Liputan6.com, Jakarta Dalam serangkaian serangan Israel di Jalur Gaza selama beberapa waktu terakhir, dampaknya signifikan terhadap banyak struktur, termasuk sekolah, masjid, dan gereja. Salah satu gereja yang terkena dampak adalah Gereja Santo Porphyrius, yang diakui sebagai gereja tertua ketiga di dunia. Pastor Hanna Maher dengan keluarganya yang masih berada di Gaza, merasakan kecemasan mendalam karena serangan Israel yang dilancarkan tanpa pandang bulu, bahkan menargetkan tempat ibadah.
Dalam usahanya mencari dukungan dari denominasi atau kelompok keagamaan, Pastor Maher terpisah dari keluarganya saat konflik melanda Gaza. Ketika konflik mencapai tingkat intensitas yang tinggi, keluarga Pastor Maher mencari perlindungan di Gereja Santo Porphyrius. Namun, sayangnya, gereja ini menjadi sasaran serangan udara Israel pada tanggal 19 Oktober, menyebabkan kerusakan parah dan menewaskan sejumlah orang yang sedang mencari perlindungan di dalamnya.
Baca Juga
Meskipun pihak Israel membela serangannya dengan menyatakan bahwa mereka menargetkan bangunan di sekitar gereja yang diduga sebagai markas komando milisi Hamas, Patriarkat Ortodoks Yunani Yerusalem dan beberapa petinggi organisasi Nasrani mengecam tindakan tersebut sebagai kejahatan perang. Serangan ini mendapat kritik luas karena menyerang tempat ibadah dan tempat perlindungan sipil, melibatkan banyak anak-anak dan perempuan yang kehilangan tempat tinggal akibat serangan udara.
Advertisement
1. Peninggalan Penyebar Kristen Ortodoks
Gereja Santo Porphyrius, yang terletak di Alun-Alun Zaytun di kota tua Gaza ini menjadi salah satu situs bersejarah yang memiliki keistimewaan sebagai gereja tertua ketiga yang masih aktif digunakan oleh umat Kristen Ortodoks Yunani di seluruh dunia.
Rania Filfil Almbaid, penulis 'Gaza: The Missing Tourism Assets,' menjelaskan bahwa gereja ini berada di bawah naungan Patriarkat Ortodoks Yunani Yerusalem dengan dimensi bangunan 22,9 x 8,9 meter. Arsitektur Gereja Santo Porphyrius menarik perhatian dengan bentuk persegi panjangnya yang dilengkapi dengan kubah setengah lingkaran, serta memiliki akses jalan masuk yang unik yang terletak di bawah tanah.
Gereja ini didedikasikan untuk Porphyrius (347-420 Masehi), seorang misionaris dan uskup di Gaza pada periode 395-420 M. Porphyrius datang ke Gaza dari Salonica, kota tua yang dikelilingi oleh delapan gerbang, ketika usianya mencapai 45 tahun.
Walaupun berasal dari keluarga Kristen yang beberapa anggotanya menjadi martir selama Persekusi Diocletianic pada tahun 303 M, Porphyrius diberi tanggung jawab besar untuk menyebarkan agama Kristen di tengah masyarakat yang mayoritas masih mempraktikkan pemujaan berhala. Informasi ini menggambarkan peran bersejarah Gereja Santo Porphyrius sebagai tempat ibadah yang menghormati warisan dan jejak perjalanan Porphyrius dalam menyebarkan ajaran Kristen di wilayah tersebut.
Advertisement
2. Lahirnya Gereja Porphyrius
Porphyrius, seorang misionaris dan uskup di Gaza pada abad ke-4, tidak hanya berperan dalam penyebaran agama Kristen di wilayah tersebut, tetapi juga aktif dalam meruntuhkan kuil-kuil berhala sebagai bagian dari misinya. Pada bulan Mei tahun 402 M, Porphyrius memulai tindakan penghancuran kuil-kuil dan berhala di Gaza, diawali dengan tindakan pada Kuil Marneion yang dibangun oleh Kaisar Hadrian untuk menghormati dewa pertanian, Zeus Marnas.
Setelah penghancuran tersebut, Porphyrius berhasil mendapatkan dukungan keuangan dari Ratu Eudoxia di Konstantinopel untuk membangun sebuah gereja, yang diberi nama sesuai dengan sang ratu pada tahun 407. Tindakan ini tidak hanya mengakhiri praktik paganisme di wilayah tersebut, tetapi juga menjadi penanda keberhasilan Kekristenan di sana.
