Liputan6.com, Jakarta - Bunuh diri adalah salah satu dari 10 penyebab utama kematian di Amerika Serikat, dengan satu orang bunuh diri setiap 11 menit. Ide untuk bunuh diri, atau pengalaman memiliki pemikiran dan dorongan untuk bunuh diri, bahkan lebih umum terjadi.
Meskipun puluhan ribu orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya, diperkirakan jutaan orang mempertimbangkan untuk bunuh diri, merencanakan upaya bunuh diri, atau mencoba bunuh diri dan bertahan hidup.
Baca Juga
Memahami mengapa orang meninggal karena bunuh diri atau mengalami pikiran untuk bunuh diri adalah hal yang rumit. Meskipun memahami “mengapa” hanyalah salah satu bagian dari pencegahan bunuh diri, hal ini dapat membantu kita bertindak lebih berbelas kasih terhadap mereka yang memiliki pikiran untuk bunuh diri, memberikan kenyamanan kepada mereka yang kehilangan seseorang karena bunuh diri, dan lebih memahami kepedihan orang-orang yang mengalami keinginan untuk bunuh diri.
Advertisement
Resiko Bunuh Diri
Hal yang menjadikan bunuh diri begitu rumit adalah karena tidak ada satu faktor pun yang dapat memprediksi dengan akurat siapa yang sebenarnya akan meninggal karena bunuh diri. Namun, mengenali kemungkinan tanda-tanda pikiran untuk bunuh diri dan menyaring orang untuk mengetahui adanya ide bunuh diri dapat membantu kita lebih memahami risikonya.
Penting untuk diketahui bahwa kematian karena bunuh diri bukan disebabkan oleh kelemahan, masalah kepribadian, atau keegoisan. Ini adalah penjelasan yang distigmatisasi tentang mengapa bunuh diri terjadi dan dapat membuat orang yang memiliki pemikiran untuk bunuh diri enggan meminta bantuan.
Sebaliknya, mereka yang meninggal karena bunuh diri kemungkinan besar terpapar faktor risiko biologis, lingkungan, dan sosial yang membuat mereka rentan terhadap pemikiran untuk bunuh diri. Beberapa faktor risiko mungkin termasuk:
- Memiliki anggota keluarga yang meninggal karena bunuh diri.
- Akses mudah ke bahan dan metode yang dapat membunuh seseorang.
- Stigma seputar kesehatan mental dan upaya mencari dukungan.
Masih banyak lagi yang perlu kita pelajari tentang bunuh diri dan cara mencegah kematian akibat bunuh diri. Ketika penelitian baru keluar, faktor risiko tambahan juga dapat ditambahkan.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan 1 dari 20 remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia mengalami masalah kesehtan mental. Kondisi ini memicu semakin banyaknya upaya bunuh diri di kalangan remaja. Miris.
Alasan Mengapa Banyak Orang Memutuskan untuk Bunuh Diri
Kita sering kali tidak dapat menentukan secara pasti apa yang menyebabkan kematian akibat bunuh diri. Namun, beberapa orang yang pernah mencoba bunuh diri atau memiliki pemikiran untuk bunuh diri dapat membantu kita memahami mengapa mereka ingin mengakhiri hidupnya. Dilansir dari Health.com, berikut deretan alasan mengapa orang melakukan hal ini:
Penyakit Kejiwaan
Memiliki penyakit mental dapat meningkatkan risiko kematian karena bunuh diri, namun hubungan keduanya tidak selalu sesederhana itu. Untuk memahami hubungan antara penyakit mental dan bunuh diri, ada baiknya kita melihat bagaimana penyakit mental mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Beberapa cara penyakit mental dapat menyebabkan bunuh diri meliputi:
- Akses yang tidak setara terhadap perawatan dan pengobatan kesehatan mental.
- Kurangnya dukungan sosial atau perasaan seperti Anda tidak memiliki siapapun untuk diajak bicara.
- Merasa terisolasi, kesepian, atau disalahpahami.
- Kesulitan menjaga hubungan.
- Penurunan kualitas hidup karena meningkatnya stres, (misalnya, tidak mampu mempertahankan pekerjaan).
- Peningkatan impulsif, yang mungkin terjadi pada orang dengan gangguan kepribadian ambang.
Beberapa kondisi kesehatan mental, seperti depresi dan gangguan penggunaan narkoba, paling sering dikaitkan dengan bunuh diri. Namun, kondisi lain seperti gangguan kecemasan, gangguan makan, dan gangguan kepribadian juga dapat meningkatkan risiko bunuh diri.
