Citizen6, Semarang: Mata kuliah dalam sebuah kelas waktunya akan segera berakhir. Dosen tidak lupa memberikan tugas pada para mahasiswa. Mahasiswa yang berada di kelas serupa, jengkel tapi tak berdaya dengan kuasa sang dosen. Tugas tersebut harus ditulis tangan dengan syarat minimal halaman. Lalu kenapa? Apa yang salah mengerjakan tugas dengan menulis? Mereka terlanjur berpikir, "Apa? Nulis? Buat apa menulis?"
Ya, digitalisasi kini kian merebak. Perkembangan manusia tentang pembaharuan teknologi semakin canggih. Coba kita flashback sejenak. Sejak zaman dahulu kala, setiap perkataan-peristiwa memorial, selalu ditulis, entah menggunakan kayu lontar entah batu, semua yang dapat digunakan untuk menulis, digunakan. Karena terlalu banyak, tidak sedikit tulisan-tulisan itu tercecer entah kemana.
Zaman mulai berubah, dulu menulis di papan tulis menggunakan kapur, sekarang sudah banyak ditinggalkan, diganti dengan boardmarker. Boardmarker sendiri sudah mulai dikurangi, diganti menggunakan alat OHP untuk presentasi. Kini sudah berubah lagi dengan adanya power point yang satu paket dengan proyektor. Kini belajar mengajar menjadi sangat mudah. Banyak guru maupun dosen mengatakan demikian, "Kenapa ditulis? Kan lebih gampang dikopi saja file-nya. Gitu aja kok repot". Menurut saya, hal ini menjadi suatu budaya copy-paste.
Sebenarnya memang tidak masalah, tetapi coba dipikirkan, ketika seorang anak tidak memiliki keinginan untuk menulis menggunakan pena di atas kertas, menuangkan pemikirannya, yang ada hanyalah kurangnya kreativitas anak dalam mengemukakan pendapat. Pemikiran, yang hanya ada di pikiran saja tanpa adanya usaha untuk dikemukakan dengan benar, maka hanya akan berkutat pada hal itu saja. Digitalisasi memang mempermudah pekerjaan manusia, dan fungsi laten dari digitalisasi sendiri adalah manusia menjadi menganggap enteng suatu pekerjaan dan tugas. Manusia serasa malas untuk beribet-ribet ria. Karena pada dasarnya, orang diberikan tugas menulis tidak hanya berimbas pada nilai yang akan dia dapat, tetapi juga efek dari menulis itu sendiri. Lalu ketika menulis hanya menjadi pengukur kewajiban, pengerjaan tugas tidak berada pada suatu nilai yang dianggap penting bagi mahasiswa.
Mahasiswa seperti menyepelekan masalah yang ada. Mereka terlanjur terbiasa malas mengeluarkan banyak tenaga untuk belajar. Mengerjakan tugas dalam bentuk tulisan ini sendiri tidak hanya didasarkan pada usaha mahasiswa tersebut. Menurut saya, yang dosen lebih utamakan adalah sisi lain dari "malasnya menulis" atau biasa disebut sebagai sisi positif dari menulis. Tidak hanya dalam penelitian, tetapi dalam proses belajar mengajar, menulis terbukti dapat meningkatkan daya ingat tentang ilmu yang dia tulis, bahkan yang lebih sederhana dia akan dapat secara alami bertata bahasa dengan baik. Karena terbiasa menulis, sehingga dalam menyampaikan pendapat hingga menjelaskan secara detil dapat disampaikan secara terstruktur, menyambung, dan mudah dipahami.
Menulis bagi mahasiswa merupakan ladang permainan otak. Dimana menulis dapat mengenali potensi kita dalam menguasai suatu topik/kasus yang memaksa kita untuk mendalami ilmu tersebut dan menggali suatu hal yang kadang tersimpan di alam bawah sadar. Menulis meningkatkan penalaran kita pada suatu ilmu—tidak hanya paham dalam lisan, tetapi juga paham akan informasi yang disampaikan melalui tulisan, karena pada kenyataannya, banyak juga orang yang kurang paham dengan ambiguitas suatu kalimat. Maka dari itu, menulis harus dibiasakan.
