiga Puluh Tahun. Seiring waktu, cravat bukan hanya sekadar elemen fungsional, melainkan menjadi simbol penampilan yang menarik dan bergaya.

Abad ke-17 menyaksikan popularitas cravat meroket, terutama setelah Louis XIV naik tahta di Prancis. Dengan kepemimpinan Raja Matahari ini, cravat menjadi lambang mode yang mendefinisikan istana Prancis. Cravat tidak lagi terbatas pada lingkup militer, melainkan merambah ke dunia mode kelas atas. Dikenakan dengan gaya dan variasi yang semakin berkembang, cravat memunculkan gaya yang menjadi ikonik pada masa itu dan membentuk dasar untuk perkembangan selanjutnya dari aksesori leher yang tak terpisahkan.

Louis XIV memainkan peran kunci dalam membawa cravat dari aspek militer menjadi elemen fashion yang berdandan. Perkembangan ini menciptakan tren baru dalam dunia pakaian, memperlihatkan bahwa keindahan dan elegansi dapat diwujudkan melalui aksesori leher. Dengan kenaikan tahtanya, cravat menjadi lebih dari sekadar elemen fungsional, tetapi merajut cerita keindahan yang mendukung tampilan mewah dan bergaya di istana Prancis dan selanjutnya di seluruh Eropa.

6 dari 20 halaman

5. Kain Tentara Prancis di Pertempuran Steinkirke (1692)

Pada tahun 1692, aksesori leher Steinkirke mencatat momen penting dalam sejarah mode militer. Dikenakan oleh tentara Prancis selama pertempuran di Steinkirke, Steinkirke menjadi simbol gaya dan anggun di medan perang pada abad ke-17. Aksesori ini terbentuk dari sehelai kain panjang yang diatur di leher dengan ujung berenda yang terselip dengan anggun melalui lubang kancing.

Steinkirke bukan hanya sebuah aksesori praktis di medan perang, tetapi juga menciptakan sebuah pernyataan mode yang menonjol. Desainnya yang anggun dan kerapian memberikan sentuhan elegan pada seragam tentara, menciptakan kesan bahwa gaya dan kelas tidak harus dikorbankan di tengah peperangan. Steinkirke membawa nuansa mode yang tak terduga ke dalam konteks militer, menunjukkan bahwa estetika dapat menjadi bagian integral bahkan di tengah kekacauan pertempuran.

Aksesori leher Steinkirke mencerminkan evolusi mode pada masa itu, memperlihatkan bahwa keindahan dapat tumbuh di tempat-tempat yang tak terduga. Terlepas dari tujuannya yang fungsional, Steinkirke membuktikan bahwa keanggunan dan kelas dapat diintegrasikan dalam segala lapisan kehidupan, bahkan di medan perang yang keras dan menantang pada masa abad ke-17.

7 dari 20 halaman

6. Bandana Pertama Kali Diimpor dari India (1700)

Bandana, kain serbaguna yang kaya sejarahnya, pertama kali diimpor dari India sekitar tahun 1700. Namun, popularitasnya meledak di Inggris berkat Jem Belcher, seorang petinju muda dari kelas pekerja yang menjadi pionir dalam bentuk awal tinju. Bandana bukan hanya menjadi elemen fungsional bagi Belcher, tetapi juga menjadi simbol perlawanan dan keberanian, menciptakan tren mode yang merambah lintas kelas sosial.

Di Amerika, bandana memiliki cerita populer yang berbeda. Sebelum popular di Inggris, bandana sudah dikenal di wilayah barat Amerika dan menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya koboy. Para koboy Amerika mengenakan bandana sebagai pelindung dari debu dan panas gurun, menciptakan ikon gaya yang bertahan hingga saat ini. Bandana di Amerika menjadi simbol kebebasan dan petualangan di tanah tandus Wild West.

Dari arena tinju Inggris hingga debu jalanan di Wild West Amerika, bandana telah melewati perjalanan panjang yang mencerminkan fleksibilitasnya sebagai aksesori serbaguna. Sebagai sebuah kain, bandana telah memperlihatkan kemampuannya untuk menyatu dengan berbagai konteks budaya dan sosial, dari arena pertarungan hingga padang pasir tandus, menciptakan ikon gaya yang mewakili semangat dan keberanian.

