Citizen6, Jakarta: Pernikahan yang didaftarkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) mendapat perlindungan secara hukum dan yang paling penting, dapat diselenggarakan dengan biaya yang murah. Menurut UU No. 22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954, "pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut aturan Islam di wilayahnya adalah Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang diangkat oleh Menteri Agama pada setiapKecamatan adalah KUA".
Sebanyak 661 KUA se-Jawa Timur melakukan deklarasi berisi ancaman untuk tidak menikahkan pasangan mempelai di luar balai nikah. Hal itu menyusul terseretnya, Kepala KUA Kota Kediri karena kasus dugaan gratifikasi dan diperiksa oleh Kejaksaan Negeri setempat. Efek dari hal tersebut, kantor wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur mengeluarkan peraturan, bahwa petugas KUA di seluruh Jawa Timur hanya boleh melayani pernikahan di hari kerja dan dilakukan di kantor KUA setempat. Dibuatnya peraturan setempat tersebut akibat mencuatnya kasus gratifikasi yang dilakukan seorang oknum KUAdi wilyah kerja Jawa Timur.
Samsu Tohari Ketua Forum KUA se-Jawa Timur mendukung penegakan hukum dalam memberantas korupsi termasuk gratifikasi yang dilakukan KUA. Kepala KUA Kediri Kota didakwa melakukan Gratifikasi biaya nikah sejumlah Rp 225 ribu, sementara biaya resmi pernikahan Rp 30 ribu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2004, dari tindakan tersebut maka yang bersangkutan melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pasal 11, 12e dan 12g.
Langkah yang diambil oleh para KUA se Jawa Timur itu sangat wajar bila saat para penghulu tersebut memilih untuk tidak menikahkan pasangan mempelai di luar balai nikah dan di luar hari kerja. Kondisi seperti ini memungkinkan bisa terjadi di seluruh Indonesia. Karena para Penghulu, lebih memilih aman daripada harus berurusan dengan aparat hukum karena dugaan gratifikasi tersebut. Agar kejadian tersebut tidak terulang lagi, maka perlu regulasi yang jelas untuk mengatur persoalan tersebut, sehingga ancaman mogok para penghulu untuk tidak menikahkan pasangan di luar hari kerja/jam kerja dan di luar balai nikah tidak terjadi lagi dan jangan sampai merugikan masyarakat. Regulasi itu penting, hal ini bisa merembet ke propinsi lain.
Selain itu, sikap para penghulu yang mengancam untuk tidak mau melayani pernikahan di luar balai nikah dan diluar hari kerja, dinilai bisa menyalahi aturan pelayanan publik. Masalahnya melaksanakan pernikahan luar balai nikah diperbolehkan. Jadi kalau sampai mogok tidak melayani pernikahan di luar balai nikah tersebut, sama halnya melanggar aturan pelayanan publik. Peraturan memperbolehkan melayani pernikahan di luar balai nikah dan di luar jam kerja asal atas persetujuan kedua mempelai dan juga harus mendapatkan persetujuan petugas pencatat akad nikah, hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 pasal 21.
Kalau kita berpedoman dari peraturan menteri agama tersebut sebenarnya tidak ada persoalan menikah di luar balai KUA dan diluar hari kerja/jam kerja tidak masalah, yang menjadikan masalah disini adalah ketika menikah di luar balai nikah dan diluar hari kerja tersebut dijadikan sebagai ajang untuk melakukan pungli terhadap orang yang telah dinikahkan tersebut. Dalam regulasi Kemenag tersebut juga harus mencantumkan besaran biaya pernikahan, dengan begitu akan ada kepastian hukum. Karena seorang penghulu yang menikahkan pasangan mempelai di luar balai nikah atau diluar jam kerja, tentu sudah selayaknya harus mendapat uang lembur atau uang transportasi. Oleh sebab itu Kemenag harus secepatnya menyusun standar pelayanan nikah di luar KUA, agar masyarakat mendapat adanya kepastian layanan dari petugas KUA, disisi lain petugas pencatat nikah tidak khawatir dilaporkan apa yang dilakukan tersebut apakah tergolong gratifikasi atau tidak.
Kalau kita berpedoman dari peraturan menteri agama tersebut sebenarnya tidak ada persoalan menikah di luar balai KUA dan diluar hari kerja/jam kerja tidak masalah, yang menjadikan masalah adalah ketika menikah di luar balai nikah dan diluar hari kerja tersebut dijadikan sebagai ajang untuk melakukan pungli terhadap orang yang telah dinikahkan tersebut.
