Citizen6, Yogyakarta: Al Fatah adalah pondok pesantren khusus waria yang terletak di kawasan Notoyudan dan berada di tengah perkampungan penduduk.
"Ini satu-satunya pesantren waria di dunia," kata Maryani (54) pendiri pesantren itu, Sabtu 23 November 2013 sore.
Pesantren ini berdiri pada 2008. Sejak berdiri hingga kini, bangunan pesantren menempati rumah kontrakan Maryani di kampung itu. Berbeda dengan kebanyakan pesantren–santri tinggal dan menetap di pesantren–waria yang menjadi santri tinggal di rumah masing-masing.
Mereka mengaji dua kali per minggu, Ahad dan Rabu malam. Di saat itulah, ruang tamu dan bagian tengah rumah Maryani sekaligus berfungsi sebagai tempat pengajian.
Lantaran jadwal mengaji itu pula, pesantren waria ini disebut juga dengan pesantren Senin dan Kamis. Berbagai pelajaran agama diberikan selama pengajian itu. Dari doa dan cara salat, membaca Al-Quran, mengaji fikih, hingga pemahaman beragama.
Di awal berdiri, kata Maryani, tak banyak waria yang bergabung. Namun, kini jumlah santrinya mencapai 23 orang waria. Mereka merupakan waria asal sejumlah daerah di Indonesia, semisal Surabaya, Jakarta, Makasar, dan Semarang yang telah menetap di Yogyakarta.
"Sebenarnya ada 25 santrinya, yang dua orang sudah meninggal," katanya.
Selain menggelar pengajian rutin, pesantren waria juga memiliki agenda tahunan. Saat Ramadan tiba, mereka rutin menggelar tarawih, tadarus Al-Quran, hingga sahur, dan berbuka bersama. Menjelang Idul Fitri, mereka lantas berziarah bersama ke makam keluarga dan waria yang sudah meninggal.
Untuk seluruh biaya operasional pesantren, ia mengatakan, keluar dari kantong pribadinya. Sedikit demi sedikit, ia menyisihkan sebagian pendapatanya dari membuka salon kecantikan dan berdagang nasi untuk pesantren.
"Beberapa bulan ini pesantrennya libur, saya masih nyari untuk bayar kontrakan," kata Maryani yang juga membuka warung nasi tak jauh dari rumahnya ini.
Pendirian pesantren waria ini bermula dari rutinitas Maryani mengikuti pengajian KH Hamrolie Harun, seorang ustad pengasuh pengajian Al Fatah di kawasan Pathuk, Yogyakarta. Meski tahu Maryani seorang waria, Hamrolie tak membeda-bedakannya dengan jemaah yang lain.
"Sejak 15 tahun lalu saya ikut pengajian itu," kata Maryani mengenang.
Niat Maryani belajar agama cukup besar. Tak hanya mengikuti pengajian asuhan Hamroli secara rutin, ia juga menggelar pengajian tiap Rabu Pon di rumahnya. Pesertanya para waria dan pengasuhnya Hamrolie.
Pada 2006, setelah Yogyakarta dilanda gempa, Maryani menggagas acara doa bersama para waria. Tak hanya Hamrolie, tokoh agama lain juga diundang dalam acara itu. Maryani bahkan mengundang pastur dan pemuka agama yang lain. Sebanyak 200 waria dari berbagai daerah di Indonesia hadir dalam acara itu.
"Dari sinilah tercetus ide untuk mendirikan pesantren," katanya.
Gagasan itu baru terlaksana 2 tahun kemudian. Di pesantren itu, Hamrolie tetap menjadi pengasuh. Adapun Maryani bertugas sebagai pengelola. Sejak Hamrolie meninggal beberapa bulan lalu, Maryani mengatakan, pengisi pengajian di pesantrennya adalah Ustad Murtijo, seorang pemuka agama Islam di Notoyudan. (Muhammad Luthfi Razan/mar)
Muhammad Luthfi Razan adalah pewarta warga.
