Liputan6.com, Jakarta Pasti Anda pernah mengalami saat di mana sedang menonton acara yang seru, tapi tidak bisa bertahan lebih dari lima menit tanpa melihat ponsel. Siapa yang seperti ini?
Jika Anda salah satunya, bisa jadi Anda mengalami fenomena "popcorn brain". Dilansir dari Real Simple, Senin (8/4/2024), kondisi ini menggambarkan apa yang terjadi ketika perhatian Anda berpindah dari satu tugas ke tugas lain atau topik satu ke topik lainnya. Layaknya seperti biji popcorn yang dimasak di microwave.
Sayangnya, popcorn brain ini bisa menjadi masalah ketika screen time terjadi secara berlebihan, lalu muncul notifikasi yang terus-menerus sehingga membatasi kapasitas Anda untuk perhatian penuh.
Advertisement
Hal ini tentu saja bisa memengaruhi kehidupan sehari-hari, termasuk kesehatan mental Anda.
Untuk itu, kami akan menjelaskan lebih lanjut tentang fenomena ini. Termasuk bagaimana Anda bisa mendapatkan kembali fokus dengan beberapa perubahan gaya hidup yang dapat dikelola dengan maksimal.
Apa Itu Popcorn Brain?
“Menelusuri media sosial dapat mengarah pada apa yang dalam bahasa sehari-hari disebut 'popcorn brain', suatu keadaan yang ditandai dengan gangguan, impulsif, dan berkurangnya rentang perhatian,” jelas psikolog klinis Sanam Hafeez, PsyD.
Popcorn brain menjadi populer setelah pertama kali digunakan oleh peneliti kualitas hidup David Levy pada tahun 2011. Levy menyebutnya sebagai "begitu kecanduan multitasking elektronik sehingga kehidupan offline yang berjalan lebih lambat tidak menarik minatnya".
Masuknya stimulasi digital secara terus-menerus ini mengubah cara otak kita memproses informasi.
Psikolog berlisensi Andrew Kahn, PsyD, mencatat bahwa masalah ini diperburuk oleh cara aplikasi modern dan media sosial dirancang untuk membuat kita melihat perangkat berulang kali.
“Persaingan terus-menerus untuk mendapatkan perhatian kita telah menyebabkan platform media sosial mempersingkat semburan informasi, meningkatkan rangsangan yang mereka berikan, dan mengarahkan otak kita pada informasi tersebut,” kata Kahn. “Hasilnya adalah berkurangnya kemampuan kita untuk menghabiskan waktu lama melihat satu item di layar (atau sering kali jauh dari layar).”
Beberapa Penyebab Popcorn Brain
Pikirkan kapan terakhir kali Anda terputus dari internet untuk jangka waktu tertentu. Rasanya untuk mengingat kapan internet dicabut selama lebih dari sehari, bukan? Namun bukan hanya akses terus-menerus ke internet yang menyebabkan popcorn brain bisa terjadi.
Berikut beberapa faktor lain yang mempengaruhi kurangnya perhatian.
1. Perangkat dan aplikasi yang mengalihkan perhatian
Dalam lima menit, Anda dapat memeriksa email, menonton berita, kembali membaca notifikasi Facebook, lalu menggulir beberapa video di TikTok. Variasi informasi ini akhirnya menyumbat perhatian kita.
“Platform ini menawarkan aliran rangsangan yang berkelanjutan, termasuk pembaruan, gambar, dan video, yang membanjiri pengguna dengan informasi. Kondisi ini dapat membebani kapasitas otak untuk fokus pada tugas atau ide apa pun dalam jangka waktu lama,” kata Hafeez.
2. Mengalami kepuasan instan dari media sosial
“Imbalan yang diberikan secara berkala oleh media sosial, seperti suka dan komentar, memicu pelepasan dopamin, mendorong pengguna untuk mencari lebih banyak rangsangan dan melanggengkan siklus perilaku kompulsif,” jelas Hafeez.
Imbalan bawaan ini membuat kita semakin ingin melakukan hal-hal ini.
Hal ini mungkin tampak seperti hal yang positif. Namun ketika kita perlu menangani proyek yang membutuhkan lebih banyak waktu untuk mencapai hasil tersebut, akan jauh lebih sulit untuk tetap mengerjakan tugas tersebut.
Hafeez menjelaskan bahwa screen time yang berlebihan melemahkan kemampuan otak untuk mempertahankan fokus dan terlibat dalam proses berpikir yang mendalam dan berkelanjutan.
Advertisement
3. Notifikasi dan algoritma yang menarik perhatian
Anda mungkin punya niat untuk fokus membersihkan dapur, misalnya. Namun, saat mendengar bunyi notifikasi, Anda dikondisikan untuk menghentikan apa yang sedang dilakukan dan memeriksa ponsel untuk mencari jawabannya. Lalu, ketika Anda melakukannya, algoritma seperti akan menarik untuk kembali ke sana.