Irjend Kementerian Agama RI M Yasin yang juga mantan wakil ketua KPKÂ menyatakan tentang indikasi adanya praktek pungutan liar (pungli) atau gratifikasi biaya nikah yang dilakukan penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA). Biaya resmi pencatatan nikah hanya Rp 30 ribu, akan tetapi pada prakteknya dipungut hingga Rp 300 ribu bahkan sampai mencapai lima ratus ribu rupiah bahkan mungkin ada yang lebih. Jika dikomulatifkan, ada triliunan dana yang dipungli penghulu di Kantor Urusan Agama jika diasumsikan ada dua juta peristiwa nikah yang dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Dalam era reformasi ini ada Undang-Undang No. 20 tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan adanya Undang-Undang tersebut maka biaya transportasi yang diberikan kepada KUA yang melakukan pernikahan diluar balai nikah dihapuskan, hanya boleh menerima biaya nikah sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu Rp 30 ribu. Pada praktiknya instruksi tersebut sulit dilaksanakan di lapangan. Inilah modus "gratifikasi" yang massif dilakukan oleh semua pegawai KUA di seluruh Indonesia.
Fenomena ini terjadi disebabkan adanya missing link antar peraturan. Di satu sisi penghulu tidak diperkenankan menerima transport bila melakukan pencatatan nikah di luar KUA, tetapi pada saat yang sama praktek pencatatan pernikahan di luar KUA masih diberikan toleransi. Perlu diketahui hampir 90 persen lebih akad nikah selalu dilakukan di luar KUA dan diluar hari kerja.Solusi Landasan hukum bolehnya pencatatan nikah di luar KUA adalah pasal 21 Peraturan Menteri Agama no. 11/2007. Ayat satu mengatakan, akad nikah dilakukan di Kantor Urusan Agama, ayat dua, atas permintaan kedua mempelai dan persetujuan petugas akad nikah boleh dilakukan di luar KUA. Inilah pasal karet yang menjebak semua pegawai KUA untuk menerima uang transport. Tradisi masyarakat kita memang menghendaki akad nikah dilakukan di rumah mereka dan penghulu diminta datang ke acara perhelatannya.
Langkah yang dilakukan oleh Kementerian Agama merupakan langkah yang paling tepat, namun regulasi masalah tarif pernikahan yang dilakukan diluar balai nikah atau diluar hari kerja harus secepatnya dibuat agar jangan ada lagi KUA yang diberikan sanksi karena dianggap menerima gratifikasi. Ke depan apa yang telah dilalkukan oleh Kementerian Agama juga diikuti oleh kementerian-kementerian lain agar tidak ada lagi pungli atau gratifikasi di setiap lembaga pemerintah.
Langkah yang dilakukan Kementerian Agama yang di komandoi oleh M Yasin sudah lumrah,dimana sebelumnya kiprah beliau di KPK sudah membuahkan hasil walaupun belum sesuai dengan apa yang kita harapkan bersama, namun dengan posisi sekarang ini sebagai Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, diharapkan agar diposisi ini bisa mengasilkan kerja yang maksimal dibanding di KPK dulu.
Kementerian Agama harus secepatnya mengeluarkan regulasi, agar kedepan jangan ada lagi petugas-petugasKUA yang selesai melaksanakan pernikahan, dihadang aparathukum dan di gelandang layaknya seperti koruptor kakap dengan persangkaan menerima imbalan gratifikasi,padahal gratifikasi tersebut nilainya tidak terlalu besar, dibandingkan dengan gratifikasi yang dihadapi KPK. Artinya kerja baik yang dilakukan KUA dalam rangka menjalankan syariat agama jangan lagi menjadi hambatan dalam menjalankan tugasnya. (mar)
Penulis
Datuak Alat Tjumano (Penulisa adalah peneliti senior Forum Dialog)
Jakarta, datuak.atjumxxx@gmail.com
Disclaimer
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Sebanyak 661 KUA se-Jawa Timur melakukan deklarasi berisi ancaman untuk tidak menikahkan pasangan mempelai di luar balai nikah. Hal itu menyusul terseretnya, Kepala KUA Kota Kediri karena kasus dugaan gratifikasi dan diperiksa oleh Kejaksaan Negeri setempat. Efek dari hal tersebut, kantor wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur mengeluarkan peraturan, bahwa petugas KUA di seluruh Jawa Timur hanya boleh melayani pernikahan di hari kerja dan dilakukan di kantor KUA setempat. Dibuatnya peraturan setempat tersebut akibat mencuatnya kasus gratifikasi yang dilakukan seorang oknum KUAdi wilyah kerja Jawa Timur.
