Citizen6, Jakarta: Intelijen kerap dipersepsi sebagai materialisasi "realitas gelap" manusia berupa tindak penculikan, pembunuhan dan penyadapan. Itu anggapan umum masyarakat terhadap institusi intelijen yang seringkali diwarnai dengan phobia, namun setelah membaca buku berjudul “Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia” yang ditulis mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Dr. AM Hendropriyono ini masyarakat akan semakin menyakini bahwa jasa intelijen sangat diperlukan di era digitalisasi dan era komunikasi yang tidak berbatas ini, karena dapat menimbulkan berbagai jenis ancaman. Hanya dengan intelijen yang ditujukan untuk membela kepentingan rakyat dan kepentingan nasional, maka masyarakat akan sepakat bahwa “tidak aka nada hidup tenang dan aman tanpa ada intelijen”.
Realitas politik global yang terus berubah jelas membutuhkan intelijen dalam rangka meminimalisir ancaman terhadap kepentingan nasional, karena sejatinya negara, keamanan nasional, ancaman dan perang semuanya berubah total. Negara bukan hanya dibatasi patok, namun negara berarti teritori non fisik, sehingga ancaman terhadap negara bukan hanya karena ada pasukan asing yang menyerang, namun dapat juga dinilai sebagai ancaman jika ada segelintir spekulan asing yang merusak fondasi perekonomian negara atau patenisasi kekayaan budaya kita oleh negara lain dll. Keamanan nasional harus dipahami secara komprehensif meliputi keamanan insani (human security).
Harus dipahami bahwa kita sesungguhnya sedang berperang setiap hari: perang ekonomi, perang budaya, perang sosial, perang ideologi dan lainnya, yang diwarnai dengan adanya konsep-konsep baru yang berarti menuntut adanya penggalangan yang terus menerus untuk menciptakan wacana yang tidak membahayakan kepentingan nasional.
Pesan penting yang ingin disampaikan buku ini adalah intelijen bukan operasi penegakkan hukum yang bergumul dengan bukti-bukti, sebelum menentukan sebuah perbuatan melawan hukum. Akurasi memang penting, namun kecepatan jauh lebih penting. Kerja intelijen dengan demikian tidak dapat serta merta dipayungi oleh the criminal justice system. Intelijen bekerja dalam situasi kedaruratan permanen yang tidak diandaikan oleh the criminal justice system. Dalam konteks kedaruratan, ada tindakan dalam rentang ilustitium, yang tidak dapat diartikan dengan sedang mengeksekusi hukum dan bukan pula sedang melanggarnya, karena tindakan dalam ilustitium sebenarnya adalah proses penciptaan hukum baru, karena membuatnya lumpuh secara operasional.
Ilustitium menciptakan zona anomi ketika semua determinasi legal berhenti bekerja, karena kedaruratan tidak mengenal hukum apapun atau necessitas legem non habet seperti dikemukakan Santo Romano, hakim asal Italia yang terkenal di awal abad ke-20. Contoh gamblangnya adalah seorang intelijen mengetahui niat jahat teroris untuk mengebom sebuah tempat ibadah dengan cara bom bunuh diri, dan kemudian intelijen tersebut menembak mati teroris tersebut sebelum sempat meledakkan bomnya atau ketika berlari menuju kerumunan orang yang sedang beribadah tersebut. Tindakan intelijen tersebut dilakukan dalam konteks ilustitium atau kondisi hampa hukum.
Buku ini juga membahas praktek intelijen dalam filsafat Pancasila sebagai obyek materiil, sedangkan filsafat umum yang bersifat universal sebagai obyek formalnya. Dalam tradisi filsafat, kajian tentang hakikat realitas disebut dengan "ontologi" (halaman 9). Disamping itu, buku ini juga melihat intelijen berfilsafat Pancasila ini secara epistemologi. Epistemologi sosial memandang pengetahuan sebagai keluaran dari praktik sosial. Menurut ilmu psikologi, yang dimaksud intelijen adalah kemampuan yang dipunyai oleh manusia, dalam mengambil manfaat dari pengalaman-pengalaman masa lalu, yang berguna untuk mengatasi situasi baru yang sedang dan akan dihadapinya. Oleh karena itu, secara epistemologi, intelijen juga berarti kemampuan untuk belajar tanpa kesulitan, sehingga sikap hidup seseorang individu dalam situasi baru dapat memuaskan dirinya sendiri dan juga lingkungannya (halaman 27).
