Citizen6, Jakarta: Pernyataan Ali Maschan Moesa, salah seorang anggota Badan Kehormatan (BK) DPR-RI bahwa anggota Dewan masih berhak mendapatkan dana pensiun selama tidak diberhentikan secara tidak hormat oleh BK DPR-RI, termasuk anggota yang dikenakan pergantian antar waktu (PAW).
Keinginan tersebut kurang menya dari bahwa usulannya jika dianalogikan seperti benalu atau parasit yang tumbuh di pohon yang besar yang lama kelamaan bisa mematikan pohon besar tersebut, begitu juga halnya dengan dana pensiun anggota DPR yang nantinya bisa merusak keuangan negara. Terhadap masalah ini seharusnya mereka berfikir bahwa masalah dana pensiun yang diberikan terhadap pensiunan DPR akan membebani generasi mendatang, karena pada saatnya nanti akan menimbulkan akumulasi masalahyang sangat menyulitkan.
Apalagi, publik juga akan mencurigai dan menduga akan ada siasat yang dilakukana nggota DPR-RI untuk tetap mendapatkan pensiun, walaupun tersangkut kasus hukum yaitu mereka mengundurkan diri sebelum kasus hukumnyat ersebut memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Dana pensiun yang mereka harapkan harus dibangun dari awal. Hal ini bisa berbentuk asuransi bukan diberikan dari APBN secara cuma-cuma. Beda masalahnya dengan Pegawai Negeri (sipil,militer dan Polri), pensiun yang mereka dapat sudah dibangun minimal 20 tahun kerja melalui premi yang dipotong dari gaji mereka setiap bulan (sekitar Rp 550.000 per bulan untuk mereka yang sudah bekerja lebih dari 15 tahun).
Pegawai Negeri menikmati dana pensiun, bukan karena mereka bersenang-senang dan dimanjakan oleh negara, tetapi dana pensiun tersebut merupakan hasil keringat mereka sendiri, yang dilakukan pomotongan setiap bulan sebagai premi pensiun untuk tabungan dan jaminan kesejahteraan hidup di hari tua.
Berkaca dari keinginan dan ambisi para politikus-politikus tersebut, di sini terlihat adanya rasa iri, tanpa mau melihat fakta bahwa uang jerih payah Pegawai Negeri yang pemotongannya 'dipaksa' setiap bulan, agar saat mereka tidak bisa lagi mengabdi telah mempunyai pengahasilan setiap bulan. Jika uang yang diterima wakil rakyat diibaratkan seperti darah, maka sesungguhnya politikus-politikus tersebut sudah terlalu banyak menyedotnya melalui fasilitas-fasilitas dan tunjangan-tunjangan (di luar gaji) yang diberikan oleh negara, sehingga terkesan bahwa politikus-politikus tersebut makmur sejahtera 'mewakili kesejahteraan rakyatnya'. Demikian ironi yang sudah beredar luas.
Kalau anggota DPR ingin mensejahterakan rakyatnya, memang sudah seharusnya para politikus tersebut, mempunyai watak sebagai negarawan, mengutamakan kepentingan negara dan rakyatnya di atas kepentingan kelompok maupun pribadi. Mereka seharusnya berpikir bagaimana caranya mencari terobosan dalam merumuskan UU yang dapat dijadikan dasar hukum oleh pemerintah menuju pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sesuai yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Sebaliknya UU menyangkut masalah parlemen sendiri, terkait gaji, fasilitas dan tunjangan, dibuat sangat hemat dan bersahaja, tetapi terhadap Undang-Undang (UU) dan aturan-aturan yang ada di parlemen yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, sebaiknya dihapuskan serta mencarikan solusi yang terbaik agar para politikus kedepan betul-betul bermakna bagi rakyatnya.
Dasar hukum pemberian tunjangan yang bersifat pensiun kepada ketua dan bekas anggota DPR adalah UU Nomor 9 Tahun 1953 kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 tahun 1980 tentang hak keuangan/administratif pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara serta bekas pimpinan lembaga tertinggi/tinggi negara dan bekas anggota lembaga tinggi negara dimana dalam Bab VI pasal 12 s/d 21 memuat masalah pensiun. Di samping itu ada juga PP Nomor 75 Tahun 2000 yang mengaturnya. Sementara, UU Nomor 27 Tahun 2009 atau dikenal dengan UU MD3 (Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD) tak mengatur perihal larangan anggotanya yang berstatus terpidana mendapat uang pensiun.
