Liputan6.com, Jakarta - Penerbit buku Yayasan Pustaka Obor Indonesia meluncurkan buku berjudul “Trilogi Kartini: Sebagai Pelopor Emansipasi” yang merupakan karya Prof. Wardiman Djojonegoro. Buku ini merupakan terjemahan surat-surat yang ditulis oleh Kartini secara langsung dalam bahasa Belanda.
Prof. Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI periode 1993-1998 berhasil menerjemahkan dan menyunting surat tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Buku ini dibuat dalam tiga jilid dengan menghasilkan 1.500 halaman buku yang dikerjakan dalam waktu dua tahun. Dalam jilid ke-1 buku ini menjelaskan tentang kumpulan surat Kartini yang berjumlah 179 surat dan 11 artikel memoar. Jilid ini menampilkan pandangan kartini tentang pendidikan, kebebasan, dan perempuan.
Advertisement
“Sebetulnya kartini menulis surat sebanyak 400 surat, tetapi yang saya temukan hanya 179 surat,” ungkap Prof. Wardiman Djojonegoro dalam Acara Peluncuran dan Diskusi Buku Trilogi Kartini: Kumpulan Surat Terlengkap dan Monumental, Kamis (10/10/2024).
Pada bagian jilid ke-2 buku ini menjelaskan tentang hidup, renungan, dan cita-cita Kartini. Jilid ini didasari pada karya miliki Sitisoemandari Soeroto dengan tambahan pemikiran dari Prof. Wardiman Djojonegoro terkait harapan dan cita-cita sosok Kartini.
Jilid terakhir dalam buku ini yaitu jilid ke-3 lebih menitikberatkan pada isu yang sampai saat ini masih menjadi masalah di tengah-tengah masyarakat. Jilid ini menegaskan tentang isu kesetaraan gender di Indonesia yang dikaitkan dengan inspirasi Kartini.
Fokus isu kesetaraan gender yang diangkat terkait delapan bidang: ekonomi, kesehatan, pendidikan, stereotip, kelembagaan, partisipasi perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan perlindungan pekerja migran.
Prof. Wardiman Djojonego sebetulnya bukan seorang penulis, melainkan dirinya adalah seorang yang ahli di bidang teknologi. Untuk menyelesaikan buku ini ada beberapa alasan yang membuat dirinya tergugah untuk menulis terjemahan dan menyunting surat dari tokoh emansipasi wanita, Kartini.
Alasan pertama, beliau membaca terjemahan surat-surat kartini dalam bahasa Belanda dan merasa terharu dengan isinya. Prof. Wardiman Djojonego mengatakan bahwa terjemahan dalam bahasa Belanda di tulis dengan sempurna. Beliau juga merefleksikan sosok Kartini selama membaca buku terjemahan ini.
“Kartini nulis surat itu usia 24-25 tahun dan itu masih muda. Sudah menguasai bahasa Belanda Tingkat sastra. Terus saya mikir kok ada perempuan Jawa, sebelum Indonesia merdeka fasih berbahasa Belanda. Padahal hanya lulusan sekolah dasar,” ucap Prof. Wardiman Djojonego.
Beliau memiliki hobi mengkaji naskah kuno. Pada tahun 2013 Prof. Wardiman Djojonego memutuskan pergi ke Belanda dan belajar bahasa Belanda. Kemudian, beliau mulai menuliskan beberapa karya terjemahan dari naskah kuno yang dikirim olehnya ke UNESCO.
Beberapa terjemahan karya yang ditulis diantaranya: Babat Diponegoro, Arsip-Arsip Asia Afrika Bandung, Cerita-Cerita Panji, Naskah dari Aceh dan Naskah dari Aceh lagi.
Akhirnya Prof. Wardiman Djojonego tergugah untuk mengkaji dan mengajukan Arsip-Arsip Kartini dan Arsip-Arsip Gerakan Wanita Indonesia.
Alasan kedua, sejarah Kartini selain jasa dan intelektualnya dahulu Kartini dikenal oleh parlemen Belanda. Sehingga, membuat Abendano menulis buku tentang Kartini dengan alasan ingin mengumpulkan uang untuk membuka sekolah kartini pertama. Hal ini berhasil dilakukan pada saat itu sampai terbentuk satu sekolah di semarang dan empat di beberapa daerah.
Kemudian, alasan utama yang paling mendasar adalah Prof. Wardiman Djojonego merasa bahwa Kartini adalah sosok emansipasi perempuan dari Indonesia. Namun, masih sedikit bahkan tidak ditemukan terjemahan surat-surat Kartini dalam bahasa Indonesia.