Menurut AM Hendropriyono, media massa di berbagai negara demokrasi juga banyak yang dituduh menjadi pemeran utama dalam merekayasa opini umum, sehingga media massa harus menjadi perhatian intelijen dengan menjadikan media massa sebagai sasaran strategis penggalangan (conditioning). Media massa dipandang sebagai critical point yang berarti memberikan keuntungan bagi yang dapat menguasainya. Busyro Muqqodas mengatakan, media massa memang sangat efektif menggiring opini publik, untuk menghakimi sesuatu yang belum pasti terjadi. Medan perang intelijen ke depan adalah informasi dan pembentukan opini. Penggalangan media dan opini yang intens tanpa mengabaikan kebebasan pers, harus dilakukan secara terpola dan komprehensif. Dalam hal ini kuncinya bukan hanya bereaksi dan melakukan counter atas informasi yang keliru, tetapi harus mengambil posisi inisiatif untuk membangun opini umum yang menguntungkan bagi pihak sendiri (halaman 71).
Filsafat intelijen negara ini bermaksud untuk memberikan koridor ontologis, epistemologis dan aksiologis bagi intelijen negara Republik Indonesia, ditengah kebingungan bangsa kita menghadapi perkembangan keadaan yang serba dilematis.
AM Hendropriyono menekankan bahwa kebermanfatan intelijen harus selalu diukur berdasarkan kecepatan dan ketepatannya dalam memprediksi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap negara bangsa Indonesia sekarang dan masa datang. Oleh karena itu, intelijen termasuk dalam dimensi individual (personal) dan sekaligus sosial, yang selama ini kerapkali terabaikan dalam kebenaran ilmiah (halaman 214).
Buku ini tentunya sangat bermanfaat bagi mahasiswa pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen ataupun Kajian Ketahanan Nasional serta mereka yang mendalami dan ingin mengetahui seluk beluk intelijen. Melalui pembuatan buku semacam ini oleh berbagai tokoh berlatar belakang pengalaman intelijen, akan menjadi referensi positif dalam rangka mengembangkan pemahaman yang positif warga bangsa terhadap keberadaan dan fungsi strategis intelijen, karena sejatinya tidak ada kehidupan yang aman dan tenang, jika intelijennya lemah atau dilemahkan. (Toni Ervianto/kw)
Toni Ervianto, Alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia adalah pewarta warga
Realitas politik global yang terus berubah jelas membutuhkan intelijen dalam rangka meminimalisir ancaman terhadap kepentingan nasional, karena sejatinya negara, keamanan nasional, ancaman dan perang semuanya berubah total. Negara bukan hanya dibatasi patok, namun negara berarti teritori non fisik, sehingga ancaman terhadap negara bukan hanya karena ada pasukan asing yang menyerang, namun dapat juga dinilai sebagai ancaman jika ada segelintir spekulan asing yang merusak fondasi perekonomian negara atau patenisasi kekayaan budaya kita oleh negara lain dll. Keamanan nasional harus dipahami secara komprehensif meliputi keamanan insani (human security).
Harus dipahami bahwa kita sesungguhnya sedang berperang setiap hari: perang ekonomi, perang budaya, perang sosial, perang ideologi dan lainnya, yang diwarnai dengan adanya konsep-konsep baru yang berarti menuntut adanya penggalangan yang terus menerus untuk menciptakan wacana yang tidak membahayakan kepentingan nasional.
Pesan penting yang ingin disampaikan buku ini adalah intelijen bukan operasi penegakkan hukum yang bergumul dengan bukti-bukti, sebelum menentukan sebuah perbuatan melawan hukum. Akurasi memang penting, namun kecepatan jauh lebih penting. Kerja intelijen dengan demikian tidak dapat serta merta dipayungi oleh the criminal justice system. Intelijen bekerja dalam situasi kedaruratan permanen yang tidak diandaikan oleh the criminal justice system. Dalam konteks kedaruratan, ada tindakan dalam rentang ilustitium, yang tidak dapat diartikan dengan sedang mengeksekusi hukum dan bukan pula sedang melanggarnya, karena tindakan dalam ilustitium sebenarnya adalah proses penciptaan hukum baru, karena membuatnya lumpuh secara operasional.