Mulai 18 November-29 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Guruku Idolaku". Dapatkan merchandise menarik dari Liputan6.com bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
"Ini satu-satunya pesantren waria di dunia," kata Maryani (54) pendiri pesantren itu, Sabtu 23 November 2013 sore.
Pesantren ini berdiri pada 2008. Sejak berdiri hingga kini, bangunan pesantren menempati rumah kontrakan Maryani di kampung itu. Berbeda dengan kebanyakan pesantren–santri tinggal dan menetap di pesantren–waria yang menjadi santri tinggal di rumah masing-masing.
Mereka mengaji dua kali per minggu, Ahad dan Rabu malam. Di saat itulah, ruang tamu dan bagian tengah rumah Maryani sekaligus berfungsi sebagai tempat pengajian.
Lantaran jadwal mengaji itu pula, pesantren waria ini disebut juga dengan pesantren Senin dan Kamis. Berbagai pelajaran agama diberikan selama pengajian itu. Dari doa dan cara salat, membaca Al-Quran, mengaji fikih, hingga pemahaman beragama.
Di awal berdiri, kata Maryani, tak banyak waria yang bergabung. Namun, kini jumlah santrinya mencapai 23 orang waria. Mereka merupakan waria asal sejumlah daerah di Indonesia, semisal Surabaya, Jakarta, Makasar, dan Semarang yang telah menetap di Yogyakarta.
"Sebenarnya ada 25 santrinya, yang dua orang sudah meninggal," katanya.
Selain menggelar pengajian rutin, pesantren waria juga memiliki agenda tahunan. Saat Ramadan tiba, mereka rutin menggelar tarawih, tadarus Al-Quran, hingga sahur, dan berbuka bersama. Menjelang Idul Fitri, mereka lantas berziarah bersama ke makam keluarga dan waria yang sudah meninggal.
Untuk seluruh biaya operasional pesantren, ia mengatakan, keluar dari kantong pribadinya. Sedikit demi sedikit, ia menyisihkan sebagian pendapatanya dari membuka salon kecantikan dan berdagang nasi untuk pesantren.
"Beberapa bulan ini pesantrennya libur, saya masih nyari untuk bayar kontrakan," kata Maryani yang juga membuka warung nasi tak jauh dari rumahnya ini.
Pendirian pesantren waria ini bermula dari rutinitas Maryani mengikuti pengajian KH Hamrolie Harun, seorang ustad pengasuh pengajian Al Fatah di kawasan Pathuk, Yogyakarta. Meski tahu Maryani seorang waria, Hamrolie tak membeda-bedakannya dengan jemaah yang lain.
"Sejak 15 tahun lalu saya ikut pengajian itu," kata Maryani mengenang.
Niat Maryani belajar agama cukup besar. Tak hanya mengikuti pengajian asuhan Hamroli secara rutin, ia juga menggelar pengajian tiap Rabu Pon di rumahnya. Pesertanya para waria dan pengasuhnya Hamrolie.
Pada 2006, setelah Yogyakarta dilanda gempa, Maryani menggagas acara doa bersama para waria. Tak hanya Hamrolie, tokoh agama lain juga diundang dalam acara itu. Maryani bahkan mengundang pastur dan pemuka agama yang lain. Sebanyak 200 waria dari berbagai daerah di Indonesia hadir dalam acara itu.
"Dari sinilah tercetus ide untuk mendirikan pesantren," katanya.
Gagasan itu baru terlaksana 2 tahun kemudian. Di pesantren itu, Hamrolie tetap menjadi pengasuh. Adapun Maryani bertugas sebagai pengelola. Sejak Hamrolie meninggal beberapa bulan lalu, Maryani mengatakan, pengisi pengajian di pesantrennya adalah Ustad Murtijo, seorang pemuka agama Islam di Notoyudan. (Muhammad Luthfi Razan/mar)
Muhammad Luthfi Razan adalah pewarta warga.
Mulai 18 November-29 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Guruku Idolaku". Dapatkan merchandise menarik dari Liputan6.com bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.