Selanjutnya menulis juga menuntut kita menjadi orang yang aktif dalam belajar, dalam tulisan, tidak hanya menyerap ilmu yang ada, tetapi juga menjadi salah satu cara untuk memecahkan masalah. Ada lagi, menulis dapat meminimalisir adanya plagiarisme dalam dunia pendidikan, khususnya universitas. Karena banyak kerugian yang didapatkan dengan adanya plagiarisme ini. Sehingga dengan adanya budaya tugas dikerjakan dengan menulis membuat orang lebih memutar otaknya lebih lama untuk berkutat menyelesaikan tugas tersebut secara ilmiah. Dimana masalah-masalah tersebut ditulis, dipikirkan kemungkinan jalan keluar serta sisi positif dan negatifnya sehingga dengan demikian akan mempermudah kita memahami situasi dan kondisi yang ada.
Menurut Lasa (2005: 23-29), manfaat menulis yaitu memperoleh keberanian, menyehatkan kulit wajah, membantu memecahkan masalah, membantu untuk memperoleh dan mengingat informasi, mengatasi trauma, dan menjernihkan pikiran. Dan ketika menulis hanya dijadikan sebagai pengukur kewajiban mata kuliah, apakah sisi positif dari menulis ini akan bergeser fungsinya sebagai salah satu jalan dalam mengembangkan potensi terbaik dalam diri seseorang?
Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya Rumah Kaca, berkata,"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah". Sudah cukup jelas bukan betapa pentingnya menulis? Tidak perlulah panjang lebar berkelit mengenai betapa lelahnya menulis banyak hal tentang dunia, toh itu dapat dilakukan sedikit demi sedikit—dan lakukanlah—dan rasakan betapa nikmatnya mengerjakan tugas dengan menulis. Karena ilmu yang kita tulis tidak akan hilang begitu saja karena suatu hal—setidaknya kita memahami dasar dari pengetahuan tersebut. (mar/*)
Penulis
Rinda Anggraeni
Semarang, ndhathejanxxxx@gmail.com
Disclaimer
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Mulai 3 Desember sampai 13 desember 2013 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan "Terima Kasihku untuk 2013". Ada kado akhir tahun dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Ya, digitalisasi kini kian merebak. Perkembangan manusia tentang pembaharuan teknologi semakin canggih. Coba kita flashback sejenak. Sejak zaman dahulu kala, setiap perkataan-peristiwa memorial, selalu ditulis, entah menggunakan kayu lontar entah batu, semua yang dapat digunakan untuk menulis, digunakan. Karena terlalu banyak, tidak sedikit tulisan-tulisan itu tercecer entah kemana.
Zaman mulai berubah, dulu menulis di papan tulis menggunakan kapur, sekarang sudah banyak ditinggalkan, diganti dengan boardmarker. Boardmarker sendiri sudah mulai dikurangi, diganti menggunakan alat OHP untuk presentasi. Kini sudah berubah lagi dengan adanya power point yang satu paket dengan proyektor. Kini belajar mengajar menjadi sangat mudah. Banyak guru maupun dosen mengatakan demikian, "Kenapa ditulis? Kan lebih gampang dikopi saja file-nya. Gitu aja kok repot". Menurut saya, hal ini menjadi suatu budaya copy-paste.
Sebenarnya memang tidak masalah, tetapi coba dipikirkan, ketika seorang anak tidak memiliki keinginan untuk menulis menggunakan pena di atas kertas, menuangkan pemikirannya, yang ada hanyalah kurangnya kreativitas anak dalam mengemukakan pendapat. Pemikiran, yang hanya ada di pikiran saja tanpa adanya usaha untuk dikemukakan dengan benar, maka hanya akan berkutat pada hal itu saja. Digitalisasi memang mempermudah pekerjaan manusia, dan fungsi laten dari digitalisasi sendiri adalah manusia menjadi menganggap enteng suatu pekerjaan dan tugas. Manusia serasa malas untuk beribet-ribet ria. Karena pada dasarnya, orang diberikan tugas menulis tidak hanya berimbas pada nilai yang akan dia dapat, tetapi juga efek dari menulis itu sendiri. Lalu ketika menulis hanya menjadi pengukur kewajiban, pengerjaan tugas tidak berada pada suatu nilai yang dianggap penting bagi mahasiswa.
