Citizen6, Banda Aceh: Guru sekaligus Kepala Sekolah kami menjadi teladan di segala sisi kehidupan. Sang Kepsek (Kepala Sekolah) lahir di Desa Kinepen, Kecamatan Munthe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara pada 1942. Sang Imam, demikian dia digelari oleh sesama guru pada masanya, baru memeluk agama Islam beserta istri dan anak-anaknya pada 1964.
Usai menamatkan SBG, setara dengan Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Pak Tarigan ditugaskan mengajar ke Aceh Tenggara. Pada dekade 1970-an, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Aceh Tenggara memekarkan SDN Lawe Dua menjadi; SDN 1 dan SDN 2. Pemekaran ini dilakukan karena jumlah anak usia SD yang semakin banyak. Di tahun itu pula, Pak Tarigan baru dilantik menjadi kepala sekola hingga akhir hayatnya.
Selama menjalankan amanahnya, sekolah kami menjadi salah satu sekolah favorit dengan kepala sekolah tedalan. Keteladanannya tidak pernah disematkan secara formal, namun, karena kebajikan dan kebijaksanaannya, sekolah kami yang berada di perkampungan dan jauh dari pusat pemerintahan mampu bersinar hingga menembus jantung pemerintah provinsi.
Sekolah ini juga sering menjadi juara dari perlombaan-perlombaan yang diadakan oleh Depdikbud. Sebagai contoh, menjadi utusan Tanah Alas –julukan Aceh Tenggara- dan meraih Juara Harapan Satu Cerdas Cermat P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tingkat provinsi pada 1984. Deretan piala dan piagam penghargaan di ruang kepala sekolah menjadi saksi atas keberhasilannya memange sekolah sehingga lebih modern.
Banyak yang bertanya, apa rahasia Pak Tarigan? Keikhlasan paripurna, demikian pass word-nya. Keikhlasannya melahirkan perilaku bijak, seperti disiplin, tegas, sederhana, penuh kasih saying, amanah, accountable, transparans dan professional serta mampu memisahkan urusan pribadi atau keluarga dengan urusan kantor. Dengan kata lain, A baginya tetap A, tidak akan pernah berubah menjadi b, apalagi z.
Testimony murid sekaligus cucu
Nurhasanah, guru SDN Simpang Rema, Kecamatan Bambel, Kabupaten Aceh Tenggara, punya kesan tersendiri terhadap sosok sang Kepala Sekolah yang juga Kakeknya itu. Ana, demikian sapaan sehari-harinya, menceritakan dia pernah dihukum oleh sang Kakek saat dia masih duduk di kelas 4.
Hari itu, sedangkan diadakan upacara dan pengarahan oleh guru lain di tengah lapangan sekolah. Ana pun sibuk menyobeki lembaran kertas menjadi potongan kecil-kecil. Usai pengarahan, Ana melemparkan potongan kertas itu ke udara sembari berimajinasi, itu adalah salju yang sedang turun.
"Tidak berapa lama, kepala sekolah memanggil dan menghukum saya dengan mengutip semua potongan kertas yang telah mengotori lapangan sekolah. Seketika kawan-kawan mentertawai saya. Dengan perasaan marah dan kesal, saya kutip juga sambil berniat nggak mau lagi ngomong sama kakek," ujar Ana membuka memorinya dua dekade silam.
Niatnya itu pun diwujudkan Ana. Dengan memasang muka cemberut dan tidak bersahabat kepada kakeknya. Namun, si kakek tidak kalah cara membujuk cucunya. Ia pun memberikan uang Rp 50. Seketika itu juga Ana berubah menjadi riang gembira.
"Banyak kejadian serupa yang saya alami selama SD. Baru saya pahami bahwa Kakek mengajarkan kami sejak dini agar mampu memisahkan masalah pribadi atau keluarga dengan masalah pekerjaan. Hal ini pula yang membuat SD kami bersinar selama masa kepemimpinan Kepsek yang juga kakek kami," ungkap Ana bahagia.
Cucu Pak Tarigan lainnya, Mukhlis, alumni sekaligus Auditor Internal Universitas Gajah Mada (UGM), Jogjakarta. Ia mengisahkan, kakeknya pernah menunjuknya untuk merapikan barisan murid kelas satu sebelum masuk ke ruang kelas di hari pertama bersekolah di SDN 2 Lawe Dua.
Dengan tangan bersedekap, Mukhlis, instruktur Sekolah Vokasi Ekonomika dan Bisnis (SVEB) UGM itu memberikan aba-aba bersiap kepada murid-murid lainnya. Sontak, Kepala Sekolah yang berdiri di sampingnya sontak menegur dan menginstruksikan agar lebih dulu bersikap "siap" sebelum memberi aba-aba bersiap.
"Hari itu, Pak Tarigan memberikan kepadaku kesempatan sekaligus arahan tentang bagaimana memimpin. Itu pengalaman pertamaku memimpin," tutur Mukhlis, penulis buku "Audit Sektor Publik untuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah" terbitan Gajah Mada University Press. (Ahmad Arif/mar)
Ahmad Arif adalah pewarta warga.