Ilustitium menciptakan zona anomi ketika semua determinasi legal berhenti bekerja, karena kedaruratan tidak mengenal hukum apapun atau necessitas legem non habet seperti dikemukakan Santo Romano, hakim asal Italia yang terkenal di awal abad ke-20. Contoh gamblangnya adalah seorang intelijen mengetahui niat jahat teroris untuk mengebom sebuah tempat ibadah dengan cara bom bunuh diri, dan kemudian intelijen tersebut menembak mati teroris tersebut sebelum sempat meledakkan bomnya atau ketika berlari menuju kerumunan orang yang sedang beribadah tersebut. Tindakan intelijen tersebut dilakukan dalam konteks ilustitium atau kondisi hampa hukum.
Buku ini juga membahas praktek intelijen dalam filsafat Pancasila sebagai obyek materiil, sedangkan filsafat umum yang bersifat universal sebagai obyek formalnya. Dalam tradisi filsafat, kajian tentang hakikat realitas disebut dengan "ontologi" (halaman 9). Disamping itu, buku ini juga melihat intelijen berfilsafat Pancasila ini secara epistemologi. Epistemologi sosial memandang pengetahuan sebagai keluaran dari praktik sosial. Menurut ilmu psikologi, yang dimaksud intelijen adalah kemampuan yang dipunyai oleh manusia, dalam mengambil manfaat dari pengalaman-pengalaman masa lalu, yang berguna untuk mengatasi situasi baru yang sedang dan akan dihadapinya. Oleh karena itu, secara epistemologi, intelijen juga berarti kemampuan untuk belajar tanpa kesulitan, sehingga sikap hidup seseorang individu dalam situasi baru dapat memuaskan dirinya sendiri dan juga lingkungannya (halaman 27).
Menurut AM Hendropriyono, media massa di berbagai negara demokrasi juga banyak yang dituduh menjadi pemeran utama dalam merekayasa opini umum, sehingga media massa harus menjadi perhatian intelijen dengan menjadikan media massa sebagai sasaran strategis penggalangan (conditioning). Media massa dipandang sebagai critical point yang berarti memberikan keuntungan bagi yang dapat menguasainya. Busyro Muqqodas mengatakan, media massa memang sangat efektif menggiring opini publik, untuk menghakimi sesuatu yang belum pasti terjadi. Medan perang intelijen ke depan adalah informasi dan pembentukan opini. Penggalangan media dan opini yang intens tanpa mengabaikan kebebasan pers, harus dilakukan secara terpola dan komprehensif. Dalam hal ini kuncinya bukan hanya bereaksi dan melakukan counter atas informasi yang keliru, tetapi harus mengambil posisi inisiatif untuk membangun opini umum yang menguntungkan bagi pihak sendiri (halaman 71).
Filsafat intelijen negara ini bermaksud untuk memberikan koridor ontologis, epistemologis dan aksiologis bagi intelijen negara Republik Indonesia, ditengah kebingungan bangsa kita menghadapi perkembangan keadaan yang serba dilematis.
AM Hendropriyono menekankan bahwa kebermanfatan intelijen harus selalu diukur berdasarkan kecepatan dan ketepatannya dalam memprediksi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap negara bangsa Indonesia sekarang dan masa datang. Oleh karena itu, intelijen termasuk dalam dimensi individual (personal) dan sekaligus sosial, yang selama ini kerapkali terabaikan dalam kebenaran ilmiah (halaman 214).
Buku ini tentunya sangat bermanfaat bagi mahasiswa pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen ataupun Kajian Ketahanan Nasional serta mereka yang mendalami dan ingin mengetahui seluk beluk intelijen. Melalui pembuatan buku semacam ini oleh berbagai tokoh berlatar belakang pengalaman intelijen, akan menjadi referensi positif dalam rangka mengembangkan pemahaman yang positif warga bangsa terhadap keberadaan dan fungsi strategis intelijen, karena sejatinya tidak ada kehidupan yang aman dan tenang, jika intelijennya lemah atau dilemahkan. (Toni Ervianto/kw)
Toni Ervianto, Alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia adalah pewarta warga
Mulai 6 November-15 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Jika Aku Punya Startup". Ada merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.