Mahasiswa seperti menyepelekan masalah yang ada. Mereka terlanjur terbiasa malas mengeluarkan banyak tenaga untuk belajar. Mengerjakan tugas dalam bentuk tulisan ini sendiri tidak hanya didasarkan pada usaha mahasiswa tersebut. Menurut saya, yang dosen lebih utamakan adalah sisi lain dari "malasnya menulis" atau biasa disebut sebagai sisi positif dari menulis. Tidak hanya dalam penelitian, tetapi dalam proses belajar mengajar, menulis terbukti dapat meningkatkan daya ingat tentang ilmu yang dia tulis, bahkan yang lebih sederhana dia akan dapat secara alami bertata bahasa dengan baik. Karena terbiasa menulis, sehingga dalam menyampaikan pendapat hingga menjelaskan secara detil dapat disampaikan secara terstruktur, menyambung, dan mudah dipahami.
Menulis bagi mahasiswa merupakan ladang permainan otak. Dimana menulis dapat mengenali potensi kita dalam menguasai suatu topik/kasus yang memaksa kita untuk mendalami ilmu tersebut dan menggali suatu hal yang kadang tersimpan di alam bawah sadar. Menulis meningkatkan penalaran kita pada suatu ilmu—tidak hanya paham dalam lisan, tetapi juga paham akan informasi yang disampaikan melalui tulisan, karena pada kenyataannya, banyak juga orang yang kurang paham dengan ambiguitas suatu kalimat. Maka dari itu, menulis harus dibiasakan.
Selanjutnya menulis juga menuntut kita menjadi orang yang aktif dalam belajar, dalam tulisan, tidak hanya menyerap ilmu yang ada, tetapi juga menjadi salah satu cara untuk memecahkan masalah. Ada lagi, menulis dapat meminimalisir adanya plagiarisme dalam dunia pendidikan, khususnya universitas. Karena banyak kerugian yang didapatkan dengan adanya plagiarisme ini. Sehingga dengan adanya budaya tugas dikerjakan dengan menulis membuat orang lebih memutar otaknya lebih lama untuk berkutat menyelesaikan tugas tersebut secara ilmiah. Dimana masalah-masalah tersebut ditulis, dipikirkan kemungkinan jalan keluar serta sisi positif dan negatifnya sehingga dengan demikian akan mempermudah kita memahami situasi dan kondisi yang ada.
Menurut Lasa (2005: 23-29), manfaat menulis yaitu memperoleh keberanian, menyehatkan kulit wajah, membantu memecahkan masalah, membantu untuk memperoleh dan mengingat informasi, mengatasi trauma, dan menjernihkan pikiran. Dan ketika menulis hanya dijadikan sebagai pengukur kewajiban mata kuliah, apakah sisi positif dari menulis ini akan bergeser fungsinya sebagai salah satu jalan dalam mengembangkan potensi terbaik dalam diri seseorang?
Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya Rumah Kaca, berkata,"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah". Sudah cukup jelas bukan betapa pentingnya menulis? Tidak perlulah panjang lebar berkelit mengenai betapa lelahnya menulis banyak hal tentang dunia, toh itu dapat dilakukan sedikit demi sedikit—dan lakukanlah—dan rasakan betapa nikmatnya mengerjakan tugas dengan menulis. Karena ilmu yang kita tulis tidak akan hilang begitu saja karena suatu hal—setidaknya kita memahami dasar dari pengetahuan tersebut. (mar/*)
Penulis
Rinda Anggraeni
Semarang, ndhathejanxxxx@gmail.com
Disclaimer
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Mulai 3 Desember sampai 13 desember 2013 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan "Terima Kasihku untuk 2013". Ada kado akhir tahun dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.