Masalah dana pensiun anggota DPR sudah ada ketentuan hukum yang mengatur, namun masalah ini menimbulkan pro dan kontra akibat adanya beberapa orang anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi dan sudah mendapatkan putusan hukum tetap, ternyata masih bisa mendapatkan dana pensiun dari negara. Hal inilah yang memicu timbulnya permasalah, karena anggotanya yang sudah mendapatkan vonis hukuman dari hakim masih bisa mendapatkan dana pensiun sebagai anggota DPR.
Hal ini berbeda dengan Pegawai Negeri, apabila pegawai negeri sudah dapat sanksi hukum dari hakim dan dipecat secara tidak hormat dari, maka yang bersangkutan tidak mendapatkan sama sekali dana pensiun. Di sisi lain anggota DPR yang masa pengabdiannya dengan pengabdian Pegawai Negeri cukup jauh berbeda, namun hebatnya anggota DPR tersebut saat vonis dijatuhakan mereka tetap mendapatkan dana pensiun. Hal ini cukup mengecewakan rakyat.
Sebenarnya kalau dilihat dari ketentuan yang berlaku dana pensiun tidak dapat diberikan kepada anggota DPR yang diberhentikan dengan tidak hormat, namun anggota DPR yang sedang terkena sanksi hukum mengunakan celah dengan mengundurkankan diri sebagai anggota DPR saat status hukumnya belum inkracht. Oleh karena itu, pengunduran diri mereka tetap dalam status terhormat dan oleh sebab itulah mereka tetap mendapatkan dana pensiun.
Sebagai wakil rakyat yang salah satu fungsinya adalah sebagai fungsi kontrol terhadap pemerintah, namun tiga periode belakangan ini fungsi tersebut sudah mulai pudar, atau sengaja dipudarkan, hanya terpulang kepada mereka untuk menjawabnya. Berkaca dari kejadian-kejadian tersebut seharusnya Pimpinan DPR dan Badan Kehormatan DPR memberikan pertimbangan kepada Sekjen DPR agar terhadap mereka yang tersangkut kasus korupsi tidak perlu diberikan dana pensiun, karena hal ini akan menimbulkan masalah baru dikemudian hari.
Anggota DPR bukanlah pegawai negeri, tetapi jabatan politis yang elemen penghasilannya ada unsur gaji pokok, Sejak reformasi 2004, DPR memiliki kewenangan untuk menyusun APBN. Unsur pendapatan dan penghasilan dari anggota DPR salah satunya adalah gaji pokok, kemudian anggota DPR membuat aturan pensiunan anggota DPR dengan mendapat dana pensiun, celah peraturan di parlemen sengaja digunakan anggotanya yang bermasalah dengan hukum, untuk berhenti ditengah jalan dan kemudian akan tetap mendapatkan hak pensiunnya sebagai anggota DPR.
Pemberian dana pensiun seumur hidup terhadap anggota DPR sebaiknya dilakukan revisi/ditinjau ulang kembali. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan diminta bersikap tegas dan segera menghentikannya, selain membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), belakangan ini anggota DPR tidak memiliki lagi kredibilitas yang baik di mata rakyatnya, terlebih dengan banyaknya timbul kasus korupsi yang terus membuntuti kinerja para wakil rakyat tersebut.
Oleh karena itu sudah sepantasnya anggota DPR tidak lagi menerima dana pensiun dari pemerintah, karena semasa menjabat sebagai anggota DPR gaji yang didapat sudah sangat besar. Kalaupun anggota DPR mau mendapat pensiun juga bisa disiasati melalui asuransi, dimana saat habis masa jabatan DPR dia bisa mendapatkan uang pensiun dari premi yang dibayar setiap bulan. Premi asuransi diambil dari potongan gaji masing-masing anggota DPR.
Kalaupun negara ingin memberikan penghargaan bagi seorang anggota DPR yang sudah selesai masa jabatannya, hal itu dapat dilakukan dengan pemberian uang pesangon yang jumlahnya tidak terlalu memberatkan anggaran negara. Perlu diketahui untuk dana pensiunan anggota DPR pemerintah setiap tahunnya harus menguncurkan uang sekitar Rp 67 trilyun.
Terhadap Pemerintahan mendatang diharapkan dapat bersikap lebih tegas dan tidak menyalahi undang-undang kepegawaian negara, dimana yang semestinya berhak menerima dana pensiun adalah pegawai negeri dengan masa kerja yang telah ditentukan undang-undang, bukan anggota DPR yang hanya masa kerjanya lima tahun. (Datuak Alat Tjumano/mar)
Datuak Alat Tjumano, penulis adalah peneliti senior Forum Dialog (Fordial) dan Analis Senior di Lembaga Studi IntelijenStrategis Indonesia (LSISI).
