Liputan6.com, Jakarta Babi ngepet, fenomena yang tak hanya merambah ke dimensi ekonomi, tetapi juga mengakar pada pandangan masyarakat terhadap kekayaan, kekotoran, dan bahkan perempuan. Keberadaan babi hutan berwarna hitam yang tiba-tiba muncul di permukiman di Depok, Jawa Barat, menciptakan kehebohan di kalangan warga yang cepat menangkap dan melabelinya sebagai babi ngepet.
Namun, dibalik dramatisasi ini, polisi mengungkapkan fakta yang mengejutkan. Seorang ustaz menjadi tersangka dalam penyebaran hoaks tentang babi ngepet tersebut. Polisi mendapati bahwa ustaz tersebut membeli babi, menaruhnya di permukiman, dan dengan sengaja menyebarkan isu tersebut. Motif di balik aksi ustaz ini ternyata adalah keinginan untuk mendapatkan ketenaran.
Baca Juga
Isu mengenai babi ngepet bukanlah hal yang baru dan telah muncul berkali-kali di beberapa wilayah Indonesia. Namun, menurut penelitian sejarah oleh Boomgaard, penggunaan uang sudah dikenal sejak masa kerajaan Hindu-Buddha dan Kesultanan Islam di Hindia Belanda. Keberadaan babi ngepet sebagai cerita rakyat, bagaimanapun, tidak dapat dihubungkan dengan periode sejarah tersebut. Cerita ini justru menjadi lebih populer dan menyebar luas setelah abad ke-20.
Advertisement
Fenomena babi ngepet tidak hanya sekadar cerita rakyat, tetapi mencerminkan dinamika sosial dan budaya yang melibatkan aspek-aspek seperti agama, kepercayaan, dan keadaan ekonomi. Melalui kasus-kasus seperti ini, dapat ditelusuri bagaimana ketakutan dan kekhawatiran masyarakat tercermin dalam cerita-cerita tradisional yang terus berkembang seiring dengan waktu.
1. Cerita Babi Ngepet sebagai Cerita Likantropi
Menurut Boomgaard, cerita seperti babi ngepet mencerminkan aspek-aspek budaya dan kepercayaan yang tidak selalu sejalan dengan tingkat atau langkah perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam analisisnya, Boomgaard mengkategorikan cerita babi ngepet sebagai cerita likantropi, di mana seseorang dapat berubah sementara waktu menjadi binatang. Istilah ini sejatinya berasal dari pengalaman orang Eropa dengan mitos manusia serigala. Dalam konteks cerita babi ngepet, likantropi dapat diartikan sebagai representasi spiritual atau sementara perubahan bentuk manusia menjadi binatang.
Lebih lanjut, Boomgaard menyajikan dua pengertian likantropi yang dapat merambah pada cerita-cerita serupa. Pertama, likantropi dapat melibatkan pengalaman di mana jiwa seseorang sebentar masuk ke dalam tubuh binatang, menggambarkan keterkaitan erat antara manusia dan alam. Kedua, likantropi juga dapat merujuk pada konsep jiwa atau roh orang mati yang berubah atau masuk ke dalam tubuh binatang, menunjukkan aspek spiritual dan kepercayaan pada kehidupan setelah mati.
Dengan demikian, cerita babi ngepet bukan sekadar kisah hewan mistis, melainkan pantulan kompleks dari keyakinan dan nilai-nilai budaya yang melibatkan hubungan antara manusia, alam, dan roh. Analisis Boomgaard memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana kepercayaan lokal dan mitos menggambarkan kompleksitas pikiran masyarakat dan hubungannya dengan dunia spiritual.
Advertisement
2. Konsep Nyegik
G.W.J. Drewes, seorang indolog Belanda, memberikan gambaran tentang likantropi di Hindia Belanda, dengan memfokuskan pada konsep-konsep seperti nyegik, ngetek, dan ngipri dalam bahasa Sunda. Menurut Drewes, nyegik merujuk pada perubahan seseorang menjadi babi, sedangkan ngetek menggambarkan transformasi menjadi kera, dan ngipri mencirikan perubahan menjadi ular. Penjelasan ini membuka pandangan tentang keragaman dan kekayaan budaya di Hindia Belanda, yang mencakup kepercayaan-kepercayaan mistis dan mitos lokal.
Drewes juga menyajikan perbandingan antara nyegik dan ngopet, menyebut ngopet sebagai "cara magis untuk menjadi kaya" yang berbeda dengan nyegik. Meski sama-sama terkait dengan keinginan untuk mencapai kekayaan, ngopet tidak melibatkan perubahan bentuk menjadi babi. Dalam ngopet, individu yang memiliki pengetahuan khusus diyakini dapat mencapai kekayaan dengan cara yang berbeda, yaitu dengan mengonsumsi kotoran dan meyakini bahwa tindakan tersebut akan membawa kemakmuran.
