Citizen6, Jakarta: Penghujung tahun 2013 agaknya tidak hanya akan diramaikan oleh hiruk-pikuk persaingan politik menjelang pemilu 2014, tetapi juga akan diwarnai oleh maraknya aksi protes yang diorganisir oleh sejumlah serikat kerja menuntut kenaikan upah minimum tahun 2014 sebesar 50%. Jauh-jauh hari, para aktivis buruh yang tergabung dalam sejumlah serikat kerja telah menyatakan akan memobilisasi pemogokan nasional dan aksi protes menekan pemerintah dan pengusaha agar memenuhi tuntutan kenaikan upah minimum. Selain persoalan upah, status kontrak kerja, buruh outsourcing, jaminan sosial, serta penolakan Inpres No. 9 Tahun 2013 yang mengatur pedoman penetapan UMP tidak luput menjadi isu tuntutan aksi protes buruh.
Sinyalemen akan adanya eskalasi gerakan protes buruh ini setidaknya tercermin dari seruan pimpinan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengenai aksi mogok nasional selama 3 hari berturut-turut 28 hingga 31 Oktober 2013 guna menuntut kenaikan upah minimum tahun 2014 sebesar 50%. Bahkan, dalam propagandanya KSPI mengancam akan melakukan aksi protes nasional dengan mobilisasi 3 juta massa buruh dari berbagai sektor industri baik pabrik, bandara, pelabuhan maupun sektor lainnya. Pernyataan serupa juga dikeluarkan oleh berbagai serikat buruh lainnya baik di tingkat pusat maupun daerah seperti FSPMI, SBSI, SPRI, FBLP, Sekber Buruh dan lainnya.
Maraknya aksi buruh ini bagian dari implikasi kebebasan yang muncul bersamaan dengan demokratisasi di Indonesia. Aksi protes sebagai ekspresi kebebasan berpendapat dan berserikat telah dijamin sebagai hak konstitusional warga negara dalam memperjuangkan kepentingannya. Namun demikian, eskalasi yang semakin masif tentu menimbulkan pertanyaan, soal kemungkinan ada kekuatan di luar kepentingan kaum buruh itu sendiri yang memanfaatkan situasi dan mencoba mengambil keuntungan.
Kekhawatiran adanya kekuatan eksternal yang menjadi free rider dalam aksi protes buruh ini bukan tanpa alasan. Bisa saja besarnya potensi massa kaum buruh yang mencapai puluhan juta jiwa akan menjadi objek yang menarik bagi kepentingan para kontestan pemilu 2014, sehingga isu pengupahan dapat menjadi ajang meraih simpati dan pencitraan di kalangan buruh. Begitupula dengan kemungkinan persaingan industri maupun pangsa pasar kerja (CAFTA, ASEAN Community-2015, dll) yang semakin terintegrasi secara global dapat menjadi faktor yang ikut mendorong kisruh persoalan perburuhan di Indonesia. Fenomena itu terlihat dari munculnya relokasi industri yang pasti berimplikasi pada pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun turunnya penyerapan tenaga kerja.
Sinyalemen akan adanya eskalasi gerakan protes buruh ini setidaknya tercermin dari seruan pimpinan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengenai aksi mogok nasional selama 3 hari berturut-turut 28 hingga 31 Oktober 2013 guna menuntut kenaikan upah minimum tahun 2014 sebesar 50%. Bahkan, dalam propagandanya KSPI mengancam akan melakukan aksi protes nasional dengan mobilisasi 3 juta massa buruh dari berbagai sektor industri baik pabrik, bandara, pelabuhan maupun sektor lainnya. Pernyataan serupa juga dikeluarkan oleh berbagai serikat buruh lainnya baik di tingkat pusat maupun daerah seperti FSPMI, SBSI, SPRI, FBLP, Sekber Buruh dan lainnya.
Maraknya aksi buruh ini bagian dari implikasi kebebasan yang muncul bersamaan dengan demokratisasi di Indonesia. Aksi protes sebagai ekspresi kebebasan berpendapat dan berserikat telah dijamin sebagai hak konstitusional warga negara dalam memperjuangkan kepentingannya. Namun demikian, eskalasi yang semakin masif tentu menimbulkan pertanyaan, soal kemungkinan ada kekuatan di luar kepentingan kaum buruh itu sendiri yang memanfaatkan situasi dan mencoba mengambil keuntungan.
Kekhawatiran adanya kekuatan eksternal yang menjadi free rider dalam aksi protes buruh ini bukan tanpa alasan. Bisa saja besarnya potensi massa kaum buruh yang mencapai puluhan juta jiwa akan menjadi objek yang menarik bagi kepentingan para kontestan pemilu 2014, sehingga isu pengupahan dapat menjadi ajang meraih simpati dan pencitraan di kalangan buruh. Begitupula dengan kemungkinan persaingan industri maupun pangsa pasar kerja (CAFTA, ASEAN Community-2015, dll) yang semakin terintegrasi secara global dapat menjadi faktor yang ikut mendorong kisruh persoalan perburuhan di Indonesia. Fenomena itu terlihat dari munculnya relokasi industri yang pasti berimplikasi pada pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun turunnya penyerapan tenaga kerja.
2 dari 3 halaman
Situasi Anomali
Jika kita bandingkan dengan sejumlah negara di Asia, besaran upah buruh di Indonesia sesungguhnya bukanlah yang terendah. Posisi besaran upah antara Rp. 830.756-2.200.639 di Indonesia dengan jumlah angkatan kerja yang mencapai 212,2 juta jiwa (data BPS 2013), setingkat di bawah China (Rp. 2.522.672) dan berada di atas Vietnam (Rp. 646.349-Rp. 923.300) yang merupakan salah satu tujuan investasi dan negara di kawasan Asia yang memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada kuartal kedua tahun 2013 yakni 5,3%, maupun Kamboja (Rp. 592.961). Besarnya angkatan kerja tentu menjadi tantangan tersendiri bagi upaya peningkatan lapangan kerja, sehingga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Dalam konteks itulah maka investasi dan industrialisasi menjadi salah satu sarana penting untuk menciptakan lapangan kerja. Upaya penciptaan lapangan kerja dan menarik investasi semakin sulit tatkala gerakan buruh terus menerus melakukan unjuk rasa yang memacetkan urat nadi transportasi dan roda perekonomian, karena tidak sedikit proposal kerjasama investasi batal akibat unjuk rasa buruh.
Upaya pemerintah menata persoalan perburuhan sesungguhnya telah menunjukan kemajuan penting meskipun dirasa belum maksimal oleh sebagian kalangan serikat buruh. Tren kemajuan itu setidaknya ditunjukan dengan tingkat rata-rata kenaikan upah minimum yang mencapai 18, 32% pada tahun 2013, meningkat signifikan dibandingkan pada tahun 2012 yang hanya berkisar pada 10,27%. Begitupula dengan kenaikan peringkat Indeks Persaingan Global (Global Competitiveness Index/GCI) yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF) dan memuat peringkat daya saing global 144 negara dimana Indonesia berada pada urutan 38 tahun 2013, naik dari peringkat 50 tahun 2012.
Kenaikan indeks GCI ini berdasarkan adanya perbaikan pada berbagai indikator seperti infrastruktur, ekonomi makro, tehnologi, kualitas pelayanan lembaga publik maupun swasta, serta variabel lainnya termasuk pada efesiensi tenaga kerja yang berada pada peringkat 103.
Hal itu menunjukan bahwa sektor perburuhan telah menjadi perhatian serius bagi seluruh stakeholder terkait, termasuk pemerintah untuk segera diadakan perbaikan. Perbaikan itu tentu patut diapresiasi jika dibandingkan dengan tahun 2012 dimana peringkat GCI Indonesia melorot karena jebloknya faktor labour market effeciency (efesiensi pasar tenaga kerja—tahun 2011 pada peringkat 94 menjadi 120 tahun 2012) yang meliputi flexibilty of wage determination (keleluasaan dalam pembatasan upah), redundancy cost, weeks of salary (biaya tambahan pada upah mingguan), dan women in labour force, ratio to men (rasio jumlah buruh wanita terhadap buruh pria).