Disclaimer
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Mulai 3 Desember sampai 13 desember 2013 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan "Terima Kasihku untuk 2013". Ada merchandise eksklusif dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Keinginan tersebut kurang menya dari bahwa usulannya jika dianalogikan seperti benalu atau parasit yang tumbuh di pohon yang besar yang lama kelamaan bisa mematikan pohon besar tersebut, begitu juga halnya dengan dana pensiun anggota DPR yang nantinya bisa merusak keuangan negara. Terhadap masalah ini seharusnya mereka berfikir bahwa masalah dana pensiun yang diberikan terhadap pensiunan DPR akan membebani generasi mendatang, karena pada saatnya nanti akan menimbulkan akumulasi masalahyang sangat menyulitkan.
Apalagi, publik juga akan mencurigai dan menduga akan ada siasat yang dilakukana nggota DPR-RI untuk tetap mendapatkan pensiun, walaupun tersangkut kasus hukum yaitu mereka mengundurkan diri sebelum kasus hukumnyat ersebut memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Dana pensiun yang mereka harapkan harus dibangun dari awal. Hal ini bisa berbentuk asuransi bukan diberikan dari APBN secara cuma-cuma. Beda masalahnya dengan Pegawai Negeri (sipil,militer dan Polri), pensiun yang mereka dapat sudah dibangun minimal 20 tahun kerja melalui premi yang dipotong dari gaji mereka setiap bulan (sekitar Rp 550.000 per bulan untuk mereka yang sudah bekerja lebih dari 15 tahun).
Pegawai Negeri menikmati dana pensiun, bukan karena mereka bersenang-senang dan dimanjakan oleh negara, tetapi dana pensiun tersebut merupakan hasil keringat mereka sendiri, yang dilakukan pomotongan setiap bulan sebagai premi pensiun untuk tabungan dan jaminan kesejahteraan hidup di hari tua.
Berkaca dari keinginan dan ambisi para politikus-politikus tersebut, di sini terlihat adanya rasa iri, tanpa mau melihat fakta bahwa uang jerih payah Pegawai Negeri yang pemotongannya 'dipaksa' setiap bulan, agar saat mereka tidak bisa lagi mengabdi telah mempunyai pengahasilan setiap bulan. Jika uang yang diterima wakil rakyat diibaratkan seperti darah, maka sesungguhnya politikus-politikus tersebut sudah terlalu banyak menyedotnya melalui fasilitas-fasilitas dan tunjangan-tunjangan (di luar gaji) yang diberikan oleh negara, sehingga terkesan bahwa politikus-politikus tersebut makmur sejahtera 'mewakili kesejahteraan rakyatnya'. Demikian ironi yang sudah beredar luas.
Kalau anggota DPR ingin mensejahterakan rakyatnya, memang sudah seharusnya para politikus tersebut, mempunyai watak sebagai negarawan, mengutamakan kepentingan negara dan rakyatnya di atas kepentingan kelompok maupun pribadi. Mereka seharusnya berpikir bagaimana caranya mencari terobosan dalam merumuskan UU yang dapat dijadikan dasar hukum oleh pemerintah menuju pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sesuai yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Sebaliknya UU menyangkut masalah parlemen sendiri, terkait gaji, fasilitas dan tunjangan, dibuat sangat hemat dan bersahaja, tetapi terhadap Undang-Undang (UU) dan aturan-aturan yang ada di parlemen yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, sebaiknya dihapuskan serta mencarikan solusi yang terbaik agar para politikus kedepan betul-betul bermakna bagi rakyatnya.
Dasar hukum pemberian tunjangan yang bersifat pensiun kepada ketua dan bekas anggota DPR adalah UU Nomor 9 Tahun 1953 kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 tahun 1980 tentang hak keuangan/administratif pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara serta bekas pimpinan lembaga tertinggi/tinggi negara dan bekas anggota lembaga tinggi negara dimana dalam Bab VI pasal 12 s/d 21 memuat masalah pensiun. Di samping itu ada juga PP Nomor 75 Tahun 2000 yang mengaturnya. Sementara, UU Nomor 27 Tahun 2009 atau dikenal dengan UU MD3 (Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD) tak mengatur perihal larangan anggotanya yang berstatus terpidana mendapat uang pensiun.
Masalah dana pensiun anggota DPR sudah ada ketentuan hukum yang mengatur, namun masalah ini menimbulkan pro dan kontra akibat adanya beberapa orang anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi dan sudah mendapatkan putusan hukum tetap, ternyata masih bisa mendapatkan dana pensiun dari negara. Hal inilah yang memicu timbulnya permasalah, karena anggotanya yang sudah mendapatkan vonis hukuman dari hakim masih bisa mendapatkan dana pensiun sebagai anggota DPR.