Uskup Porphyrius wafat pada tanggal 26 Februari 420 M, dan jasadnya dimakamkan di Gaza. Lima tahun setelah kematiannya, para pengikutnya mendirikan gereja kecil yang kemudian berkembang menjadi Gereja Santo Porphyrius. Namun, pada tahun 640, gereja ini mengalami kehancuran oleh pasukan Persia, dan selama periode kedatangan Islam, banyak umat Kristen memilih meninggalkan Gaza.
Gereja Santo Porphyrius baru dibangun kembali pada abad ke-12 oleh pasukan Perang Salib. Kesamaan arsitektur dan proses pembangunannya dengan gereja Latin lain di Gaza menunjukkan bahwa gereja ini mengalami kerusakan dan direkonstruksi oleh pasukan Perang Salib sekitar tahun 1150 atau 1160.
3. Renovasi Gereja
Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada tahun 1856, gereja ini menjalani proses renovasi tambahan. Dalam renovasi tersebut, bentuk arsitektur dari era Perang Salib dijaga dengan teliti, sementara kompleks gereja mengalami perluasan yang terbatas. Sayangnya, sejak meletusnya Perang Enam Hari pada tahun 1967, gereja ini menjadi sasaran serangan dari pihak Israel.
Gereja Santo Porphyrius mengalami kerusakan berulang akibat serangan udara yang dilancarkan oleh Israel, mengakibatkan rusaknya bangunan bersejarah dan pencurian sejumlah artefak bernilai tinggi. Laporan yang disusun oleh Sarah Irving dalam 'Palestine' mencatat bahwa anggota komunitas Ortodoks Yunani menyatakan bahwa sejumlah artefak gereja dirampas oleh tentara Israel pada tahun 1967 dan selanjutnya dipindahkan ke beberapa museum di Yerusalem.
Meskipun terus dihadapkan pada tantangan dan kerusakan, Gereja Santo Porphyrius tetap berdiri sebagai simbol ketangguhan spiritual dan sejarah, menyimpan jejak-jejak perubahan zaman dan konflik yang melanda kota Gaza.
Advertisement
4. Konflik yang Terjadi
Dalam deretan konflik yang berkepanjangan antara Palestina dan Israel, Gereja Santo Porphyrius telah menjadi saksi bisu dari rangkaian serangan Israel yang tak kunjung usai sejak zaman abad ke-12. Meskipun gereja ini diakui sebagai tempat ibadah Kristen Ortodoks Yunani, sejarah mencatat bahwa gereja ini juga menjadi tempat perlindungan bagi warga Muslim dan Kristen.
Bahkan, ketika Israel melancarkan serangan ke Gaza pada musim panas tahun 2014, Gereja Santo Porphyrius kembali menjadi tempat aman bagi warga yang kehilangan tempat tinggal akibat serangan tersebut.
Pentingnya gereja ini sebagai tempat perlindungan sangat terlihat, terutama saat dalam suasana perang pada bulan suci Ramadhan, di mana halaman gereja menjadi tempat diadakannya ibadah Laylat Alqadr (Salat Tarawih). Ritual tersebut merupakan momen ibadah penting dalam Islam yang mengenang malam amalan Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian, Gereja Santo Porphyrius bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah Kristen, melainkan juga menjadi simbol toleransi dan perlindungan bagi berbagai komunitas agama yang hidup berdampingan di tengah tantangan dan ketegangan konflik yang terus berlangsung di wilayah tersebut.
Question and Answer
1.Kapan gereja pertama kali didirikan?
Gereja pertama kali didirikan pada waktu sekitar 40 hari setelah kebangkitan Yesus (sekitar tahun 30-34 Masehi). Yesus telah menjanjikan pendirian gereja-Nya (Matius 16:18), dan janji tersebut tergenapi dengan kedatangan Roh Kudus pada hari Pentakosta (Kisah 2:1–4)..
Â
Advertisement
2. Di mana letak gereja terbesar di dunia?
Gereja Terbesar di Dunia dengan Arsitektur Menawan terletak di Vatikan. Gereja ini memiliki luas mencapai 15.160 M2, menjadikannya bangunan gereja terbesar di dunia yang mampu menampung hingga 60.000 orang.
Â
3. Di mana letak gereja tertua di Indonesia?
Gereja Katedral Santo Petrus di Bandung, yang juga dikenal dengan sebutan Gereja Katedral Bandung, merupakan karya arsitektur neo-Gothic akhir yang dirancang oleh Ir. Charles Proper Wolff Schoemaker.
Advertisement