Citizen6, Riau: Perjalanan menuju Kota Riau dalam rangka kegiatan Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI) di Universitas Riau (UNRI) tak lupa menyempatkan diri singgah di Kota Palembang.
Mendengar kata Palembang, pikiran kita akan tertuju kepada maskot Sungai Musi dan Jembatan Ampera serta makanan khas "Pempek Palembang" yang begitu khas dibenak masyarakat Indonesia. Menurut sejarah, pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Cina ke Palembang, yaitu sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badarudin II berkuasa di Kerajaan Sriwijaya.
Dari sejarahnya, pembuatan pempek dilatarbelakangi keprihatinan "Apek" (lelaki tua keturunan Cina) dari melimpahnya hasil ikan di Sungai Musi yang hanya sebatas dimanfaatkan untuk dipindang dan digoreng. Si Apek kemudian mengolah ikan dengan tepung tapioka dan dijajakan keliling kota dengan menyebut Pek.. Apek. Akhirnya penyebutan nama ini terkenal dengan Pempek Palembang.
Pada mulanya, pembuatan pempek terbuat dari ikan Belida (Notopterus notopterus). Namun seiring perkembangannya, salah satu ikon Palembang ini di ambang kepunahan. Karena semakin langka dan harganya yang mahal, ikan ini diganti dengan ikan gabus yang harganya lebih murah tetapi dengan rasa yang tetap gurih.
Pada perkembangan selanjutnya, digunakan juga jenis ikan sungai lainnya, misalnya ikan putak, toman, dan bujuk. Bahkan saat ini pempek dibuat dari ikan air laut yaitu Tenggiri. Jika ditilik lebih lanjut penggunaan alternatif jenis ikan menandakan ada tanda bahaya. Karena ketersediaan ikan air tawar di Sungai Musi semakin menurun jumlahnya akibat kegiatan perikanan yang tidak berkelanjutan.
Populasi ikan khas Palembang seperti ikan belida dan gabus terancam punah, akibat penangkapan ikan menggunakan strum, potas yang merusak ekosistem dan pola makanan masyarakat yang banyak memakai bahan baku ikan. Tingginya tingkat konsumsi ikan seperti Baung, Betutu, Belida, dan Gabus rata-rata 25,4 kilogram per kapita per tahun. Selain itu, adanya kebutuhan pasar terhadap ikan membuat banyaknya pemasok ikan dari provinsi Jambi dan Riau yang mengindikasikan populasi ikan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan telah mengalami pengurangan.
Tidak adanya pembatasan maupun sosialisasi kepada masyarakat dalam menangkap ikan Sungai Musi menjadi faktor utama mulai punahnya ikan ikon Palembang. Kegiatan pelestarian ikan air tawar Sungai Musi seperti Baung, Betutu, Belida, dan Gabus mutlak dilakukan. Terlambat memang atau daripada tidak sama sekali. Akankah kita kehilangan ikon Palembang Ikan Belida seperti saudara jauhnya Harimau Sumatera. Entahlah. Menunggu waktu! (Indar Wijaya/mar)
Indar Wijaya adalah pewarta warga.
Mulai 6 November-15 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Jika Aku Punya Startup". Ada merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Mendengar kata Palembang, pikiran kita akan tertuju kepada maskot Sungai Musi dan Jembatan Ampera serta makanan khas "Pempek Palembang" yang begitu khas dibenak masyarakat Indonesia. Menurut sejarah, pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Cina ke Palembang, yaitu sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badarudin II berkuasa di Kerajaan Sriwijaya.
Dari sejarahnya, pembuatan pempek dilatarbelakangi keprihatinan "Apek" (lelaki tua keturunan Cina) dari melimpahnya hasil ikan di Sungai Musi yang hanya sebatas dimanfaatkan untuk dipindang dan digoreng. Si Apek kemudian mengolah ikan dengan tepung tapioka dan dijajakan keliling kota dengan menyebut Pek.. Apek. Akhirnya penyebutan nama ini terkenal dengan Pempek Palembang.
Pada mulanya, pembuatan pempek terbuat dari ikan Belida (Notopterus notopterus). Namun seiring perkembangannya, salah satu ikon Palembang ini di ambang kepunahan. Karena semakin langka dan harganya yang mahal, ikan ini diganti dengan ikan gabus yang harganya lebih murah tetapi dengan rasa yang tetap gurih.
Pada perkembangan selanjutnya, digunakan juga jenis ikan sungai lainnya, misalnya ikan putak, toman, dan bujuk. Bahkan saat ini pempek dibuat dari ikan air laut yaitu Tenggiri. Jika ditilik lebih lanjut penggunaan alternatif jenis ikan menandakan ada tanda bahaya. Karena ketersediaan ikan air tawar di Sungai Musi semakin menurun jumlahnya akibat kegiatan perikanan yang tidak berkelanjutan.
Populasi ikan khas Palembang seperti ikan belida dan gabus terancam punah, akibat penangkapan ikan menggunakan strum, potas yang merusak ekosistem dan pola makanan masyarakat yang banyak memakai bahan baku ikan. Tingginya tingkat konsumsi ikan seperti Baung, Betutu, Belida, dan Gabus rata-rata 25,4 kilogram per kapita per tahun. Selain itu, adanya kebutuhan pasar terhadap ikan membuat banyaknya pemasok ikan dari provinsi Jambi dan Riau yang mengindikasikan populasi ikan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan telah mengalami pengurangan.
Tidak adanya pembatasan maupun sosialisasi kepada masyarakat dalam menangkap ikan Sungai Musi menjadi faktor utama mulai punahnya ikan ikon Palembang. Kegiatan pelestarian ikan air tawar Sungai Musi seperti Baung, Betutu, Belida, dan Gabus mutlak dilakukan. Terlambat memang atau daripada tidak sama sekali. Akankah kita kehilangan ikon Palembang Ikan Belida seperti saudara jauhnya Harimau Sumatera. Entahlah. Menunggu waktu! (Indar Wijaya/mar)
Indar Wijaya adalah pewarta warga.
Mulai 6 November-15 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Jika Aku Punya Startup". Ada merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.