Sukses

Jejak Sejarah Kurug, Pakaian Elegan Jawa yang Berakar Sejak Abad ke-10

Pakaian tanpa lengan yang awalnya terkait dengan upacara khusus telah mengalami transformasi besar, menjadi bagian tak terpisahkan dari tren fashion kontemporer. Dulu memiliki makna simbolis dan digunakan pada acara formal, sekarang pakaian ini terlihat dalam gaya sehari-hari. Sejarah batik juga mencerminkan hubungan budaya dan perdagangan antara India dan Indonesia, dengan pengaruh motif Patola terasa hingga saat ini.

Liputan6.com, Jakarta Pakaian tanpa lengan, yang sebelumnya hanya dikenakan pada upacara tertentu kini mengalami transformasi signifikan di dunia mode. Dahulu, busana ini mempunyai makna simbolis dan hanya dipakai dalam acara formal atau seremonial. Namun, pergeseran zaman membuat pakaian tanpa lengan melibas ke dalam gaya busana sehari-hari.

Perkembangan serupa terjadi pada batik, motif tradisional Indonesia. Awalnya hanya muncul dalam konteks acara formal, batik sekarang menjadi bagian utama dari gaya busana sehari-hari. Fleksibilitas tinggi dalam penggunaan motif batik mencakup berbagai jenis pakaian, termasuk blus, kemeja, hingga kaos sebagai atasan, sementara tetap dijaga sebagai bawahan dalam bentuk kain lembaran dan sarung.

Motif batik Jlamprang dari Pekalongan dan batik Nitik dari Yogyakarta kini meraih popularitas tinggi di kalangan masyarakat Jawa modern, sebagai hasil adaptasi dari motif Patola India yang telah meluas di berbagai wilayah Nusantara. Sejarah batik juga mencerminkan hubungan perdagangan dan budaya yang luas antara India dan Indonesia, di mana motif Patola dari India telah menyebar di Nusantara, terutama di Jawa. Adopsi motif ini diwujudkan dalam karya seni tekstil Indonesia, menciptakan motif batik yang khas dan menarik. Pengaruh motif Patola Gujarat masih terasa hingga dekade 1930-an, memberikan kontribusi signifikan pada warisan budaya Indonesia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

1. Asal Pakaian Kurug

Motif kurug, yang awalnya merupakan pakaian para agamawan kini memiliki sejarah yang kaya dalam budaya Jawa. Sebagai contoh pada arca Durga Mahisasuramardhini, istri Dewa Siwa memakai kurug, sebuah atasan yang menutupi payudara sampai di atas pusar. Motif pada pakaian ini berupa bunga-bunga kecil yang menyerupai bentuk patola.

Khususnya, kurug dianggap sebagai pakaian istimewa, dan hak untuk mengenakannya tidak hanya terbatas pada kalangan agamawan, tetapi juga diberikan kepada rakyat biasa yang berjasa terhadap raja. Siti Maziyah, seorang dosen sejarah di Universitas Diponogoro, menjelaskan bahwa kurug memiliki peran penting dalam upacara tertentu, seperti upacara penetapan Sima atau pembebasan suatu lahan dari pajak.

Bagi masyarakat umum, penggunaan kurug tidak hanya terbatas pada kalangan agamawan, tetapi juga telah menjadi bagian dari pakaian upacara untuk rakyat biasa. Sebagai contoh, dalam upacara penetapan Sima atau pembebasan tanah dari pajak, masyarakat umum dapat memakai kurug untuk menutupi tubuh bagian atas.

Prasasti Waharu IV, yang berasal dari masa pemerintahan Raja Mpu Sindok dan ditemukan di Gresik, Jawa Timur, mencatat bahwa para pendeta yang memimpin upacara penetapan Sima juga memakai kurug. Informasi dari prasasti ini mengungkapkan bahwa masyarakat umum diizinkan memakai kurug pada abad ke-10, pada masa pemerintahan Mpu Sindok, menandai perkembangan penggunaan pakaian istimewa ini di kalangan yang lebih luas.

3 dari 5 halaman

2. Pemakaian Kurug

Kurug, sebagai busana adat Jawa ini tidak hanya terkait dengan patung Durga Mahisasuramardhini, tetapi juga muncul dalam gambaran tokoh lain, seperti Mahakala dan Nandiswara, yang merupakan perwujudan Siwa sebagai penjaga pintu candi.

Walaupun kurug yang dipakai oleh keduanya mirip dengan yang dikenakan oleh Durga Mahisasuramardhini, yaitu berupa penutup dada hingga di atas pusar, terdapat perbedaan dalam aksen dan motif. Kurug pada Mahakala dan Nandiswara menyerupai crop top modern, menggambarkan kain tipis yang dipakai secara ketat di bagian atas tubuh.

Sejarah penggunaan kurug tercatat dalam Prasasti Kakurugan yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga pada tahun 1022. Prasasti ini memberikan penghargaan Sima dan hak istimewa lain kepada keluarga Dyah Kaki Ngadu Lengen, menunjukkan penggunaan kurug dalam konteks penganugerahan.

Pada tahun 1294, prasasti Kudadu, peninggalan dari masa Majapahit, mencatat penggunaan kurug oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk brahmana, ksatriya, waisya, dan sudra, dalam upacara penetapan desa sebagai Sima yang dianugerahkan oleh Raja Kertarajasa Jayawardhana. Prasasti ini membeberkan bahwa kurug tidak sekadar menjadi pakaian simbolis, melainkan mencerminkan keragaman penggunaannya di berbagai golongan sosial.

4 dari 5 halaman

3. Keistimewaan Kurug

Keunikan kurug tidak hanya terletak pada pola dan desainnya, tetapi juga pada tempat istimewa yang disediakan bagi mereka yang memiliki hak mengenakannya. Dalam budaya Jawa, tempat istimewa ini dikenal dengan sebutan Kakurugan.

Menurut Kamus Jawa Kuna yang ditulis oleh Zoetmulder, Kakurugan memiliki makna sebagai tempat tinggal bagi individu yang berhak menggunakan kurug. Fakta ini menggambarkan bahwa penggunaan kurug bukan hanya terkait dengan pakaian semata, melainkan juga terhubung dengan aspek ruang sosial dan identitas spesifik para pemakainya.

5 dari 5 halaman

4. Kurug Masa Kini

Walaupun kurug pada awalnya adalah bagian dari peralatan upacara dengan nuansa seremonial, peran dan maknanya saat ini telah berubah. Pakaian yang menyerupai kurug kini lebih umum ditemukan di kota-kota besar dan tidak terbatas pada upacara formal. Sebaliknya, busana ini telah menjadi bagian dari gaya santai, terutama sering dipakai oleh wanita.

Perubahan ini mencerminkan dinamika perubahan budaya dan mode dalam masyarakat, di mana tradisi lama mampu beradaptasi dengan gaya hidup yang lebih modern dan santai.

Dengan perkembangan ini, kurug tidak hanya mempertahankan keunikannya dalam sejarah dan makna seremonialnya, melainkan juga mengalami evolusi menjadi bagian yang terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan ini mencerminkan fleksibilitas dan adaptabilitas budaya, di mana unsur-unsur tradisional dapat tetap relevan dalam konteks kontemporer.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini