Citizen6, Jakarta: Setidaknya ada dua poin paling krusial dari isu perburuhan saat ini jika kita merujuk pada 4 poin tuntutan para buruh yang dialamatkan kepada pemerintah maupun pengusaha. Pertama tentu saja terkait tuntutan buruh yaitu, agar menaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) hingga 50% atau Rp. 3,7 juta pada tahun 2014. Yang tidak kalah krusial adalah poin ketiga. Dalam poin ketiga ditegaskan oleh para buruh yaitu pihak buruh mendesak pemerintah untuk mencabut Instruksi Presiden (Inpres) tentang penetapan UMP tahun 2013. Para buruh merasa inpres ini ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah dengan hanya mendengarkan dialog dari pihak Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), tanpa ada perwakilan dari pihak buruh. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menganggap Inpres ini cacat hukum.
Menyadari fakta bahwa ada persaingan antar pemangku kepentingan industri baik di lingkup nasional maupun global, dan fakta bahwa berbagai elemen buruh mempunyai afiliasi kuat dengan beberapa partai politik, maka tuntutan buruh terkait kenaikan upah harus dibaca tidak murni sebagai gerakan yang berdiri sendiri dan independen, walaupun tetap berpotensi “ditunggangi” kelompok kepentingan tertentu menjelang Pemilu 2014 ataupun mengganggu persiapan Indonesia menghadapi Asean Economic Community (AEC) pada 2015 mendatang.
Pemerintah harus menyadari sebuah kenyataan obyektif yang sudah berlangsung sejak zaman orde baru, bahwa kepemilikan saham dari beberapa konglomerasi besar, terutama dari pengusaha non-pribumi, bersifat tertutup dan eksklusif dimiliki dan dikuasai oleh beberapa anggota keluarga saja. Sehingga membawa impliasi diberlakukannya kebijakan-kebijakan perburuhan yang bersifat eksploitatif dan merugikan kesejahteraan para buruh. Namun, disisi yang lain kalangan buruh juga harus menyadari bahwa mereka harus meningkatkan kemampuan pribadinya agar tetap memiliki daya saing ke depan, karena dengan pemberlakukan AEC 2015 tidak menutup kemungkinan kalangan buruh yang tidak profesional akan mengalami PHK.
Agenda Strategis Harus Diprakarsai Pemerintah
Pemerintah harus melakukan beberapa langkah strategis ke depan, untuk memotori beberapa prakarsa memecahkan jalan buntu. Maka itu, pemerintah tidak cukup hanya dengan berdalih bahwa pemerintah sudah berupaya maksimal meningkatkan prosentase UMP dari 10, 27% pada 2012 lalu, menjadi 18,32% pada 2013. Pemerintah harus secara kualitatif mempertunjukkan peran strategisnya sebagai mediator antara pengusaha dan buruh dalam skema dan mekanisme tripartit.
Dengan menyadari kenyataan bahwa ada persaingan yang tajam antar pemangku kepentingan industri baik di lingkup domestik maupun global, dan juga adanya kenyataan bahwa berbagai elemen perburuhan juga punya afiliasi yang nyata dengan berbagai kepentingan politik partai-partai politik, maka pemerintah harus mengeluarkan solusi win-win yang mendudukkan pengusaha dan buruh sebagai mitra sejajar.
Maka itu, pemerintah harus memprakarsai tawaran solusi pemecahan yang gagasannya harus beberapa langkah lebih maju dari sekadar tuntutan prosentasi UMP dari pihak buruh, sekaligus mematahkan tesis pihak pengusaha lewat APINDO bahwa tuntutan buruh tidak bisa dipenuhi dan tidak bisa dinegosiasikan.
Action Plan dari Pemerintah Sebagai Mediator
Menyadari peran strategisnya sebagai mediator dalam mekanisme dialog tripartite antara pemerintah, pengusaha dan buruh, maka pemerintah justru harus memanfaatkan celah dari poin ketiga yang diajukan oleh pihak buruh.
Penegasan pihak KSPI bahwa para buruh merasa inpres terkait penetapan UMP 2013 yang putusannya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah dengan hanya mendengarkan masukan dari pihak Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), tanpa ada perwakilan dari pihak buruh. Kiranya harus dijadikan pintu masuk oleh pemerintah untuk menjadi dasar pemerintah sebagai mediator untuk menegosiasikan ulang kesepakatan baru antara pengusaha dan buruh atas dasar kesepahaman sebagai mitra sejajar dan sederajat dalam pembangunan.
Pemerintah sebagai mediator mekanisme tripartit, sebaiknya menawarkan dan menggulirkan sebuah isu strategis yaitu: PEMBAGIAN SAHAM KEPADA BURUH dalam kapasitasnya sebagai aset usaha dan aset industri. Gagasannya, para buruh sejatinya bukan korban dan obyek eksploitasi para pelaku dunia usaha, khususnya pelaku indutri.
Dengan begitu, melalui konsepsi pembagian saham bagi buruh, buruh akan ikut menikmati keuntungan perusahaan jika perusahaan tersebut berhasil secara bisnis. Namun jika perusahaan tersebut bangkrut atau kolaps, buruh sebagai aset perusahaan sekaligus aset industri, harus menerima resikonya, seperti halnya pemilik dan pengelola perusahaan.
Gagasan ini meski baru pada taraf wacana, jika dimunculkan oleh pemerintah, maka pemerintah yang pada dasarnya berpihak pada konsepsi peningkatan kesejahteraan para buruh sebagai aset usaha dan aset industri, akan berada pada posisi yang memegang inisaitif politik. Tidak saja kepada para buruh, melainkan juga kepada para pengusaha yang selama ini selalu mencoba mengendalikan dan menyetir pemerintah agar melayani aspirasi kelompok pengusaha. Dengan prakarsa pemerintah, maka pemerintah melalui kewenangan yang melekat pada dirinya, memungkinkan untuk menggalang kerjasama strategis dengan berbagai elemen masyarakat lainnya, yang muaranya bisa berupa revisi terhadap Inpres terkait penetapan UMP 2013, atau bahkan bila perlu, revisi terhadap UU perburuhan itu sendiri.
Melalui tebar isu terkait PEMBAGIAN SAHAM BAGI PARA BURUH, Pemerintah secara tidak langsung akan mempunyai amunisi untuk melumpuhkan kemungkinan terjadinya aksi destabilisasi politik menjelang Pemilu 2014 yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menunggangi aksi buruh ataupun konglomerat hitam yang diyakini berbagai kalangan juga sedang mencari “jalan keselamatan” menghadapi perubahan signifikan pasca 2014. (Otjih Sewandarijatun/kw)
*Otjih Sewandarijatun adalah pewarta warga
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Menyadari fakta bahwa ada persaingan antar pemangku kepentingan industri baik di lingkup nasional maupun global, dan fakta bahwa berbagai elemen buruh mempunyai afiliasi kuat dengan beberapa partai politik, maka tuntutan buruh terkait kenaikan upah harus dibaca tidak murni sebagai gerakan yang berdiri sendiri dan independen, walaupun tetap berpotensi “ditunggangi” kelompok kepentingan tertentu menjelang Pemilu 2014 ataupun mengganggu persiapan Indonesia menghadapi Asean Economic Community (AEC) pada 2015 mendatang.
Pemerintah harus menyadari sebuah kenyataan obyektif yang sudah berlangsung sejak zaman orde baru, bahwa kepemilikan saham dari beberapa konglomerasi besar, terutama dari pengusaha non-pribumi, bersifat tertutup dan eksklusif dimiliki dan dikuasai oleh beberapa anggota keluarga saja. Sehingga membawa impliasi diberlakukannya kebijakan-kebijakan perburuhan yang bersifat eksploitatif dan merugikan kesejahteraan para buruh. Namun, disisi yang lain kalangan buruh juga harus menyadari bahwa mereka harus meningkatkan kemampuan pribadinya agar tetap memiliki daya saing ke depan, karena dengan pemberlakukan AEC 2015 tidak menutup kemungkinan kalangan buruh yang tidak profesional akan mengalami PHK.