8 dari 20 halaman

7. Kain Lipat Kaku dari Pita Hitam Sutra (Abad ke-18)

Pada awal abad ke-18, dunia mode menyaksikan perubahan signifikan dalam aksesori leher dengan munculnya solitaire. Cravat yang sebelumnya dominan mulai digantikan oleh stock, sebuah kain lipat nan kaku yang melingkupi leher dan diikat atau dikancingkan di bagian belakang. Stock menampilkan kekakuan yang berbeda, dan untuk memberikan sentuhan dekoratif, solitaire diperkenalkan. Solitaire terdiri dari seuntai pita hitam sutra yang disimpulkan di bawah dagu, menciptakan tampilan yang mirip dengan dasi kupu-kupu modern.

Solitaire tidak hanya berfungsi sebagai elemen fungsional, tetapi juga menghadirkan unsur dekoratif yang kaya pada pakaian. Pengenalan pita hitam sutra memberikan dimensi estetika yang baru pada aksesori leher, menambahkan sentuhan elegan pada gaya pria pada masa itu. Penampilan solitaire yang bersahaja namun berkelas menggambarkan evolusi mode yang terus berubah, membuka jalan bagi variasi dan inovasi dalam desain aksesori leher selanjutnya.

Sebagai pelengkap stock, solitaire memberikan alternatif yang memikat, menggambarkan pergeseran selera mode pada era cravat abad ke-18. Kombinasi antara kekakuan stock dan sentuhan dekoratif solitaire menciptakan harmoni antara fungsi dan gaya, membuktikan bahwa aksesori leher pada masa itu tidak hanya menjadi kebutuhan praktis, tetapi juga ekspresi dari estetika dan kelas.

9 dari 20 halaman

8. Gaya Modern Brummell (Abad ke-19)

Pada awal abad ke-19, George Bryan "Beau" Brummell dari Inggris menjadi ikon gaya modern dengan pandangan sederhana, fungsional, dan bijaksana mengenai pakaian pria. Brummell, yang terkenal sebagai pemimpin mode pada zamannya, menyatakan bahwa seorang pria seharusnya mengenakan pakaian yang bersifat ringan, praktis, dan dikenakan dengan bijaksana. Fokusnya pada cravat, salah satu aksesori utama pada masa itu, mencerminkan kesederhanaan Brummell.

Ia memilih cravat putih bersih yang dilipat dengan hati-hati, memberikan perhatian khusus pada detail dan tampil rapi. Gaya berbusana Brummell, yang memungkinkan dirinya untuk berhenti dan membenahi cravatnya kapan pun, menjadi landasan bagi konsep gaya modern yang tidak hanya memperhatikan penampilan tetapi juga kenyamanan dan kepraktisan.

Pandangan fashion Brummell tidak hanya menjadi norma di kalangan elit, tetapi juga mempengaruhi gaya berbusana kaum pria pada umumnya. Penekanannya pada kebersihan dan penampilan rapi membentuk landasan untuk pakaian sehari-hari yang sederhana dan berfungsi, memudahkan perawatan dan meminimalkan kerumitan. Pengaruh Brummell menciptakan pergeseran dalam persepsi terhadap mode pria, memupuk pemahaman bahwa keanggunan tidak selalu harus berkaitan dengan kemewahan atau kelebihan. Gaya modern ala Brummell tetap relevan, mengingatkan kita bahwa pakaian dapat menjadi ungkapan diri yang sederhana namun efektif.

10 dari 20 halaman

9. Pertama Kali Muncul Istilah “Tie” (1818)

Pada tahun 1818, muncul buku yang mengubah pandangan terhadap cara memasang dasi dan membawa istilah "tie" (dasi) untuk pertama kalinya. Buku tersebut, berjudul "Neckclothitania," dikarang oleh seorang editor Inggris bernama John Joseph Stockdale. Karya ini tidak hanya menyoroti kecanggihan dan variasi dalam memakai dasi tetapi juga memberikan panduan praktis dalam 14 ilustrasi gaya populer pada saat itu.

"Neckclothitania" menjadi panduan gaya yang sangat berharga bagi pria pada abad ke-19. Buku ini mengungkapkan keberagaman dalam memasang dasi dan menunjukkan bahwa dasi bukan hanya aksesori praktis tetapi juga ekspresi dari gaya dan kreativitas individu. Penggunaan kata "tie" untuk merujuk pada dasi dalam buku ini menjadi langkah penting dalam membentuk kosakata mode pria, dan istilah ini terus melekat dalam bahasa sehari-hari hingga saat ini.

