Sukses

Setelah 115 Tahun, Pusaka Keris Puputan Klungkung Kembali ke Indonesia, Punya Sejarah Tragis

Keris pusaka Klungkung, saksi bisu tragedi pembantaian Belanda di Puri Smarapura, kembali setelah 115 tahun. Berhulu emas, ukiran Batara Bayu, dan bilah nikel bergelombang, keris ini repatriasi penting dalam 472 objek sejarah dari Belanda.

Liputan6.com, Jakarta Pusaka yang menyimpan cerita kelam di balik pembantaian oleh Belanda di Puri Smarapura kini telah pulang ke tanah air setelah menghabiskan 115 tahun dalam keterasingan. Sebuah keris pusaka yang menjadi saksi bisu tragedi tersebut membawa sejarah panjang yang kini terungkap setelah menjalani serangkaian penelitian.

Bagian hulu atau gagangnya yang berlapis emas dengan taburan permata menarik perhatian, sementara ukiran yang menghiasi menggambarkan sosok Batara Bayu atau Dewa Bayu, sang penguasa angin penangkal kejahatan. Bilah bergelombangnya yang terbuat dari nikel dan warangka berbahan kayu berlapis ukiran keemasan memberikan ciri khas yang mengidentifikasi keris ini sebagai pusaka asal Klungkung, Bali.

Laporan provenance research dengan judul "Kris buitgemaakt bij Klungkung" (keris yang diambil di Klungkung) menjadi kunci penting dalam memverifikasi keaslian dan asal-usul keris pusaka tersebut. Diterbitkan oleh Comissie Koloniale Collecties dengan nomor advies I-2023-2, laporan ini memperkuat status artefak tersebut sebagai bagian dari repatriasi sejarah dari Belanda ke Indonesia.

Keris pusaka Klungkung menjadi salah satu dari 472 objek bersejarah yang mengalami serah terima resmi di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, pada 10 Juli 2023. Inisiatif ini merupakan langkah konkret untuk mengembalikan kepingan sejarah yang lama terpendam dan memberikan penghormatan kepada pusaka-pusaka yang menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah di Indonesia.

2 dari 10 halaman

1. Keris Pusaka yang Menyimpan Sejarah Peristiwa Puputan Klungkung

Keris pusaka Klungkung mengandung sejarah tragis yang terkait erat dengan peristiwa Puputan Klungkung pada tanggal 28 April 1908. Puputan ini muncul sebagai bentuk perlawanan tanpa kompromi dari Kerajaan Klungkung yang dipimpin oleh Dewa Agung Jambe II terhadap kampanye militer Belanda. Pemerintah kolonial Belanda saat itu berusaha memonopoli perdagangan opium, dan Puputan Klungkung menjadi panggung pertempuran sengit yang berakhir dengan pengorbanan besar dari pihak Klungkung. Letnan Haremaker tewas pada 16 April 1908, memicu serangkaian kejadian termasuk penjarahan dan pembakaran gudang candu oleh laskar Klungkung sebagai bentuk protes terhadap monopoli tersebut.

Seiring eskalasi konflik, pemerintah kolonial Belanda mengambil langkah ekstrem dengan mendatangkan pasukan bantuan ke Pelabuhan Sanur. Kapal Hr.Ms. Mataram membawa 144 prajurit dan sejumlah meriam berdiameter 3,7 cm di bawah pimpinan Letnan Laut J. J. Heilbron. Pasukan ini bersatu dengan pasukan KNIL yang dipimpin oleh Kapten Carpentier Alting dan Letkol J.A.M. van Schauroth untuk menyerang laskar Klungkung. Peristiwa ini menciptakan pemandangan yang memilukan, dan Puputan Klungkung menyisakan jejak kepahlawanan dan perlawanan sengit dalam sejarah perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme di Bali.

Catatan riset yang mendalam membeberkan latar belakang dan dinamika peristiwa Puputan Klungkung, yang menjadi titik awal terpisahnya keris pusaka Klungkung dari tanah airnya. Sebagai bagian dari serangkaian repatriasi barang-barang bersejarah dari Belanda, keris ini membawa cerita yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dari masa lalu yang kini menjadi bagian dari warisan budaya Indonesia yang harus dijaga dan dihormati.

3 dari 10 halaman

2. Laskar Klungkung dari Kalangan Brahmana

Keistimewaan laskar Klungkung terungkap dalam keragaman sosialnya, tidak hanya terdiri dari kalangan rakyat umum hingga kalangan (kasta) Ksatria, tetapi juga melibatkan kalangan Brahmana. Yang menarik, persenjataan mereka jauh dari secanggih tentara Belanda, sebagian besar hanya bersenjatakan tombak dan keris. Meskipun tidak memiliki kecanggihan peralatan perang, semangat dan tekad laskar Klungkung dalam mempertahankan tanah air mereka terpancar melalui perlawanan sengit yang mereka tunjukkan.

Terungkap bahwa peran para Brahmana dalam Puputan tidak selalu mencolok dibandingkan dengan para Ksatria, tetapi ada petunjuk yang menunjukkan bahwa Brahmana juga memegang peranan penting dalam memimpin laskar Klungkung. Salah satu contohnya adalah Ida Bagus Jumpung, seorang brahmana Gelgel yang turut ambil bagian dalam memimpin laskar. Namun, ketika para brahmana pemimpin laskar tewas dalam pertempuran, perlawanan dari serdadu Klungkung terhenti. Puncak tragisnya terjadi pada 28 April 1908, di mana sekitar 108 prajurit laskar Klungkung tersisa nama mereka setelah berusaha dengan gigih menahan gempuran Belanda yang menyerang Puri Smarapura.