Penelitian Drewes pada awal abad ke-20 memberikan wawasan yang menarik tentang kepercayaan masyarakat Jawa pada masa itu dan bagaimana keinginan untuk kekayaan dapat tercermin dalam praktik-praktik mistis yang beragam. Konsep likantropi dalam bahasa Sunda menjadi salah satu contoh bagaimana keyakinan lokal membentuk pandangan manusia terhadap dunia spiritual dan upaya mencapai tujuan ekonomi atau kekayaan.
3. Cerita Rakyat Soetakarja yang Mirip dengan Kisah Babi Ngepet
Dalam konteks nyegik, Drewes memaparkan dua cerita yang menjadi cerita rakyat di sekitar Kaliwatubumi, Kutoarjo, Jawa Tengah. Di lereng tersebut, terdapat sebuah gua yang dihuni oleh putri babi. Drewes menjelaskan bahwa putri babi tersebut memiliki kemampuan memberikan kekayaan pada orang yang memintanya, tetapi dengan syarat bahwa orang tersebut harus menjadi budaknya. Salah satu cerita melibatkan seorang jelata bernama Soetakarja yang merasa muak dengan kehidupan susahnya. Soetakarja pergi ke dukun untuk mengadukan nasibnya, dan akhirnya diarahkan ke Gunung Kaliwatu untuk bertemu Kiai Djamenggala.
Di Gunung Kaliwatu, Soetakarja diterima dengan hangat dan diminta untuk menikahi salah satu putri Kiai Djamenggala. Dia setuju dan hidup dengan kekayaan berlimpah. Namun, kehidupan yang gemilang itu membuatnya merindukan istri dan anak-anaknya di rumah. Ketika Soetakarja kembali, keluarganya melihatnya sebagai seekor babi hutan yang mengendus di rumah, karena penampilannya yang berbeda. Istri dan anak-anaknya ketakutan, sehingga Soetakarja memutuskan untuk kembali ke gua.
Dengan saran dari istrinya di gua, Soetakarja memakai pakaian lamanya sehingga terlihat kembali seperti manusia. Namun, ketika kembali ke rumah istri lama dan anaknya, masyarakat masih melihatnya sebagai manusia. Pada suatu malam, Soetakarja bangun dari tidurnya setelah mendengar suara istrinya di gua dan keluar untuk menemuinya. Namun, esok paginya, ditemukan bahwa Soetakarja sudah mati di samping jenazahnya ada sekantung uang. Cerita ini menggambarkan dramatisasi nyegik, di mana putri babi menjadikan Soetakarja sebagai budaknya untuk memenuhi keinginan kekayaannya.
Advertisement
4. Kisah Tragis Soemaredja yang Menikah dengan Putri Babi
Cerita serupa juga terjadi pada Soemaredja, seorang individu yang tidak terlalu miskin, namun serakah dan bercita-cita untuk menjadi kaya. Soemaredja meninggalkan istri dan anaknya untuk pergi ke gua, di mana dia tidak ditahan tetapi justru menikahi putri babi yang tinggal di rumahnya sendiri. Dia memberitahu istrinya untuk tidak kaget ketika menerima tamu perempuan setiap Selasa Kliwon. Setiap kali tamu perempuan itu pulang, Soemaredja mendapatkan sekantong uang yang digunakan untuk memenuhi hasratnya.
Suatu hari, penduduk sekitar melihat seekor babi masuk ke rumah Soemaredja pada Selasa Kliwon. Mereka menangkap dan memukulnya hingga mati. Setelah insiden itu, Soemaredja mendatangi ayah mertuanya di gua dan menyatakan bahwa dia tidak bersalah atas pembunuhan tersebut. Dalam pandangan Soemaredja, tamu yang datang kepadanya adalah seorang perempuan, tetapi penduduk melihatnya sebagai seekor babi. Soemaredja kembali menemui ayah mertuanya, dan kali ini dia diberikan hadiah pakaian yang bagus. Setelah mengenakan pakaian tersebut dan keluar dari gua, Soemaredja tiba-tiba telah berubah menjadi seekor babi, menggambarkan kisah tragisnya.
Cerita ini mencerminkan tema likantropi dalam kepercayaan tradisional masyarakat Sunda, di mana manusia dapat berubah menjadi binatang. Selain itu, cerita Soemaredja menunjukkan dampak serakah dan keinginan untuk kekayaan yang berlebihan, serta konsekuensi tragis yang mungkin terjadi.