Berkat "Neckclothitania," pemakai dasi tidak hanya memiliki panduan praktis tetapi juga dapat merayakan kreativitas dan gaya pribadi mereka. Karya ini tidak hanya menjadi buku mode pada masanya tetapi juga menyisakan warisan yang mencolok dalam memahami peran dasi sebagai elemen kunci dalam busana pria.

11 dari 20 halaman

10. Adopsi Gaya Four-in-hand (1860)

Pada tahun 1860-an, terjadi evolusi signifikan dalam desain cravat yang mendekati bentuk dasi modern yang kita kenal saat ini. Cravat dengan ujung yang panjang mulai mengadopsi gaya yang dikenal sebagai "four-in-hand." Cravat ini mendapatkan julukan tersebut karena cara penggunaannya yang melibatkan simpulan yang sederhana dan efisien, sering kali disebut sebagai dasi bersilang. Seiring dengan perubahan ini, dasi mulai menjadi lebih panjang dan lebih menjuntai di bagian depan kemeja, membentuk estetika yang menggoda dan lebih kasual dibandingkan dengan cravat sebelumnya.

Dengan munculnya four-in-hand, dasi menjadi semakin populer di kalangan pria pada era tersebut. Simpulan sederhana dan gaya penampilan yang kurang formal mencerminkan pergeseran tren menuju gaya yang lebih santai dan praktis. Four-in-hand bukan hanya menciptakan tampilan yang lebih bersahaja tetapi juga menandai transisi penting dari cravat tradisional ke dasi modern, menggambarkan semangat praktis dan gaya yang mulai mendominasi busana pria pada abad ke-19.

Four-in-hand tetap menjadi gaya dasi yang relevan dan populer hingga saat ini. Dengan simpulan yang mudah dibuat dan penampilan yang cocok untuk berbagai kesempatan, four-in-hand menjadi ikonik dalam dunia dasi dan terus menjadi pilihan yang dicintai oleh pria yang menghargai keseimbangan antara gaya santai dan tampilan yang menarik.

12 dari 20 halaman

11. Dasi Siap Pakai (1864)

Tahun 1864 menandai tonggak sejarah dalam dunia mode pria dengan munculnya dasi siap pakai yang diproduksi secara massal. Inovasi ini menjadi sorotan utama di Jerman dan Amerika Serikat, mengubah cara pria memilih dan mengenakan dasi. Sebelumnya, dasi sering kali dibuat secara manual atau dipesan khusus, namun dengan diperkenalkannya dasi siap pakai, aksesori ini menjadi lebih mudah diakses oleh berbagai lapisan masyarakat.

Dasi siap pakai membawa dampak signifikan terhadap industri pakaian pada masa itu. Produksi massal memungkinkan dasi menjadi bagian integral dari trend mode yang berkembang pesat, memungkinkan pria untuk mengikuti gaya terkini tanpa harus melibatkan proses yang rumit. Popularitas dasi siap pakai juga mencerminkan perubahan dalam gaya hidup masyarakat yang semakin dinamis, di mana kesederhanaan dan kenyamanan menjadi nilai yang semakin dihargai.

Keberhasilan dasi siap pakai pada abad ke-19 melampaui sekadar kemudahan dan kenyamanan. Ini juga mencerminkan perkembangan industri dan teknologi pada masa itu yang memfasilitasi produksi massal. Dengan adanya dasi siap pakai, aksesori ini bukan lagi hak istimewa para elit, tetapi menjadi bagian dari gaya sehari-hari, menandai era di mana mode pria semakin demokratis dan mudah diakses oleh semua kalangan.

 

13 dari 20 halaman

12. Aksesori Leher Untuk Perlombaan Kuda (1870)

Pada tahun 1870-an, dunia mode pria menyambut kemunculan Ascot, aksesori leher yang memancarkan elegansi dan gaya. Nama Ascot diambil dari perlombaan kuda terkenal, Royal Ascot, di Inggris. Aksesori ini umumnya terbuat dari bahan sutra dengan warna-warna cerah yang menarik perhatian, menambahkan sentuhan keanggunan pada penampilan pria pada masa itu. Ascot dipakai di sekeliling leher dan disimpulkan di bawah dagu, memberikan tampilan yang bersahaja namun tetap sopan.

