Citizen6, Jakarta: Baru-baru ini Film November 1828 karya Teguh Karya diputar di Kampus Universitas Nasional (Unas) Jakarta. Aktor Senior Didi Petet dalam acara nobar dan diskusi film November 1828 dihadapan mahasiswa Unas menceritakan sedikit tentang pembuatan Film karya Teguh Karya.
Untuk membuat film ini Teguh Karya sampai belajar ke Luar Negeri. Gambar dikirim ke Hongkong, dan untuk suara dibuat dubbing, kata Didi Petet dalam acara Nobar dan Diskusi Film November 1828 di Aula Gedung 1 Unas, Pasar Minggu Jakarta.
Lebih lanjut Didi Petet menceritakan bahwa butuh 2 tahun lebih untuk mempersiapkan film ini. Mulai dari aktor-aktornya belajar naik kuda, belajar perang dan untuk penggarapkan filmnya sendiri sampai 6 bulan lamanya.
Tahun 1979 saat Teguh Karya membuat film ini, waktu itu saya masih kuliah di IKJ, jelas Didi Petet.
Menurut Didi Petet film memiliki pengaruh yang luar biasa baik bagi pemain film, penonton maupun bangsa itu sendiri. Lebih lanjut Didi mencontohkan film di Amerika Serikat tentang seorang jagoan bernama Rambo yang mampu mengalahkan pasukan dari negara lain seorang diri. Film itu memberikan kepercayaan diri yang tinggi kepada Amerika Serikat
Kalau di Indonesia ada Laskar Pelangi, berkat film itu orang penasaran dengan Bangka Belitung, jelas Didi Petet.
Di sisi lain Jenny Rachman menceritakan fenomena film di tahun 1979 bersamaan dengan lahirnya Film dari Teguh Karya.
Pada tahun 1979 film Indonesia ramai dengan film paha dan dada, dan ternyata ada seniman yang membuat karya perjuangan yang sangat menginspirasi, ungkap Jenny Rachman yang juga menjadi narasumber di acara Nobar dan Diskusi Film di Unas.
Lebih lanjut Jenny sedikit mengungkapkan keprihatinannya karena film-film sejarah kurang dibuat. Jika nantinya akan digalakkan film-film sejarah tentunya saya dan organisasi artis film Indonesia akan sangat mendukung.
Jenny Rachman juga memberikan pandangannya terkait perbedaan perfilman di era 70 an dan era saat ini dimana banyak statiun televisi dan banyak pula tayangan sinetron.
Dari segi pembuatan film, menurut Jenny, film dulu hampir digarapnya sampai satu tahun. Bandingkan dengan sekarang dalam 2 hari sudah bisa jadi sinetron, dan setiap episode sekian juta. Saat ini berlomba-lomba kejar tayang dan artis serta penulis seperti kejar setoran (suara riuh ramai muncul dari peserta diskusi yang kebanyakan mahasiswa Unas)
Lebih lanjut Jenny Rachman mengatakan saat ini Idealisme dalam membuat film seperti tidak ada dan pesan moralnya masih kurang, karena yang penting dibayar dan terkesan buru-buru dikejar setoran.
Dihadapan mahasiswa Unas, Jenny Rachman mengungkapkan harapan dan kepercayaannya kepada mahasiswa Unas untuk memiliki Idelisme tinggi dan memberikan pesan : Jangan sampai uang memperalat kita, tapi kitalah yang memperalat uang. (Gilar Ramdhani/kw)
Gilar Ramdhani adalah pewarta warga
Untuk membuat film ini Teguh Karya sampai belajar ke Luar Negeri. Gambar dikirim ke Hongkong, dan untuk suara dibuat dubbing, kata Didi Petet dalam acara Nobar dan Diskusi Film November 1828 di Aula Gedung 1 Unas, Pasar Minggu Jakarta.
Lebih lanjut Didi Petet menceritakan bahwa butuh 2 tahun lebih untuk mempersiapkan film ini. Mulai dari aktor-aktornya belajar naik kuda, belajar perang dan untuk penggarapkan filmnya sendiri sampai 6 bulan lamanya.
Tahun 1979 saat Teguh Karya membuat film ini, waktu itu saya masih kuliah di IKJ, jelas Didi Petet.
Menurut Didi Petet film memiliki pengaruh yang luar biasa baik bagi pemain film, penonton maupun bangsa itu sendiri. Lebih lanjut Didi mencontohkan film di Amerika Serikat tentang seorang jagoan bernama Rambo yang mampu mengalahkan pasukan dari negara lain seorang diri. Film itu memberikan kepercayaan diri yang tinggi kepada Amerika Serikat
Kalau di Indonesia ada Laskar Pelangi, berkat film itu orang penasaran dengan Bangka Belitung, jelas Didi Petet.
Di sisi lain Jenny Rachman menceritakan fenomena film di tahun 1979 bersamaan dengan lahirnya Film dari Teguh Karya.
Pada tahun 1979 film Indonesia ramai dengan film paha dan dada, dan ternyata ada seniman yang membuat karya perjuangan yang sangat menginspirasi, ungkap Jenny Rachman yang juga menjadi narasumber di acara Nobar dan Diskusi Film di Unas.
Lebih lanjut Jenny sedikit mengungkapkan keprihatinannya karena film-film sejarah kurang dibuat. Jika nantinya akan digalakkan film-film sejarah tentunya saya dan organisasi artis film Indonesia akan sangat mendukung.
Jenny Rachman juga memberikan pandangannya terkait perbedaan perfilman di era 70 an dan era saat ini dimana banyak statiun televisi dan banyak pula tayangan sinetron.
Dari segi pembuatan film, menurut Jenny, film dulu hampir digarapnya sampai satu tahun. Bandingkan dengan sekarang dalam 2 hari sudah bisa jadi sinetron, dan setiap episode sekian juta. Saat ini berlomba-lomba kejar tayang dan artis serta penulis seperti kejar setoran (suara riuh ramai muncul dari peserta diskusi yang kebanyakan mahasiswa Unas)
Lebih lanjut Jenny Rachman mengatakan saat ini Idealisme dalam membuat film seperti tidak ada dan pesan moralnya masih kurang, karena yang penting dibayar dan terkesan buru-buru dikejar setoran.
Dihadapan mahasiswa Unas, Jenny Rachman mengungkapkan harapan dan kepercayaannya kepada mahasiswa Unas untuk memiliki Idelisme tinggi dan memberikan pesan : Jangan sampai uang memperalat kita, tapi kitalah yang memperalat uang. (Gilar Ramdhani/kw)
Gilar Ramdhani adalah pewarta warga
Mulai 18 November-29 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Guruku Idolaku". Dapatkan merchandise menarik dari Liputan6.com bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.