5. Cara Berubah Babi Ngepet yang Belum Dapat Dijelaskan
R. Tresna, seorang penulis di Djawa, Agustus 1929, memberikan sudut pandang lain tentang mitos babi ngepet, kali ini berasal dari Cimacan, Sukaraja, Sumedang, Jawa Barat. Dalam artikelnya, "Bijgeloof Inzake Njegik," Tresna mendokumentasikan cerita yang diperoleh dari tuturan masyarakat setempat.
Kisah dimulai dengan seorang lelaki miskin bernama Bapa A, yang disebut telah membuat perjanjian dengan setan untuk menjadi kaya. Bapa A menghilang dari kampungnya tanpa jejak, dan ketika dia kembali, warga melihat babi-babi berbeda di sekitar pekarangan rumah mereka. Babi-babi ini menimbulkan ketakutan karena bentuknya yang aneh. Namun, tidak ada yang menghubungkan kehadiran babi-babi tersebut dengan Bapa A yang diyakini tidak melakukan praktik nyegik.
Seiring berjalannya waktu, Bapa A jatuh sakit, dan warga mulai berspekulasi bahwa kehadiran babi-babi tersebut mungkin terkait dengannya. Meski Bapa A tidak melakukan nyegik, keyakinan masyarakat tetap kuat. Mereka meyakini bahwa kejadian tersebut adalah ujian bagi seseorang yang ingin menjadi kaya dengan menjadi babi. Informan Tresna menyatakan bahwa seseorang yang ingin mempraktikkan nyegik harus melewati ujian ini setiap malam. Mereka harus berubah menjadi babi, mencari makanan seperti babi, menjaga diri dari serangan manusia, dan pulang sebelum fajar. Jika berhasil melewati ujian ini, kekayaan akan datang kepada mereka.
Meskipun cerita ini memperlihatkan variasi dalam mitos babi ngepet, termasuk unsur ujian yang harus dilalui oleh orang yang menginginkan kekayaan, tetapi informan tidak dapat menjelaskan secara rinci cara seseorang dapat berubah menjadi babi. Ini menyoroti kompleksitas dan misteri di sekitar keyakinan dan praktik kepercayaan rakyat.
Advertisement
6. Analisis Fenomena Babi Ngepet
Dalam analisis terhadap fenomena babi ngepet, Boomgaard menyampaikan bahwa cerita ini menjadi cermin bagi sejumlah pandangan penduduk setempat terhadap kekayaan, perempuan, dan kekotoran. Menurutnya, dalam cerita-cerita Jawa, unsur kekayaan haram sering kali dihubungkan dengan bau busuk, toilet, kotoran, ingus, penyakit kulit, dan kutu. Lebih lanjut, Boomgaard menjelaskan bahwa keharaman tersebut sering kali dikaitkan dengan gagasan bahwa orang-orang kaya berpotensi berubah menjadi binatang. Hal ini mencerminkan pandangan masyarakat terhadap kesejahteraan materi dan moral.
Boomgaard juga menyoroti hubungan erat antara pikiran orang Muslim Jawa dengan representasi babi sebagai hewan pencuri kekayaan. Dalam konteks agama Islam, babi diharamkan, dan kehadirannya dalam cerita babi ngepet melibatkan aspek spiritual dan agama. Fakta bahwa babi dianggap sebagai hewan pencuri kekayaan dapat dipahami sebagai manifestasi ketakutan dan ketidaksetujuan terhadap praktik-praktik yang dianggap melanggar norma keagamaan.
Selain itu, adanya sosok perempuan sebagai putri babi membawa elemen legenda kuno ke dalam narasi ini. Menurut Boomgaard, kawin dengan perempuan yang dianggap kotor dan berbau, atau roh yang menjelma sebagai seorang wanita, dianggap sebagai cara untuk mencapai kekayaan. Pandangan ini mencerminkan kompleksitas budaya dan nilai-nilai yang terjalin dalam cerita-cerita rakyat Jawa. Secara keseluruhan, analisis dari Drewes, Boomgaard, dan Tresna menegaskan bahwa cerita babi ngepet bukan sekadar mitos, melainkan merupakan kepercayaan masyarakat setempat yang terkait erat dengan latar belakang dan norma-norma yang berkembang di dalam masyarakat tersebut.
Apa Arti dari Jaga Lilin?
Jaga lilin adalah tugas yang dilakukan oleh seseorang pada saat partnernya berkeliling mencari uang dengan menjadi babi ngepet. Biasanya yang bertugas menjaga lilin adalah istri sedangkan yang berkeliling mencari uang adalah suami yang berubah wujud menjadi babi ngepet.
Â
Â
Advertisement
Apa yang Dimaksud dengan Ngepet?
Ngepet adalah istilah dalam mitologi dan kepercayaan masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia, terutama di Jawa. Istilah ini merujuk pada praktik gaib yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan kekayaan dengan cara instan dan tidak halal.