Keterkaitan Ascot dengan dunia perlombaan kuda memberikan nilai tambah pada aksesori ini. Dipilihnya nama Ascot bukan hanya sebagai penghormatan terhadap tradisi perlombaan kuda yang bergengsi, tetapi juga sebagai simbol gaya yang terinspirasi oleh keanggunan dan semangat perlombaan. Dengan dominasi bahan sutra dan pemilihan warna yang mencolok, Ascot mencerminkan tren mode yang berfokus pada keberanian dan ekspresi diri, menjadikannya salah satu aksesori yang mendefinisikan gaya pria pada era akhir abad ke-19.

Pengaruh Ascot dalam dunia mode pria tetap relevan hingga saat ini. Aksesori ini tidak hanya menjadi pilihan untuk acara formal atau perlombaan kuda, tetapi juga melampaui batasan tersebut, menunjukkan daya tahan dan adaptabilitasnya sebagai elemen gaya yang dapat diintegrasikan dalam berbagai konteks dan kesempatan.

14 dari 20 halaman

13. Dasi Kupu-kupu Bergaya Tuksedo (Abad ke-19)

Dasi kupu-kupu, aksesori leher yang ikonik, memasuki panggung mode berkat Pierre Lorillard V, seorang pengusaha tembakau Amerika pada akhir abad ke-19. Lorillard memopulerkan pemakaian dasi kupu-kupu dengan gaya tuksedo, menyajikan alternatif yang elegan untuk jas berekor yang umum pada masa itu. Keputusan ini mengukuhkan tuksedo Lorillard sebagai tren mode yang memukau di kalangan penggemar mode pada zamannya.

Pengaruh dasi kupu-kupu yang dipopulerkan oleh Lorillard masih dapat dirasakan hingga kini. Pemilihan dasi kupu-kupu sebagai pelengkap tuksedo memberikan sentuhan unik dan berkelas pada penampilan pria, menciptakan kesan formal namun tetap eksentrik. Meskipun tuksedo Lorillard mungkin tidak lagi menjadi tren utama, penggunaan dasi kupu-kupu tetap menjadi simbol gaya yang timeless dan tetap relevan dalam dunia mode pria modern.

Dengan pandangan inovatif Lorillard pada akhir abad ke-19, dasi kupu-kupu bukan hanya menjadi pilihan aksesori leher yang populer tetapi juga meresapi gaya pria untuk waktu yang lama. Pemakaian dasi kupu-kupu terus memberikan kontribusi pada evolusi mode pria, membuktikan bahwa gaya klasik dan elegan tetap abadi sepanjang masa.

15 dari 20 halaman

14. Terobosan Jesse Langsdorf (1924)

 

Tahun 1924 menjadi tonggak sejarah bagi dunia dasi ketika Jesse Langsdorf, seorang penjahit pakaian berbasis di New York, memperkenalkan bentuk dasi modern yang kemudian dipatenkan. Inovasi Langsdorf membawa perubahan drastis dalam desain dan cara pembuatan dasi, meresapi kepraktisan dan daya tahan dalam elemen fesyen yang menjadi bagian penting dari busana pria.

Paten yang diberikan kepada Langsdorf menandai dimulainya era baru dalam evolusi dasi. Dengan menemukan cara untuk menjahit dasi dari beberapa potongan kain yang diatur sedemikian rupa, Langsdorf berhasil menciptakan dasi yang dapat mengembang dan merapat kembali tanpa kehilangan bentuknya. Hal ini memberikan kenyamanan dan daya tahan yang lebih baik dibandingkan dengan desain dasi sebelumnya. Terobosan ini tidak hanya menciptakan dasi yang lebih praktis tetapi juga membuka pintu bagi variasi desain dan warna yang lebih luas.

Dengan kontribusi penting dari Jesse Langsdorf, dasi modern yang kita kenal saat ini menjadi semakin populer di kalangan pria. Desainnya yang inovatif dan fungsional memberikan dasi peran yang lebih substansial dalam dunia fesyen, memperluas penggunaannya dari sekadar elemen formal menjadi aksesori yang melibatkan banyak gaya dan situasi.