Mulai 18 November-29 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Guruku Idolaku". Dapatkan merchandise menarik dari Liputan6.com bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Usai menamatkan SBG, setara dengan Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Pak Tarigan ditugaskan mengajar ke Aceh Tenggara. Pada dekade 1970-an, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Aceh Tenggara memekarkan SDN Lawe Dua menjadi; SDN 1 dan SDN 2. Pemekaran ini dilakukan karena jumlah anak usia SD yang semakin banyak. Di tahun itu pula, Pak Tarigan baru dilantik menjadi kepala sekola hingga akhir hayatnya.
Selama menjalankan amanahnya, sekolah kami menjadi salah satu sekolah favorit dengan kepala sekolah tedalan. Keteladanannya tidak pernah disematkan secara formal, namun, karena kebajikan dan kebijaksanaannya, sekolah kami yang berada di perkampungan dan jauh dari pusat pemerintahan mampu bersinar hingga menembus jantung pemerintah provinsi.
Sekolah ini juga sering menjadi juara dari perlombaan-perlombaan yang diadakan oleh Depdikbud. Sebagai contoh, menjadi utusan Tanah Alas –julukan Aceh Tenggara- dan meraih Juara Harapan Satu Cerdas Cermat P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tingkat provinsi pada 1984. Deretan piala dan piagam penghargaan di ruang kepala sekolah menjadi saksi atas keberhasilannya memange sekolah sehingga lebih modern.
Banyak yang bertanya, apa rahasia Pak Tarigan? Keikhlasan paripurna, demikian pass word-nya. Keikhlasannya melahirkan perilaku bijak, seperti disiplin, tegas, sederhana, penuh kasih saying, amanah, accountable, transparans dan professional serta mampu memisahkan urusan pribadi atau keluarga dengan urusan kantor. Dengan kata lain, A baginya tetap A, tidak akan pernah berubah menjadi b, apalagi z.
Testimony murid sekaligus cucu
Nurhasanah, guru SDN Simpang Rema, Kecamatan Bambel, Kabupaten Aceh Tenggara, punya kesan tersendiri terhadap sosok sang Kepala Sekolah yang juga Kakeknya itu. Ana, demikian sapaan sehari-harinya, menceritakan dia pernah dihukum oleh sang Kakek saat dia masih duduk di kelas 4.
Hari itu, sedangkan diadakan upacara dan pengarahan oleh guru lain di tengah lapangan sekolah. Ana pun sibuk menyobeki lembaran kertas menjadi potongan kecil-kecil. Usai pengarahan, Ana melemparkan potongan kertas itu ke udara sembari berimajinasi, itu adalah salju yang sedang turun.
"Tidak berapa lama, kepala sekolah memanggil dan menghukum saya dengan mengutip semua potongan kertas yang telah mengotori lapangan sekolah. Seketika kawan-kawan mentertawai saya. Dengan perasaan marah dan kesal, saya kutip juga sambil berniat nggak mau lagi ngomong sama kakek," ujar Ana membuka memorinya dua dekade silam.
Niatnya itu pun diwujudkan Ana. Dengan memasang muka cemberut dan tidak bersahabat kepada kakeknya. Namun, si kakek tidak kalah cara membujuk cucunya. Ia pun memberikan uang Rp 50. Seketika itu juga Ana berubah menjadi riang gembira.
"Banyak kejadian serupa yang saya alami selama SD. Baru saya pahami bahwa Kakek mengajarkan kami sejak dini agar mampu memisahkan masalah pribadi atau keluarga dengan masalah pekerjaan. Hal ini pula yang membuat SD kami bersinar selama masa kepemimpinan Kepsek yang juga kakek kami," ungkap Ana bahagia.
Cucu Pak Tarigan lainnya, Mukhlis, alumni sekaligus Auditor Internal Universitas Gajah Mada (UGM), Jogjakarta. Ia mengisahkan, kakeknya pernah menunjuknya untuk merapikan barisan murid kelas satu sebelum masuk ke ruang kelas di hari pertama bersekolah di SDN 2 Lawe Dua.
Dengan tangan bersedekap, Mukhlis, instruktur Sekolah Vokasi Ekonomika dan Bisnis (SVEB) UGM itu memberikan aba-aba bersiap kepada murid-murid lainnya. Sontak, Kepala Sekolah yang berdiri di sampingnya sontak menegur dan menginstruksikan agar lebih dulu bersikap "siap" sebelum memberi aba-aba bersiap.
"Hari itu, Pak Tarigan memberikan kepadaku kesempatan sekaligus arahan tentang bagaimana memimpin. Itu pengalaman pertamaku memimpin," tutur Mukhlis, penulis buku "Audit Sektor Publik untuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah" terbitan Gajah Mada University Press. (Ahmad Arif/mar)
Ahmad Arif adalah pewarta warga.
Mulai 18 November-29 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Guruku Idolaku". Dapatkan merchandise menarik dari Liputan6.com bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.