Berbagai kemajuan, termasuk penanganan masalah perburuhan sebagaimana ditunjukan dengan berbagai indikator di atas tentu kontras dengan semakin maraknya gerakan protes kaum buruh. Situasi ini menjadi anomali ditengah upaya pemerintah untuk mengakomodasi tuntutan kesejahteraan maupun hak-hak normatif kaum buruh seperti jaminan sosial, kesehatan, dan sebagainya. Anomali ini tentu akan wajar jika dikaitkan dengan sinyalemen adanya vested interest kelompok tertentu yang mencoba menunggangi tujuan murni dari gerakan buruh itu sendiri. Aksi-aksi protes kaum buruh untuk memperjuangkan kesejahteraannya justru dapat dibelokan untuk tujuan-tujuan tertentu yang dapat kontraproduktif bagi kepentingan kaum buruh, bahkan mengganggu kepentingan nasional, baik dalam dimensi ekonomi, sosial maupun stabilitas keamanan.
Advertisement
3 dari 3 halaman
Perlu Dialog dan Kewaspadaan
Persoalan perburuhan harus dilihat dalam perspektif yang komprehensif, baik pemerintah sebagai regulator dan mediator, maupun buruh dan pengusaha sebagai pelaku ekonomi. Semua pihak harus memahami hubungan saling ketergantungan dan berorientasi pada win-win solution sebagai titik temu. Hal ini dapat terjadi jika terbuka apa yang disebut oleh Harbermas (The Structural Transformation of The Public Sphere, 1989) sebagai public sphere yang mewadahi tindakan komunikasi. Selama ini, proses komunikasi dalam suasana dialogis antara buruh dan pengusaha tidak terjalin baik dalam iklim yang kondusif. Banyak serikat kerja yang seharusnya menjadi jurubicara kepentingan buruh justru terjebak dalam agenda-agenda yang elitis dan tidak mencerminkan kepentingan buruh. Iklim dialogis dan musyawarah yang seharusnya dikembangkan sebagai mekanisme untuk menyelesaikan konflik maupun perbedaan persepsi dan kepentingan dalam hubungan industrial antara buruh dan pengusaha, kalah populer dengan aksi massa dan gerakan jalanan.
Memang, unjuk rasa, rally, pemogokan sah-sah saja dalam negara demokrasi. Namun, model seperti ini rawan untuk disusupi dan dibelokan oleh kelompok tertentu yang menunggangi aspirasi kaum buruh. Konon, dalam rangka memonitor pergerakan aksi unjuk rasa buruh, sejumlah tokoh buruh yang terkenal membuka “Posko Pemantauan” di salah satu hotel berbintang lima di Jl Thamrin, Jakarta. Apalagi jika para pemimpin serikat buruh meyakini dogmatisme hubungan eksploitatif dan konflik kelas dalam perspektif Marx untuk menjelaskan relasi buruh dan pengusaha. Dalam pandangan ini, gerakan massa dan kekerasan hanyalah satu-satunya cara untuk memperjuangkan kepentingan buruh.
Kesejahteraan buruh sebenarnya harus disyukuri oleh kaum buruh, indikator kesejahteraan buruh antara lain dalam unjuk rasa buruh yang dilakukan Sekber Buruh pada 17 Oktober 2013, beberapa buruh menggunakan sepeda motor Honda CBR berharga lebih dari Rp 34 juta, serta banyak lainnya memakai sepeda motor terbaru seperti Honda Tiger, Yamaha Vixion, dan Honda Vario PGM-FI.
Karena itu, kaum buruh harus lebih bijak dan berhati-hati terhadap upaya provokasi dan tindakan yang dapat menjerumuskan kepentingan kaum buruh. Jangan sampai maksud meningkatkan kesejahteraan justru berujung pada PHK massal dan krisis ekonomi akibat relokasi industri. Tentu kita tidak ingin mengulang terjadinya krisis pada tahun 1997/1998 atau Eropa yang kini didera krisis, tingkat pengangguran mengalami peningkatan tajam, diperkirakan 43 juta jiwa mengalami krisis makanan tiap hari, dan 120 juta jiwa menghadapi resiko kemiskinan (lihat laporan terbaru International Federation of Red Cross/IFRC and Red Crescent Societies, 2013).
*) Penulis adalah peneliti senior di Forum Dialog dan Pusat Studi Lingkungan Strategis (Pus Lingstra), Jakarta.
Mulai 16 Oktober-1 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "6 Alasan Aku Cinta Indonesia". Ada merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com