“Banyak platform media sosial dan aplikasi lain yang sengaja dirancang untuk menangkap dan mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin,” kata Hafeez. “Elemen desain ini menciptakan lingkungan dengan stimulasi dan penguatan yang konstan, sehingga menyulitkan pengguna untuk melepaskan diri dan fokus pada tugas lain.”
Begitu kita menghentikan tugas dunia nyata untuk menggulirnya, informasinya benar-benar tidak ada habisnya.
“Fitur gulir tak terbatas yang umum di banyak aplikasi mendorong pengguna untuk terus menggulir, menumbuhkan rasa konsumsi konten tanpa akhir,” kata Hafeez. “Pilihan desain ini berkontribusi pada budaya gangguan dan impulsif.”
4. Volume informasi yang begitu banyak
Terkadang, hal baik yang berlebihan bukanlah hal yang baik.
“Melimpahnya informasi dari berbagai sumber di media sosial dapat menyebabkan kelebihan kognitif, sehingga menyulitkan pemrosesan dan penyimpanan informasi yang bermakna,” kata Hafeez.
Informasi yang berlebihan ini telah mengubah kita menjadi partisipan yang pasif dan bukan partisipan aktif dalam apa yang kita lakukan, tonton, atau beli.
“Kita telah menjadi konsumen yang sangat pasif,” tambah Kahn. "Informasi selalu 'aktif' dan ada di tangan (atau saku kita). Kadang-kadang hal ini mengarah pada belanja impulsif dan terputusnya proses berpikir kita."
5. Perubahan media yang terjadi
Kahn memperingatkan bahwa masalah popcorn brain semakin memburuk ketika para pembuat konten menyesuaikan diri dengan selera informasi kita saat ini.
“Sebagai akibat dari terlalu seringnya menggunakan layar, rentang perhatian kita telah memendek secara drastis, dan desain media sosial, situs web, dan bahkan film dan televisi yang terus menerus kini dirancang untuk mengakomodasi perubahan ini,” kata Kahn.
Advertisement
Cara Mencegah atau Memperbaiki Popcorn Brain
Menurut Hafeez, dampak popcorn brain belum tentu permanen.
“Rentang perhatian yang memendek akibat penggunaan ponsel yang berlebihan dapat dibalik dan neuroplastisitas memainkan peran penting dalam proses ini,” kata Hafeez.
Untungnya, Kahn setuju. “Ada banyak alasan untuk percaya bahwa orang dapat membuat perhatian mereka lebih panjang lagi,” katanya.
Meskipun meningkatkan fokus membutuhkan waktu dan kemungkinan besar Anda tidak akan melihat perubahan dalam semalam, berikut beberapa hal yang dapat Anda coba lepaskan dan dapatkan kembali fokus Anda. Cara yang bisa dilakukan antara lain:
1. Sesuaikan pengaturan screen time
Sebagian besar ponsel sekarang memiliki kemampuan untuk mengatur waktu pemakaian perangkat dan memblokir aplikasi tertentu setelah jangka waktu tertentu. Pada awalnya, Anda mungkin tidak memiliki kemauan untuk mematikan ponsel, sehingga sistem ini dapat membantu membangun kebiasaan mengurangi waktu pemakaian perangkat.
2. Gunakan Teknik Pomodoro
Untuk membantu Anda fokus pada satu tugas lebih lama (tanpa ponsel di tangan), cobalah Teknik Pomodoro yang memberi Anda waktu mulai dan berhenti yang masuk akal.
Singkatnya, Anda akan menyetel pengatur waktu agar bekerja selama 25 menit, diikuti dengan istirahat singkat selama lima menit. Ulangi sepanjang hari, dengan istirahat lebih lama setiap dua jam.
3. Latih pikiran dan tubuh Anda lebih sering
“Latihan fisik secara teratur telah terbukti meningkatkan fungsi kognitif dan meningkatkan neuroplastisitas, yang dapat mendukung kemampuan otak untuk pulih dari efek penggunaan telepon berlebihan,” kata Hafeez.
Namun jangan lupakan pikiranmu juga.
“Terlibat dalam aktivitas yang menantang kemampuan kognitif, seperti teka-teki, mempelajari keterampilan baru, atau terlibat dalam percakapan yang merangsang secara intelektual, dapat membantu meningkatkan rentang perhatian dan fungsi kognitif,” tambah Hafeez.
4. Carilah dukungan jika memerlukan bantuan lebih lanjut
Terkadang, dukungan profesional atau sosial dapat membantu mengatasi kurangnya fokus. Modalitas terapi tertentu, seperti CBT (terapi perilaku kognitif), dapat membantu Anda mengubah pemikiran Anda, yang pada gilirannya dapat membantu pengaturan emosi.
“Mempraktikkan kewaspadaan terhadap kebiasaan media sosial, bergabung dengan kelompok pendukung, dan merefleksikan nilai-nilai dan prioritas pribadi dapat lebih membantu mengurangi kecanduan,” kata Hafeez.
Advertisement