Agenda Strategis Harus Diprakarsai Pemerintah
Pemerintah harus melakukan beberapa langkah strategis ke depan, untuk memotori beberapa prakarsa memecahkan jalan buntu. Maka itu, pemerintah tidak cukup hanya dengan berdalih bahwa pemerintah sudah berupaya maksimal meningkatkan prosentase UMP dari 10, 27% pada 2012 lalu, menjadi 18,32% pada 2013. Pemerintah harus secara kualitatif mempertunjukkan peran strategisnya sebagai mediator antara pengusaha dan buruh dalam skema dan mekanisme tripartit.
Dengan menyadari kenyataan bahwa ada persaingan yang tajam antar pemangku kepentingan industri baik di lingkup domestik maupun global, dan juga adanya kenyataan bahwa berbagai elemen perburuhan juga punya afiliasi yang nyata dengan berbagai kepentingan politik partai-partai politik, maka pemerintah harus mengeluarkan solusi win-win yang mendudukkan pengusaha dan buruh sebagai mitra sejajar.
Maka itu, pemerintah harus memprakarsai tawaran solusi pemecahan yang gagasannya harus beberapa langkah lebih maju dari sekadar tuntutan prosentasi UMP dari pihak buruh, sekaligus mematahkan tesis pihak pengusaha lewat APINDO bahwa tuntutan buruh tidak bisa dipenuhi dan tidak bisa dinegosiasikan.
Action Plan dari Pemerintah Sebagai Mediator
Menyadari peran strategisnya sebagai mediator dalam mekanisme dialog tripartite antara pemerintah, pengusaha dan buruh, maka pemerintah justru harus memanfaatkan celah dari poin ketiga yang diajukan oleh pihak buruh.
Penegasan pihak KSPI bahwa para buruh merasa inpres terkait penetapan UMP 2013 yang putusannya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah dengan hanya mendengarkan masukan dari pihak Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), tanpa ada perwakilan dari pihak buruh. Kiranya harus dijadikan pintu masuk oleh pemerintah untuk menjadi dasar pemerintah sebagai mediator untuk menegosiasikan ulang kesepakatan baru antara pengusaha dan buruh atas dasar kesepahaman sebagai mitra sejajar dan sederajat dalam pembangunan.
Pemerintah sebagai mediator mekanisme tripartit, sebaiknya menawarkan dan menggulirkan sebuah isu strategis yaitu: PEMBAGIAN SAHAM KEPADA BURUH dalam kapasitasnya sebagai aset usaha dan aset industri. Gagasannya, para buruh sejatinya bukan korban dan obyek eksploitasi para pelaku dunia usaha, khususnya pelaku indutri.
Dengan begitu, melalui konsepsi pembagian saham bagi buruh, buruh akan ikut menikmati keuntungan perusahaan jika perusahaan tersebut berhasil secara bisnis. Namun jika perusahaan tersebut bangkrut atau kolaps, buruh sebagai aset perusahaan sekaligus aset industri, harus menerima resikonya, seperti halnya pemilik dan pengelola perusahaan.
Gagasan ini meski baru pada taraf wacana, jika dimunculkan oleh pemerintah, maka pemerintah yang pada dasarnya berpihak pada konsepsi peningkatan kesejahteraan para buruh sebagai aset usaha dan aset industri, akan berada pada posisi yang memegang inisaitif politik. Tidak saja kepada para buruh, melainkan juga kepada para pengusaha yang selama ini selalu mencoba mengendalikan dan menyetir pemerintah agar melayani aspirasi kelompok pengusaha. Dengan prakarsa pemerintah, maka pemerintah melalui kewenangan yang melekat pada dirinya, memungkinkan untuk menggalang kerjasama strategis dengan berbagai elemen masyarakat lainnya, yang muaranya bisa berupa revisi terhadap Inpres terkait penetapan UMP 2013, atau bahkan bila perlu, revisi terhadap UU perburuhan itu sendiri.
Melalui tebar isu terkait PEMBAGIAN SAHAM BAGI PARA BURUH, Pemerintah secara tidak langsung akan mempunyai amunisi untuk melumpuhkan kemungkinan terjadinya aksi destabilisasi politik menjelang Pemilu 2014 yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menunggangi aksi buruh ataupun konglomerat hitam yang diyakini berbagai kalangan juga sedang mencari “jalan keselamatan” menghadapi perubahan signifikan pasca 2014. (Otjih Sewandarijatun/kw)
*Otjih Sewandarijatun adalah pewarta warga
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.