“Alasan lain yang buat saya tergugah adalah Kartini yang merupakan orang Indonesia. Namun, buku-bukunya tidak ada satu pun terjemahan dalam bahasa Indonesia. Ada waktu itu empat orang dari melayu yang mencoba menerjemahkan habis gelap terbitlah terang, tapi jadinya bahasa Melayu,” ungkap Prof. Wardiman Djojonego.
Relevansi Buku Kartini dengan Kesetaraan Gender di Indonesia
Kartini semasa hidupnya menjunjung tinggi emansipasi perempuan. Hal ini dilihat dalam suratnya yang dikirimkan kepada Estella yang merupakan feminis Belanda.
Buku yang ditulis oleh Prof. Wardiman Djojonego mencoba untuk mencari benang merah dari emansipasi wanita menunju kesetaraan gender.
“Dalam jilid ke-3 ini ditulis tentang kesetaraan gender untuk memperoleh kemerdekaan dan keadilan dari laki-laki dan perempuan. Bahwa ada partisipiasi dari kedua gender ini untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu dalam jilid ke-3 ini ada delapan poin terkait isu kesetaraan gender,” ucap Prof. Wardiman Djojonego.
Tahun 1900-an awal para perempuan telah memilikirkan apa yang disampaikan oleh Ibu Kartini salah satunya adalah menolak kawin paksa. Meskipun dirinya harus mengalami hal tersebut. Kartini meninggal dunia pada saat melahirkan.
“Hari ini di antara 10.000 kelahiran bayi, 300 ibunya meninggal. Hal ini sama seperti yang dialami oleh Ibu Kartini dan artinya kita engga bergerak kemana-mana,” ucap Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, M.A., Guru Besar Antropologi Hukum, Universitas Indonesia.
Melalui isu seperti ini para perempuan Indonesia berupaya melakukan pergerakan dengan membentuk organisasi perempuan salah satunya Swara Mahardika yang pernah mengajukan mosi untuk meminta keadilan atas persamaan di muka hukum.
“Jauh sebelum tahun ini gerakan perempuan mengajukan beberapa mosi terkait keadilan di muka hukum dan partisipasi dalam lingkungan politik,” lanjut Sulistyowati.
Masalah keadilan dan kesamaan di muka hukum, partisipasi, pendidikan dan bidang lainnya menjadi isu feminisme yang sama di seluruh dunia sampai saat ini.
Selain itu, kasus kekerasan seksual yang masih menjadi isu terbesar dalam kesetaraan gender. Hal ini didasari pada ketidahpahaman banyak pihak dalam menanggapi masalah ini. Bahkan, dalam kasus ini perempuan masih tetap disalahkan.
“Mereka membuat perlakuan yang berbeda seperti perempuan tidak boleh keluar malam, harus menggunakan pakaian tertutup, dikurungnya perempuan. Mereka sudah menegasikan apa yang sudah diperjuangkan oleh Ibu Kartini, kita berhak marah,” ungkap Sulistyowati.
Advertisement
Sudut Pandang Aktivis Perempuan tentang Buku Kartini
“Buku ini adalah salah satu sumber yang paling penting untuk mendekolonisasi perempuan,” ucap Siti Maimunah, Ph.D., Aktivis Perempuan dan Feminis Ekologi.
Siti juga mengatakan bahwa dalam buku ini sosok kartini tidak hanya menuliskan dan juga membaca, tapi membuat ini menjadi tembang atau lagu yang meresap dan dipraktekan dalam hidup sehari-hari.
“Saya hanya mengenal Kartini sebagai peringatan 21 April dan habis gelap terbitlah terang. Setelah membaca buku ini saya merasa bahwa buku ini harus dijadikan sebagai keharusan untuk dibaca,” kata Siti.
Dalam buku digambarkan sosok Kartini yang tidak hanya melawan feodalisme, tetapi juga melawan partiarki. Kartini merupakan akar memulai bersatunya perempuan dalam memperjuangkan hak perempuan untuk bebas dari poligami.
Belajar dari sosok Kartini, perempuan intelektual yang terus mengasah kemampuannya. Hal ini dibuktikan dengan surat-surat yang ditulis oleh dirinya. Dalam satu surat beliau dapat membuat tulisan tangan sebanyak 27 halaman. Selain itu, dalam buku ini juga dikatakan bahwa Kartini merupakan sosok pembatik dan pewirausahaan pada masanya.
“Buku ini relevan sekali untuk dibaca kembali, bahkan dipercakapkan di sekolah-sekolah harusnya. Saya tidak pernah mendapatkan pengetahuan tentang kartini yang sedalam ini sebelumnya di sekolah,” ucap Siti.