Peristiwa Puputan Klungkung bukan hanya mencerminkan keberanian dan tekad laskar dari berbagai lapisan masyarakat, tetapi juga menggambarkan kepahlawanan sejati yang mampu mempertahankan martabat dan kehormatan, meskipun harus menghadapi kekuatan musuh yang jauh lebih besar dan modern. Cerita ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah perjuangan melawan penjajahan di Bali yang patut dihormati dan diabadikan.

4 dari 10 halaman

3. Pemilik Keris Pusaka Klungkung yang Masih Menjadi Pertanyaan

 

Puputan Klungkung menyisakan duka yang mendalam, dengan 108 anggota keluarga istana yang tewas, termasuk wanita dan anak-anak, serta sekitar 1.000 prajurit. Pembantaian yang dilakukan oleh kolonial Belanda mendapat kecaman di Eropa, di mana pemerintah kolonial dianggap tidak mampu menaklukkan kerajaan kecil di Bali tanpa mengorbankan ribuan nyawa. Kritik ini menyoroti kegagalan pendekatan diplomasi dalam menangani konflik, menciptakan citra kekejaman pemerintah kolonial yang mengejutkan di mata publik internasional. Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern mencatat tragisnya peristiwa ini dalam sejarah pahit perlawanan Bali Utara.

Setelah Puputan Klungkung, jenazah Raja Klungkung, Dewa Agung Jambe II, beserta para pengikutnya dibakar, dan abunya dihanyutkan ke laut melalui Sungai Unda. Peristiwa ini menciptakan tragedi ganda, di mana tidak hanya korban jiwa yang melibatkan kerajaan dan prajurit, tetapi juga kehilangan pusaka bersejarah dari Puri Smarapura. Salah satunya adalah keris pusaka Klungkung yang kemudian dijarah oleh Belanda. Meskipun penyelidikan asal-usul belum dapat memastikan apakah keris ini dimiliki oleh Dewa Agung Jambe II atau kerabat dekatnya, tetapi keberadaannya menjadi saksi bisu dari peristiwa tragis yang terjadi pada zaman itu.

Laporan Comissie Koloniale Collecties mencatat ketidakpastian mengenai kepemilikan keris pusaka Klungkung oleh Dewa Agung Jambe II atau kerabat dekatnya. Meskipun demikian, artefak ini tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari narasi pahit perlawanan dan penjajahan di Bali, mengingatkan kita akan harga besar yang dibayar oleh masyarakat Bali dalam upaya mempertahankan identitas dan martabat mereka.

5 dari 10 halaman

4. Repatriasi, Wujud Penghormatan terhadap Warisan Budaya Indonesia

Keris pusaka Klungkung, saksi bisu tragedi Puputan Klungkung, mengalami perjalanan panjang setelah dibawa ke Belanda tujuh bulan setelah peristiwa tersebut, pada medio November 1908. Tiba di Belanda pada awal 1909, keris tersebut menjadi bagian dari koleksi etnografi KMA atau akademi militer Belanda di Breda. Selama bertahun-tahun, keris pusaka ini tetap berada di tanah Belanda, khususnya di Nationaal Museum van Wereldculturen sejak tahun 1956 dan disimpan di Museum Volkenkunde, Leiden, dengan nomor registrasi RV-3600-193.

Pada tahun 2023, sebuah langkah sejarah terjadi ketika keris pusaka Klungkung bersama dengan lebih dari 400 artefak Indonesia lainnya direpatriasi dari Belanda. Setelah berabad-abad meninggalkan tanah airnya, keris tersebut akhirnya kembali ke Indonesia, menyusul usaha dan kerja sama antara pihak Indonesia dan Belanda. Proses repatriasi ini menjadi momen penting yang menandai pengembalian kepingan sejarah yang berharga, memberikan penghormatan kepada warisan budaya yang selama ini terpisah dari akarnya.

Pengembalian ini menegaskan komitmen untuk mengembalikan artefak sejarah ke tempat asalnya, membangkitkan kebanggaan nasional, dan merayakan keberagaman budaya yang menjadi identitas bangsa.

6 dari 10 halaman

Siapa pemimpin Puputan Klungkung?

Ida Dewa Agung Jambe adalah Raja Klungkung yang menjadi penerus Dinasti Gelgel. Agung Jambe gugur saat perang puputan melawan Belanda pada 28 April 1908.

 

7 dari 10 halaman

Kapan Kerajaan Klungkung runtuh?

Kerajaan Klungkung berakhir dengan perang Puputan Klungkung tahun 1908 sebagai kerajaan terakhir di Bali yang melakukan perlawanan dengan cara puputan dalam mempertahankan eksistensinya sebagai kerajaan yang merdeka terhadap meluasnya praktik politik kolonial Belanda di Nusantara.

 

8 dari 10 halaman

Kapan ulang tahun Klungkung?

Alm. Ida Dewa Agung Jambe gugur saat perang puputan melawan Belanda pada 28 April 1908. Peristiwa itu dikenal sebagai Hari Puputan Klungkung dan menjadi Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Semarapura.

 

9 dari 10 halaman

Kapan terjadinya perang Puputan Klungkung?

Perang Puputan Klungkung (21 April 1908), diawali oleh peristiwa Perang Gelgel yang meletus tanggal 18 April 1908.

 

10 dari 10 halaman

Pura apa saja yang ada di Klungkung?

Pura Sad Khayangan merupakan enam pura utama di Bali (Pura Besakih, Pura Lempuyang, Pura Goa Lawah, Pura Batukaru, Pura Uluwatu, dan Pura Pusering Jagat). Pura Goa Lawah Pura Sthana Dewa Maheswara tersebut memang selalu ramai dikunjungi oleh umat.