Sukses

Penyadapan: Bukti Tidak Ada "Zero Enemies"

National Security Agency Amerika Serikat, Edward Snowden kembali membuka aib Amerika Serikat (AS) dan Australia.

Citizen6, Jakarta: Mantan kontraktor Agensi Keamanan Nasional (National Security Agency/NSA) Amerika Serikat, Edward Snowden kembali membuka aib Amerika Serikat (AS) dan Australia.

Sebuah media massa di Australia melansir, Presiden Susilo BambangY udhoyono (SBY), Ibu Negara Ani Yudhoyono, dan sejumlah pejabat  lain menjadi target penyadapan. Hal itu tentu saja menimbulkan kemarahan bagi publik, bahkan pemerintah menarik pulang Duta Besar RI untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema dari kantornya di Canberra.

Namun, Perdana Menteri (PM) Tony Abbot justru menolak meminta maaf dan hanya menyampaikan penyesalannya mengenai kabar tersebut. Menurut Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Marciano Norman menyesalkan kejadian tersebut hingga mengganggu hubungan kedua negara yang tengah membaik. Dia pun meminta kepada mitranya di Australia untuk memperbaiki dan mengevaluasi kegiatan yang mereka lakukan terhadap pemerintah Indonesia.

"Mereka memperbaiki ke depan, agar hal-hal seperti ini yang sangat sensitif, dan ini tentunya sangat berdampak pada kewibawaan NKRI yang tidak satu pun warga negara kita diperlakukan seperti itu," tegas Marciano di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu 20 November 2013.

Marciano menjelaskan, beberapa penyadapan yang dilakukan saat itu memang dilakukan secara terbuka dalam kurun waktu 2007 sampai 2009 hingga muncul kepermukaan. Dari informasi yang diterima BIN, tercium aroma pelanggaran yang dilakukan pihak intelijen Australia saat menjalankan tugasnya.

"Tentunya dalam melakukan hal-hal seperti itu harus ikuti undang-undang yang berlaku, undang-undang gitu, bahwa kita bisa melakukan penyadapan terhadap potensi-potensi yang akan mengganggu stabilitas keamanan negara," tandas purnawirawan Letnan Jenderal TNI AD ini.

Sementara itu, Presiden SBY telah memberikan keteranga pers di Istana Presiden, berisi protes keras terhadap tingkah laku Australia terhadap negara kawan yang bertetangga. Presiden SBY juga memerintahkan menghentikan semua kerjasama, terutama pertukaran informasi dan intelijena ntara RI-Australia, sampai Australia memperbaiki perilakunya dalam hidup bertetangga dan meminta maaf kepada Indonesia.

Menurut penulis, pihak institusi intelijen Indonesia sebaiknya juga menghentikan kerjasama beragam pelatihan dengan lembaga intelijen di Australia. Karena kerjasama-kerjasama seperti ini adalah modus operandi intelijen untuk mengetahui mutu SDM dan menyerap informasi dari kalangan pesertanya, melalui tugas pengumpulan informasi ataupun penganalisaan atas sebuah kasus. Sehingga dapat  terpotret kemampuan analisa para institusi intelijen di Indonesia. Pemerintah RI telah memerintahkan Dubes RI di Australia kembali ke Jakarta membawa koper pakaiannya, bukan sekedar tas kerjanya.

Demikian pula TNI telah memerintahkan semua anggota TNI yang sedang berlatih di Perth Australia kembali ke Indonesia, termasuk beberapa pesawat TNI AU yang sedang melakukan program kerjasama AngkatanBersenjata antara TNI dengan AngkatanBersenjata Australia. Bahkan, kalau perlu kerjasama pertukaran perwira antara TNI dengan Angkatan Bersenjata Australia dihentikan, sebelum ada penjelasan komprehensif, integral, dan factual terkait penyadapan yang dilakukan Australia dan Amerika Serikat  terhadap Indonesia seperti dikoarkan Snowden.

Zero Enemies dan MIDLIFES

Dalam situasi sekarangini, ada gium yang menyatakan "zero enemies, thousand friends" sebenarnya sudah usang dan hanyalah ada gium yang ada di langit, tidak mungkin dapat diterapkan dalam berbagai hubungan internasional antar sesama bangsa, bahkan di negara manapun juga, intelijen selalu bersikap tidak ada "zero enemies" tersebut, yang ada adalah "kepentingan".

Kasus penyadapan yang dikemukakan Edward Snowden dan disebarluaskan oleh The Manchester Guardian atau lebih dikenal dengan harian The Guardian di Inggris serta Radio Australia Broadcasting Company (ABC) Australia adalah berita yang usang karena kejadiannya terjadi pada 2007 dan 2009. Sebagai sebuah media massa yang sebenarnya cukup kredibel, The Guardian tampaknya akanmenyesal telah mengeluarkan pemberitaan bombastis namun usang tersebut. Karena secara tidak langsung mereka sudah melanggar kode etik wartawan yang kemungkinan berlaku secara global, yaitu "fairness, accountability, reality, cover both sides anf fact not rumors".

Oleh karenanya, penulis sangat yakin The Guardian akan semakin terpuruk, karena saingan mereka yaitu Harian Daily Telegraph tidak mau menyiarkan informasi yang sudah usang tersebut. Pembuatan berita ini oleh The Guardian juga menunjukkan kemampuan analisa redaktur-redaktur media ini patut dipertanyakan terutama dalam memahami fenomena "hubungan internasional dan intelijen".

Sementara itu, siaran Radio ABC Australia juga hampir sama dengan The Guardian. Namun kita memakluminya karena radio ini dibiayai oleh Pemerintah Australia. Sehingga langsung atau tidak langsung memang menyuarakan propaganda, agitasi, dan lain-lain yang kemungkinan besar banyak wartawan ataupun redaktur di radio ini adalah anggota intelijen Australia lainnya. Karena sudah bukan rahasia umum lagi, insan intelijen banyak yang menggunakan cover wartawan dan lain-lain dalam menjalankan tugasnya. Kesalahan terbesar bangsa Indonesia pada umumnya adalah mereka selalu percaya dengan bule! Siaran Radio ABC ini juga perlu diantisipasi karena sangat  terdengar jelas di wilayah-wilayah Indonesia, seperti Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Ambon.

Dalam teori terkait hubungan internasional dan intelijen, dikenal apa yang disebut dengan Military, Information, Demografi, Legal, Intelijen, Finance, Ekonomi dan Sosial (MIDLIFES) sebagai "pintu masuk" infiltrasi asing dari suatu negara ke negara lain. Militer misalnya, dapat mudah dimasuki anasir asing melalui pikiran ataupun emosi, sikap, tingkah laku, opini, dan motivasi (ESTOM) melalui berbagai bentuk kerjasama, mulai dari tukar-menukar perwira dan lain-lain. Karena acara tersebut "tindakan gratis" yang itu sama dengan praktik hubungan internasional yaitu "no free launch atau tidak ada makan siang gratis".

Maraknya tawaran tukar-menukar perwira, tukar menukar pelajar, budaya ataupun kerjasama pelatihan teknis harus diterjemahkan sebagai modus operandi lawan untuk mengetahui ESTOM dari aparat negara ataupun generasi muda berpotensial yang penulis angat mempercayai sudah banyak masuk dalam radar "talent scouting" pihak asing. Sehingga ditawari berbagai jenis kerjasama, apalagi orang asing kemungkinan sudah memahami betul gejala sosial budaya di Indonesia yang sudah mulai berubah ke arah individualis, hedonis, kehidupan jet set, kleptomania ataupun glamour, sehingga penggalangan asing kepada stake holder Indonesia sangat mudah dilakukan. Output penggalangan asing tersebut tidak dapat dilihat dalam waktu pendek, namun akan terlihat beberapa tahun ke depan. Salah satu output yang patut diwaspadai dari penggalangan asing adalah "hilangnya nasionalisme dan jati diri bangsa". (Satya Dewangga/mar)

Satya Dewangga adalah penulis, peneliti muda di Forum Dialog dan pewarta warga.

Mulai 18 November-29 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Guruku Idolaku". Dapatkan merchandise menarik dari Liputan6.com bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.