Citizen6, Jember: Saya adalah seorang siswi kelas XII IPS 2 di sekolah menengah atas yang berada daerah Jember Selatan-Jawa Timur. SMA Negeri Ambulu adalah nama sekolah saya dan menjadi salah satu sekolah favorit di Kabupaten Ambulu dan sekitarnya.
Dulu, sempat orangtua tidak mau menyekolahkan saya di SMA, alasannya sekolah SMA itu perlu melanjutkan kuliah dan beliau tidak mampu membiayai jika saya kuliah. Lagi pula, biaya sekolah di SMA Negeri itu tidaklah murah. Maka dari itu, setelah saya lulus dari SMPN 1 Ambulu, saya disarankan untuk sekolah di SMK swasta. Dengan tujuan agar saya bisa langsung bekerja. Tapi saya 'ngeyel' dan tetap ingin melanjutkan sekolah di SMA Negeri Ambulu. Akhirnya saya bisa bertahan sampai masa-masa yang mendebarkan itu terjadi. Ya, Ujian Nasional (UN) untuk menerusakan ke jenjang yang lebih tinggi.
Saya adalah tipe orang yang 'deadliner'. Saat saya masih kelas X, saya bermalas-malasan hingga nilai pelajaran bisa dibilang 'memalukan'. Karena hal itulah, pada saat menjelang kelas XII, saya berusaha keras agar nilai tersebut menjadi lebih baik dari sebelumnya. Apalagi, saya mempunyai cita-cita ingin melanjutkan pendidikan di salah satu universitas terbaik negeri ini, Universitas Indonesia.
Awalnya saya tidak percaya diri jika teman-teman bertanya, "Mau melanjutkan kemana?", tapi kemudian saya disadari dengan kalimat ini,"Kalau kamu saja tidak percaya dengan kemampuan dan mimpi kamu, bagaimana Allah akan percaya dan mengabulkan mimpi kamu?". Mengingat kata-kata ini, saya pun berani dan tegas menjawab pertanyaan dari teman-teman dengan kalimat, "Kuliah di Sastra Inggris, Universitas Indonesia (UI)".
Ibu saya bahkan kurang yakin, kalau saya akan diterima di UI. Namun akhirnya, saya bisa membuatnya percaya dengan usaha-usaha keras yang saya lakukan. Tak hanya membuatnya percaya, saya juga meminta dukungan dan doanya. Selain mengikuti kegiatan belajar tambahan untuk bekal UN, saya juga belajar kelompok dengan teman-teman. Bahkan kami pun saling membangunkan setiap dini hari untuk salat tahajud.
Februari 2013, saat mengisi formulir pendaftaran SNMPTN bersama teman-teman di sekolah, saya sempat ragu dan tidak jadi mengisi pada hari itu. Setelah pulang ke rumah, saya meminta doa kepada kedua orangtua dan almarhum nenek yang saat itu masih hidup. Menelpon saudara-saudara juga saya lakukan untuk meminta doa mereka. Hari berikutnya, saya pun mantap mengisi formulir pendaftaran Jurusan Sastra Inggris Universiitas Indonesia.
Maret 2013, tiba saatnya UN. Sedikit merasa jengkel dengan soal 20 paket tersebut. Kenapa harus angkatan kami yang menjadi kelinci percobaan untuk soal macam ini? "Meskipun tidak ada soal 20 paket, aku tak akan mencontek". Begitu dipikiran saya saat itu. Namun akhirnya saya mengerjakan soal tersebut dengan selesai. Begitu pula dengan hari-hari berikutnya.
Pada saat pengumuman kelulusan, Mei 2013, saya terkejut dengan nilai yang saya dapatkan. Saya masuk dalam 10 besar nilai UN tertinggi untuk IPS. Namun saya masih cemas dengan SNMPTN. Sempat saya berpikir, tak akan lolos, karena untuk jalur itu, yang dinilai adalah nilai rapot. Saat itu nilai rapot saya memang baik saat kelas XII, tapi kelas X dan XI? Saya tidak yakin.
Tiba saatnya pengumuman SNMPTN, saya mulai cemas. Pada saat jam menunjukkan pukul 16.00 WIB, dengan meminta doa restu, segera berangkatlah saya ke warnet untuk melihat hasil pengumuman. Ada tulisan merah yang tertera di sana. Saya sempat menangis, karena tulisan merah biasanya berarti gagal. Setelah saya baca dengan seksama, tulisan itu berisi bahwa saya diterima di Sastra Inggris Universitas Indonesia.
Setelah sampai dekat rumah, dari jalan saya melihat ibu sedang duduk di dekat pintu. Saya tahu, dirinya juga sedang harap-harap cemas menunggu kabar. Setelah sampai di depan rumah, sambil memeluknya, saya mengatakan kalau saya lolos. Ibu menangis haru sambil memeluk saya. Saya pun menelepon saudara-saudara dan memberikan kabar gembira itu.
Desember 2013, saya seorang mahasiswa Sastra Inggris Universitas Indonesia. Saya kuliah dengan beasiswa Bidik Misi, sehingga orangtua tidak perlu memikirkan soal biaya kuliah. Melihat nilai-nilai saya saat di SMA, sepertinya saya tidak mungkin bisa di terima di kampus perjuangan ini. Tapi ternyata, tak ada yang tak mungkin jika kita mau dan berusaha. Tak ada kata terlambat untuk sebuah impian.
