Sukses

Menanti Peran Diplomasi RI di (WTO) Bali

Pada 2013 ini, sekali lagi Indonesia terpilih sebagai tuan rumah perhelatan pertemuan tingkat dunia

Citizen6, Jakarta - Pada 2013 ini, sekali lagi Indonesia terpilih sebagai tuan rumah perhelatan pertemuan tingkat dunia, Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Ministerial Conference ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia/World Trade Organisation (WTO). Lewat pertemuan ini, pemerintah berambisi mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap peran WTO yang sudah semakin memudar. Pertemuan para menteri ini rencananya akan digelar pada 3-6 Desember 2013 di Nusa Dua, Bali.

Kepercayaan dunia terhadap peran WTO saat ini sudah mulai luntur. Hal ini terlihat dari belum adanya hasil signifikan dari hasil pertemuan KTM 4 di Doha, Qatar yang digelar 12 tahun yang lalu. Kala itu, delegasi peserta WTO membuahkan Doha Developmet Agenda (DDA) yang salah satunya mengharapkan setiap orang menyadari pentingan perdagangan internasional dalam meningkatkan kesejahteraan suatu negara. Sistem perdagangan bebas dianggap tak cukup efektif jika tak dibarengi dengan perdagangan fair antar negara.

Selama 12 tahun tidak ada kemajuan, kepercayaan terhadap WTO semakin berkurang, padahal WTO itu lembaga dunia yang memberikan fasilitas kesepakatan umum perdagangan. Dengan WTO lah kalau ada perpedaan pendapat kita bisa negosisiasi dengan mitra dagang kita. Di tengah krisis kepercayaan ini, pertemuan Bali kali ini diharapkan bisa merumuskan suatu paket keputusan yang dinamakan small but credible package of deliverable. Dari paket kebijakan ini tertuang isu-isu yang akan diperjuangkan anggota delegasi seperti pertanian, fasilitas perdagangan dan isu-isu pembangunan termasuk kepentingan negara-negara yang baru berkembang.

Indonesia berkepentingan untuk mendorong kemajuan perundingan DDA khususnya sektor pertanian dan implementasinya, yakni perlakuan khusus dan berbeda dikaitkan dengan kesejahteraan petani dan pelindungan konsumen.

Buntunya Perundingan Bali ?

Belum juga Konferensi Tingkat Menteri WTO Ke-9 (MC9) ini dilaksanakan, 159 negara anggota WTO sudah adu urat Senin lalu di Jenewa soal rancangan kesepakatan yang akan ditandatangani di Bali nanti. Padahal Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo telah mewanti-wanti agar di Bali nanti hanya tinggal pengesahannya saja, negosiasi dilakukan di Jenewa. tentu saja ini menjadi catatan penting, karena apabila perundingan di Bali mengalami kebuntuan akan memiliki konsekuensi besar bagi sistem perdagangan multilateral, paling ringan ditinggalkannya WTO oleh anggotanya.

Indonesia merupakan salah satu negara pendiri World Trade Organization  (WTO) dan telah meratifikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization. Dengan meratifikasi undang-undang tersebut, Indonesia terikat oleh segala ketentuan yang ditetapkan WTO dalam Marrakesh Agreement. Dengan meratifikasi pembentukan WTO, Indonesia harus siap dengan segala konsekuensi yang timbul sampai pada tataran implementasi kesepakatan yang dituangkan dalam WTO. Keterlibatan dan posisi Indonesia dalam proses perundingan tersebut, diharapkan dapat  mengakomodir kepentingan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, untuk itu dibutuhkan peran semua pihak dalam mensukseskan kepentingan tersebut.

Diplomasi Indonesia di WTO

KTM di Bali wajib untuk Indonesia mengkapitalisasi seluruh perundingan demi kemajuan dan kepentingan nasional. Selain itu, yang menjadi momok adalah "komitmen baru"yang akan diinisiasi oleh negara-negara maju yang akan semakin memperluas pasar terbuka di Indonesia. Yang jika tidak diantisipasi maka dikhawatirkan akan berdampak terhadap perkembangan pengusaha lokal. Melihat kontradiksi tajam antara pemerintah, DPR, LSM, dan pengusaha—kalaupun pemerintah berhasil mencapai berbagai kesepakatan yang intinya membuka pasar lebih luas (bahkan misalnya hanya untuk Perjanjian Teknologi Informasi (PTI))—pasti akan mendapatkan respons negatif dari DPR, pengusaha, atau LSM. Apalagi pembukaan pasar TI pada saat ini saja sudah membuat pasar TI di Indonesia banyak dibanjiri produk asing. Neraca perdagangan TI yang dulu surplus kini defisit dan nilainya cenderung meningkat karena tak bisa bersaing dengan produk luar. Demikian juga kinerja perdagangan produk nonpertanian secara umum negatif.

Selain PTI, isu terakhir dan paling kontroversial akhir-akhir ini adalah pertanian. Sebanyak 46 negara anggota G-33 mengusulkan penghapusan ketentuan WTO yang membatasi negara berkembang memberi subsidi bagi sektor pertanian, khususnya untuk kepentingan keamanan pangan dan cadangan pangan domestik. Jika saja proposal ini disetujui: upaya mempercepat kesejahteraan petani dan nelayan, meningkatkan produksi pangan lokal, termasuk mengurangi ketergantungan pangan impor di negara berkembang dapat tercapai. Tantangannya, negara maju juga sudah menyiapkan skema peace clause. Skema itu memberi batas waktu tertentu (baca: hanya 4 tahun) bagi negara berkembang untuk boleh memberi subsidi kepada pertanian domestiknya. Disinilah peran diplomasi Indonesia menjadi signifikan sebagai kordinator G33 untuk mengembalikan hak-hak subsidi bagi kesejahteraan petani.

Sebenarnya secara teknis maupun substansial, konferensi WTO di Bali menjadi strategis untuk Indonesia karena kredibilitas WTO yang didominasi oleh negara-negara maju tergantung pada hasil perundingan yang akan dipimpin Indonesia. Selain itu, DPR mengontrol dan memastikan agar pemerintah untuk mengambil inisiatif untuk mengajak negara-negara yang hadir merumuskan alternatif sistem perdagangan multilateral, dengan prinsip: solidaritas, saling melengkapi, keberlanjutan dan adil.Tanpa keberanian itu. (Arman Ndupa/kw)

 Arman Ndupa : Penulis adalah Alumnus KSI Univ.Indonesia dan Peneliti Senior di Lembaga Kajian Nusantara Bersatu.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com