16 dari 20 halaman

15. Dasi dengan Lebar 10 CM (1970)

Pada tahun 1970, pengusaha busana Amerika, Ralph Lauren, mengguncang dunia mode pria dengan meluncurkan dasi berlebar 10 cm yang menjadi ikon gaya pada era tersebut. Dasi model ini segera mendapatkan dukungan dan kepopuleran dari masyarakat luas. Ralph Lauren berhasil membawa inovasi ke dalam desain dasi, mengubah paradigma ukuran dan gaya yang umum pada masa itu.

Dasi Ralph Lauren dengan lebar 10 cm menandai perubahan signifikan dalam tren mode pria pada dekade tersebut. Desain yang lebih lebar memberikan sentuhan yang lebih mencolok dan dramatis pada penampilan pria. Model ini segera menjadi simbol gaya yang diinginkan, mencerminkan semangat revolusioner dalam dunia fesyen pada era 1970-an. Pengaruhnya bahkan terasa hingga saat ini, menunjukkan bahwa inovasi Ralph Lauren tidak hanya sekadar tren sesaat tetapi juga menciptakan warisan gaya yang abadi.

Kehadiran dasi Ralph Lauren tidak hanya membawa perubahan pada dimensi fisik dasi itu sendiri, tetapi juga memperkaya ekspresi pribadi dalam busana pria. Desain yang berani dan menarik memberikan kesempatan bagi pria untuk mengekspresikan kepribadian mereka melalui aksesori ini. Dengan meluncurkan dasi berlebar, Ralph Lauren menciptakan perubahan gaya yang mengilhami dan membentuk pandangan terkini tentang mode pria.

17 dari 20 halaman

16. Dasi Kasual yang Dipopulerkan Avril Lavigne (2002)

Pada tahun 2002, penyanyi asal Kanada, Avril Lavigne, menjadi pelopor dalam mempopulerkan pemakaian dasi secara kasual, terutama di kalangan remaja putri. Avril Lavigne membawa angin segar dalam dunia fashion dengan mengintegrasikan dasi ke dalam pakaian sehari-hari, menciptakan gaya yang santai, namun penuh dengan karakter.

Inovasi Avril Lavigne dengan dasi kasual membuka pintu bagi variasi baru dalam gaya pakaian remaja. Dengan memadukan dasi dalam penampilannya, Lavigne membuktikan bahwa aksesori ini tidak hanya terbatas pada acara formal atau mode pria, melainkan dapat menjadi bagian yang seru dan kreatif dalam busana sehari-hari. Pilihan ini memicu tren fashion di kalangan remaja dan menandai pergeseran paradigma dalam cara dasi dianggap dan dikenakan.

Dengan keberanian dan gaya Avril Lavigne, dasi kasual menjadi simbol pemberontakan dan kemandirian dalam mode remaja. Pengaruhnya dapat dilihat dalam tren sepanjang 2000-an dan seterusnya, menunjukkan bahwa dasi tidak hanya sebagai aksesori formal atau maskulin, tetapi juga sebagai pernyataan gaya yang dapat diakses oleh semua kalangan dan genre dalam dunia fashion.

18 dari 20 halaman

Apa fungsi dari dasi?

Dasi adalah seutas kain panjang yang umumnya dipakai di sekitar leher sebagai aksesori pada pakaian, terutama untuk pria. Dasi sering digunakan sebagai bagian dari pakaian formal, seperti setelan jas atau kemeja berkerah, dan dapat memberikan sentuhan akhir yang elegan pada penampilan.

 

19 dari 20 halaman

Kenapa dasi diciptakan?

Awal penggunaan dasi diketahui terjadi pada masa kekaisaran Romawi. Ketika itu dasi digunakan oleh para juru bicara kekaisaran, bentuknya sangat sederhana, hanya berupa kain yang dililitkan ke leher. Para prajurit Romawi pun menggunakan penutup leher tersebut untuk melindungi diri ketika berperang.

 

20 dari 20 halaman

Apa hukum memakai dasi dalam Islam?

Berdasarkan penjelasan di atas, Mufti Siraj Desai memandang bahwa dasi bukanlah simbol salib dan bukanlah simbol agama. Sebab itulah seorang Muslim boleh menggunakannya dalam kondisi tertentu. Namun, karena dasi (saat ini) tidak memiliki fungsi kecuali hanya sebagai model, maka makruh memakainya.

 

Video Terkini