Sukses

Mengapa Menguap Bisa Menular, Ini Penjelasan Ahli

Banyak individu tidak menyadari bahwa ketika mereka berada di dekat seseorang yang menguap, mereka pun bisa ikut menguap. Lantas, mengapa ini bisa terjadi?

Liputan6.com, Jakarta - Menguap seringkali terjadi ketika kita merasa mengantuk, tetapi tahukah Anda bahwa menguap bisa menular? Banyak individu tidak menyadari bahwa ketika mereka berada di dekat seseorang yang menguap, mereka pun bisa ikut menguap. Lantas, mengapa ini bisa terjadi?

Melansir dari Shared, Rabu (17/6/2021), sebuah penelitian di Universitas Leeds, Inggris, mengungkapkan fenomena ini. Sejumlah psikolog mengundang 40 mahasiswa psikologi dan 40 mahasiswa teknik untuk menjadi partisipan. Setiap mahasiswa diminta untuk masuk ke sebuah ruangan secara individu.

Di dalam ruangan tersebut, terdapat seorang asisten yang berpura-pura untuk menguap sebanyak 10 kali secara sengaja. Tujuannya adalah untuk mengamati apakah kehadiran seseorang yang menguap akan memengaruhi reaksi mahasiswa lainnya.

Setelah sesi menguap, para mahasiswa keluar dari ruangan dan kemudian menjalani tes emosional yang dirancang khusus oleh para psikolog. Dalam tes ini, mereka diperlihatkan 40 gambar mata dan diminta untuk menilai emosi apa yang mereka rasakan dari gambar-gambar tersebut.

Hasil penelitian

Dalam penelitian tersebut, ditemukan perbedaan menarik antara mahasiswa psikologi dan mahasiswa teknik dalam hal menguap dan hasil tes emosional mereka.

Mahasiswa psikologi menguap rata-rata 5,5 kali saat berada di ruang tunggu dan mencetak skor 28 dari 40 dalam tes emosional. Sebaliknya, mahasiswa teknik menguap hanya 1,5 kali dan mendapatkan nilai 25,5 dalam tes yang sama.

Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat menguap dan skor emosional ternyata memiliki hubungan erat dengan empati seseorang. Mahasiswa psikologi, yang secara profesional diharapkan memiliki empati tinggi, menunjukkan kecenderungan lebih besar untuk merespons menguap secara lebih nyata.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Mahasiswa teknik menunjukkan hasil yang berbeda

Mereka lebih fokus pada interaksi sosial dan sinyal-sinyal alami, termasuk menguap, yang mungkin mencerminkan keterhubungan mereka dengan perasaan orang lain.

Sebaliknya, mahasiswa teknik, yang biasanya lebih berorientasi pada angka dan perhitungan, menunjukkan hasil yang berbeda. Meskipun jumlah menguap mereka jauh lebih sedikit dibandingkan mahasiswa psikologi, peneliti masih melihat angka yang signifikan pada mahasiswa teknik, mendukung teori bahwa latar belakang pendidikan memengaruhi respons emosional mereka.

Perbedaan ini muncul karena mahasiswa teknik cenderung lebih terfokus pada aspek teknis dan numerik daripada pada aspek emosional dan sosial.

Dengan memilih dua kelompok mahasiswa dari latar belakang yang berbeda, penelitian ini berhasil menunjukkan bagaimana berbagai faktor seperti empati dan fokus profesional dapat memengaruhi bagaimana kita merespons fenomena seperti menguap.

3 dari 4 halaman

Teori lainnya

Teori mengenai menguap yang menular juga didukung oleh para ahli neurologi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa fenomena ini berkaitan erat dengan empati yang terhubung dengan bagian tertentu di otak.

Dengan menggunakan teknologi pemindaian otak, para peneliti menemukan bahwa aktivitas menguap bisa dipengaruhi oleh bagian otak yang terlibat dalam kemampuan kita untuk memahami dan merasakan keadaan emosional orang lain.

Empati, kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain, ternyata memainkan peran penting dalam fenomena ini. Meskipun tampaknya aneh, penelitian menunjukkan bahwa menguap yang menular mungkin disebabkan oleh adanya rasa empati terhadap orang yang sedang menguap. Ini menunjukkan bahwa saat kita melihat seseorang menguap, kita mungkin secara otomatis meresponsnya karena kita secara emosional terhubung dengan mereka.

Selain itu, hubungan antara menguap dan empati juga memberikan wawasan tentang bagaimana mengidentifikasi psikopat. Daya pikir psikopat cenderung berbeda dari orang yang memiliki empati tinggi.

Meskipun masih diperlukan banyak penelitian dan pertimbangan untuk menghubungkan menguap dengan psikopati secara langsung, ada indikasi bahwa seseorang dengan tingkat empati rendah mungkin tidak merespons fenomena ini dengan cara yang sama.

Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat memperjelas bagaimana empati dan mekanisme neurologis berperan dalam respons menguap dan bagaimana hal ini dapat digunakan dalam konteks psikologi dan penilaian kepribadian.

4 dari 4 halaman

Punya empati tinggi

Fenomena menularnya menguap ternyata terkait erat dengan empati, namun hal ini mungkin tidak berlaku untuk semua orang. Misalnya, orang dengan kecenderungan psikopat mungkin tidak merasakan efek menular dari menguap seperti yang dirasakan oleh kebanyakan orang.

Ini karena empati mereka berfungsi dengan cara yang berbeda atau kurang intens dibandingkan dengan mayoritas orang.

Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua orang yang tidak ikut menguap secara otomatis dapat dianggap sebagai psikopat. Menguap yang menular bukanlah indikator yang kuat atau definitif untuk menilai kondisi psikologis seseorang.

Meski demikian, fenomena ini memiliki satu hal yang jelas, jika Anda sering merasa terpengaruh oleh orang di sekitar Anda dan ikut menguap ketika melihat orang lain melakukannya, itu bisa menjadi tanda bahwa Anda memiliki tingkat empati yang tinggi.

Ini menunjukkan bahwa Anda mungkin sangat peka terhadap perasaan orang lain dan mampu terhubung secara emosional dengan mereka.     

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.