Hal ini berbeda dengan Pegawai Negeri, apabila pegawai negeri sudah dapat sanksi hukum dari hakim dan dipecat secara tidak hormat dari, maka yang bersangkutan tidak mendapatkan sama sekali dana pensiun. Di sisi lain anggota DPR yang masa pengabdiannya dengan pengabdian Pegawai Negeri cukup jauh berbeda, namun hebatnya anggota DPR tersebut saat vonis dijatuhakan mereka tetap mendapatkan dana pensiun. Hal ini cukup mengecewakan rakyat.
Sebenarnya kalau dilihat dari ketentuan yang berlaku dana pensiun tidak dapat diberikan kepada anggota DPR yang diberhentikan dengan tidak hormat, namun anggota DPR yang sedang terkena sanksi hukum mengunakan celah dengan mengundurkankan diri sebagai anggota DPR saat status hukumnya belum inkracht. Oleh karena itu, pengunduran diri mereka tetap dalam status terhormat dan oleh sebab itulah mereka tetap mendapatkan dana pensiun.
Sebagai wakil rakyat yang salah satu fungsinya adalah sebagai fungsi kontrol terhadap pemerintah, namun tiga periode belakangan ini fungsi tersebut sudah mulai pudar, atau sengaja dipudarkan, hanya terpulang kepada mereka untuk menjawabnya. Berkaca dari kejadian-kejadian tersebut seharusnya Pimpinan DPR dan Badan Kehormatan DPR memberikan pertimbangan kepada Sekjen DPR agar terhadap mereka yang tersangkut kasus korupsi tidak perlu diberikan dana pensiun, karena hal ini akan menimbulkan masalah baru dikemudian hari.
Anggota DPR bukanlah pegawai negeri, tetapi jabatan politis yang elemen penghasilannya ada unsur gaji pokok, Sejak reformasi 2004, DPR memiliki kewenangan untuk menyusun APBN. Unsur pendapatan dan penghasilan dari anggota DPR salah satunya adalah gaji pokok, kemudian anggota DPR membuat aturan pensiunan anggota DPR dengan mendapat dana pensiun, celah peraturan di parlemen sengaja digunakan anggotanya yang bermasalah dengan hukum, untuk berhenti ditengah jalan dan kemudian akan tetap mendapatkan hak pensiunnya sebagai anggota DPR.
Pemberian dana pensiun seumur hidup terhadap anggota DPR sebaiknya dilakukan revisi/ditinjau ulang kembali. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan diminta bersikap tegas dan segera menghentikannya, selain membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), belakangan ini anggota DPR tidak memiliki lagi kredibilitas yang baik di mata rakyatnya, terlebih dengan banyaknya timbul kasus korupsi yang terus membuntuti kinerja para wakil rakyat tersebut.
Oleh karena itu sudah sepantasnya anggota DPR tidak lagi menerima dana pensiun dari pemerintah, karena semasa menjabat sebagai anggota DPR gaji yang didapat sudah sangat besar. Kalaupun anggota DPR mau mendapat pensiun juga bisa disiasati melalui asuransi, dimana saat habis masa jabatan DPR dia bisa mendapatkan uang pensiun dari premi yang dibayar setiap bulan. Premi asuransi diambil dari potongan gaji masing-masing anggota DPR.
Kalaupun negara ingin memberikan penghargaan bagi seorang anggota DPR yang sudah selesai masa jabatannya, hal itu dapat dilakukan dengan pemberian uang pesangon yang jumlahnya tidak terlalu memberatkan anggaran negara. Perlu diketahui untuk dana pensiunan anggota DPR pemerintah setiap tahunnya harus menguncurkan uang sekitar Rp 67 trilyun.
Terhadap Pemerintahan mendatang diharapkan dapat bersikap lebih tegas dan tidak menyalahi undang-undang kepegawaian negara, dimana yang semestinya berhak menerima dana pensiun adalah pegawai negeri dengan masa kerja yang telah ditentukan undang-undang, bukan anggota DPR yang hanya masa kerjanya lima tahun. (Datuak Alat Tjumano/mar)
Datuak Alat Tjumano, penulis adalah peneliti senior Forum Dialog (Fordial) dan Analis Senior di Lembaga Studi IntelijenStrategis Indonesia (LSISI).
Disclaimer
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Mulai 3 Desember sampai 13 desember 2013 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan "Terima Kasihku untuk 2013". Ada merchandise eksklusif dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.