Tahun 2013, menjadi tahun yang tak terlupakan untuk saya. Dimana mimpi besar saya menjadi kenyataan. Ke depannya, saya pun siap menyambut tahun-tahun berikutnya dengan mimpi-mimpi besar lainnya. (mar)
Penulis
Nanda Ayu Widyawati
Desa Wonosari-Jember, nandaxxx@gmail.com
Disclaimer
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Mulai 3 Desember sampai 13 desember 2013 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan "Terima Kasihku untuk 2013". Ada kado akhir tahun dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Dulu, sempat orangtua tidak mau menyekolahkan saya di SMA, alasannya sekolah SMA itu perlu melanjutkan kuliah dan beliau tidak mampu membiayai jika saya kuliah. Lagi pula, biaya sekolah di SMA Negeri itu tidaklah murah. Maka dari itu, setelah saya lulus dari SMPN 1 Ambulu, saya disarankan untuk sekolah di SMK swasta. Dengan tujuan agar saya bisa langsung bekerja. Tapi saya 'ngeyel' dan tetap ingin melanjutkan sekolah di SMA Negeri Ambulu. Akhirnya saya bisa bertahan sampai masa-masa yang mendebarkan itu terjadi. Ya, Ujian Nasional (UN) untuk menerusakan ke jenjang yang lebih tinggi.
Saya adalah tipe orang yang 'deadliner'. Saat saya masih kelas X, saya bermalas-malasan hingga nilai pelajaran bisa dibilang 'memalukan'. Karena hal itulah, pada saat menjelang kelas XII, saya berusaha keras agar nilai tersebut menjadi lebih baik dari sebelumnya. Apalagi, saya mempunyai cita-cita ingin melanjutkan pendidikan di salah satu universitas terbaik negeri ini, Universitas Indonesia.
Awalnya saya tidak percaya diri jika teman-teman bertanya, "Mau melanjutkan kemana?", tapi kemudian saya disadari dengan kalimat ini,"Kalau kamu saja tidak percaya dengan kemampuan dan mimpi kamu, bagaimana Allah akan percaya dan mengabulkan mimpi kamu?". Mengingat kata-kata ini, saya pun berani dan tegas menjawab pertanyaan dari teman-teman dengan kalimat, "Kuliah di Sastra Inggris, Universitas Indonesia (UI)".
Ibu saya bahkan kurang yakin, kalau saya akan diterima di UI. Namun akhirnya, saya bisa membuatnya percaya dengan usaha-usaha keras yang saya lakukan. Tak hanya membuatnya percaya, saya juga meminta dukungan dan doanya. Selain mengikuti kegiatan belajar tambahan untuk bekal UN, saya juga belajar kelompok dengan teman-teman. Bahkan kami pun saling membangunkan setiap dini hari untuk salat tahajud.
Februari 2013, saat mengisi formulir pendaftaran SNMPTN bersama teman-teman di sekolah, saya sempat ragu dan tidak jadi mengisi pada hari itu. Setelah pulang ke rumah, saya meminta doa kepada kedua orangtua dan almarhum nenek yang saat itu masih hidup. Menelpon saudara-saudara juga saya lakukan untuk meminta doa mereka. Hari berikutnya, saya pun mantap mengisi formulir pendaftaran Jurusan Sastra Inggris Universiitas Indonesia.
Maret 2013, tiba saatnya UN. Sedikit merasa jengkel dengan soal 20 paket tersebut. Kenapa harus angkatan kami yang menjadi kelinci percobaan untuk soal macam ini? "Meskipun tidak ada soal 20 paket, aku tak akan mencontek". Begitu dipikiran saya saat itu. Namun akhirnya saya mengerjakan soal tersebut dengan selesai. Begitu pula dengan hari-hari berikutnya.
Pada saat pengumuman kelulusan, Mei 2013, saya terkejut dengan nilai yang saya dapatkan. Saya masuk dalam 10 besar nilai UN tertinggi untuk IPS. Namun saya masih cemas dengan SNMPTN. Sempat saya berpikir, tak akan lolos, karena untuk jalur itu, yang dinilai adalah nilai rapot. Saat itu nilai rapot saya memang baik saat kelas XII, tapi kelas X dan XI? Saya tidak yakin.
Tiba saatnya pengumuman SNMPTN, saya mulai cemas. Pada saat jam menunjukkan pukul 16.00 WIB, dengan meminta doa restu, segera berangkatlah saya ke warnet untuk melihat hasil pengumuman. Ada tulisan merah yang tertera di sana. Saya sempat menangis, karena tulisan merah biasanya berarti gagal. Setelah saya baca dengan seksama, tulisan itu berisi bahwa saya diterima di Sastra Inggris Universitas Indonesia.
Setelah sampai dekat rumah, dari jalan saya melihat ibu sedang duduk di dekat pintu. Saya tahu, dirinya juga sedang harap-harap cemas menunggu kabar. Setelah sampai di depan rumah, sambil memeluknya, saya mengatakan kalau saya lolos. Ibu menangis haru sambil memeluk saya. Saya pun menelepon saudara-saudara dan memberikan kabar gembira itu.
Desember 2013, saya seorang mahasiswa Sastra Inggris Universitas Indonesia. Saya kuliah dengan beasiswa Bidik Misi, sehingga orangtua tidak perlu memikirkan soal biaya kuliah. Melihat nilai-nilai saya saat di SMA, sepertinya saya tidak mungkin bisa di terima di kampus perjuangan ini. Tapi ternyata, tak ada yang tak mungkin jika kita mau dan berusaha. Tak ada kata terlambat untuk sebuah impian.
Tahun 2013, menjadi tahun yang tak terlupakan untuk saya. Dimana mimpi besar saya menjadi kenyataan. Ke depannya, saya pun siap menyambut tahun-tahun berikutnya dengan mimpi-mimpi besar lainnya. (mar)
Penulis
Nanda Ayu Widyawati
Desa Wonosari-Jember, nandaxxx@gmail.com
Disclaimer
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Mulai 3 Desember sampai 13 desember 2013 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan "Terima Kasihku untuk 2013". Ada kado akhir tahun dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.