Advertisement
Pernah Mengalami Trauma
Mengalami trauma dapat berdampak signifikan pada Anda pada usia berapa pun. Namun, trauma masa kanak-kanak adalah salah satu faktor risiko bunuh diri jangka panjang yang signifikan.
Beberapa contoh trauma masa kanak-kanak termasuk pengabaian emosional, kekerasan fisik, kehilangan orang tua, kekerasan seksual, dan penindasan. Sayangnya, faktor-faktor risiko ini bersifat akumulatif, artinya semakin banyak peristiwa traumatis dalam hidup yang Anda alami, semakin tinggi pula risiko Anda untuk mencoba bunuh diri.
Trauma dapat berdampak pada kita hingga masa dewasa, menyebabkan tantangan seperti gangguan stres pasca-trauma (PTSD), depresi, rendahnya harga diri, rasa malu, isolasi, dan masalah keterikatan yang dapat membuat kita sulit mempertahankan hubungan.
Tantangan Tidak Langsung
Tantangan dalam kehidupan nyata dapat memicu pemikiran untuk bunuh diri dan meningkatkan peluang seseorang untuk meninggal karena bunuh diri. Hal ini terutama terjadi jika seseorang tidak memiliki keterampilan atau dukungan sosial untuk mengatasi stres. Contoh situasi sulit yang dapat membuat seseorang berisiko melakukan bunuh diri meliputi:
- Menghadapi tantangan hukum
- Kehilangan pekerjaan
- Masalah keuangan yang luar biasa
- Mengalami putus cinta atau kehilangan hubungan yang penting
- Kematian orang yang dicintai, kematian
Perasaan Putus Asa
Umumnya, orang yang ingin bunuh diri merasa putus asa dan pesimis terhadap masa depannya. Walaupun sesekali merasa putus asa adalah hal yang biasa, orang yang berisiko bunuh diri lebih cenderung mengalami perenungan yang berarti mereka mungkin terjebak dalam perasaan negatif yang berulang-ulang atau berulang kali memikirkan tentang kematian.
Merasa seperti Anda adalah beban bagi orang-orang dalam hidup Anda atau seperti Anda tidak pantas berada di mana pun di dunia ini adalah dua emosi kuat lainnya yang terkait dengan bunuh diri.
Krisis Identitas
Jenis kelamin, ras, orientasi seksual, dan usia semuanya berdampak pada resiko bunuh diri. Meskipun perempuan lebih sering mencoba bunuh diri dibandingkan laki-laki, angka kematian akibat bunuh diri laki-laki lebih tinggi.
Di antara semua jenis kelamin, sebagian besar kasus bunuh diri terjadi antara usia 35 dan 44 tahun, meskipun risiko terkait usia berbeda antar etnis. Misalnya, populasi kulit hitam dan Latin lebih mungkin meninggal karena bunuh diri pada usia lebih muda dibandingkan populasi kulit putih.
Komunitas marginal tertentu, seperti komunitas LGBTQIA, memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri. Penelitian menunjukkan bahwa hingga 43% orang transgender melaporkan pernah mencoba bunuh diri. Penting untuk diingat bahwa menjadi transgender bukanlah faktor risiko bunuh diri. Orang transgender sering mengalami diskriminasi, penindasan, dan stigma yang semuanya dapat meningkatkan risiko bunuh diri.
Penyandang disabilitas juga berisiko melakukan bunuh diri. Sebuah survei menemukan bahwa penyandang disabilitas tiga kali lebih mungkin melaporkan keinginan bunuh diri dibandingkan dengan orang yang bukan penyandang disabilitas.
Bunuh diri tidak mendiskriminasi identitas, namun paparan trauma, stres, diskriminasi, dan tantangan sosial yang dihadapi kelompok tertentu mungkin membuat mereka lebih rentan terhadap tindakan berisiko bunuh diri.
Advertisement
Kontak Bantuan
Bunuh diri bukan jawaban apalagi solusi dari semua permasalahan hidup yang seringkali menghimpit. Bila Anda, teman, saudara, atau keluarga yang Anda kenal sedang mengalami masa sulit, dilanda depresi dan merasakan dorongan untuk bunuh diri, sangat disarankan menghubungi dokter kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan (Puskesmas atau Rumah Sakit) terdekat.
Bisa juga mengunduh aplikasi Sahabatku: https://play.google.com/store/ apps/details?id=com.tldigital.sahabatku. Atau hubungi Call Center 24 jam Halo Kemenkes 1500-567 yang melayani berbagai pengaduan, permintaan, dan saran masyarakat. Anda juga bisa mengirim pesan singkat ke 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat surat elektronik (surel) kontak@kemkes.go.id.