Samsu Tohari Ketua Forum KUA se-Jawa Timur mendukung penegakan hukum dalam memberantas korupsi termasuk gratifikasi yang dilakukan KUA. Kepala KUA Kediri Kota didakwa melakukan Gratifikasi biaya nikah sejumlah Rp 225 ribu, sementara biaya resmi pernikahan Rp 30 ribu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2004, dari tindakan tersebut maka yang bersangkutan melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pasal 11, 12e dan 12g.
Langkah yang diambil oleh para KUA se Jawa Timur itu sangat wajar bila saat para penghulu tersebut memilih untuk tidak menikahkan pasangan mempelai di luar balai nikah dan di luar hari kerja. Kondisi seperti ini memungkinkan bisa terjadi di seluruh Indonesia. Karena para Penghulu, lebih memilih aman daripada harus berurusan dengan aparat hukum karena dugaan gratifikasi tersebut. Agar kejadian tersebut tidak terulang lagi, maka perlu regulasi yang jelas untuk mengatur persoalan tersebut, sehingga ancaman mogok para penghulu untuk tidak menikahkan pasangan di luar hari kerja/jam kerja dan di luar balai nikah tidak terjadi lagi dan jangan sampai merugikan masyarakat. Regulasi itu penting, hal ini bisa merembet ke propinsi lain.
Selain itu, sikap para penghulu yang mengancam untuk tidak mau melayani pernikahan di luar balai nikah dan diluar hari kerja, dinilai bisa menyalahi aturan pelayanan publik. Masalahnya melaksanakan pernikahan luar balai nikah diperbolehkan. Jadi kalau sampai mogok tidak melayani pernikahan di luar balai nikah tersebut, sama halnya melanggar aturan pelayanan publik. Peraturan memperbolehkan melayani pernikahan di luar balai nikah dan di luar jam kerja asal atas persetujuan kedua mempelai dan juga harus mendapatkan persetujuan petugas pencatat akad nikah, hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 pasal 21.
Kalau kita berpedoman dari peraturan menteri agama tersebut sebenarnya tidak ada persoalan menikah di luar balai KUA dan diluar hari kerja/jam kerja tidak masalah, yang menjadikan masalah disini adalah ketika menikah di luar balai nikah dan diluar hari kerja tersebut dijadikan sebagai ajang untuk melakukan pungli terhadap orang yang telah dinikahkan tersebut. Dalam regulasi Kemenag tersebut juga harus mencantumkan besaran biaya pernikahan, dengan begitu akan ada kepastian hukum. Karena seorang penghulu yang menikahkan pasangan mempelai di luar balai nikah atau diluar jam kerja, tentu sudah selayaknya harus mendapat uang lembur atau uang transportasi. Oleh sebab itu Kemenag harus secepatnya menyusun standar pelayanan nikah di luar KUA, agar masyarakat mendapat adanya kepastian layanan dari petugas KUA, disisi lain petugas pencatat nikah tidak khawatir dilaporkan apa yang dilakukan tersebut apakah tergolong gratifikasi atau tidak.
Kalau kita berpedoman dari peraturan menteri agama tersebut sebenarnya tidak ada persoalan menikah di luar balai KUA dan diluar hari kerja/jam kerja tidak masalah, yang menjadikan masalah adalah ketika menikah di luar balai nikah dan diluar hari kerja tersebut dijadikan sebagai ajang untuk melakukan pungli terhadap orang yang telah dinikahkan tersebut.
Irjend Kementerian Agama RI M Yasin yang juga mantan wakil ketua KPKÂ menyatakan tentang indikasi adanya praktek pungutan liar (pungli) atau gratifikasi biaya nikah yang dilakukan penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA). Biaya resmi pencatatan nikah hanya Rp 30 ribu, akan tetapi pada prakteknya dipungut hingga Rp 300 ribu bahkan sampai mencapai lima ratus ribu rupiah bahkan mungkin ada yang lebih. Jika dikomulatifkan, ada triliunan dana yang dipungli penghulu di Kantor Urusan Agama jika diasumsikan ada dua juta peristiwa nikah yang dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Dalam era reformasi ini ada Undang-Undang No. 20 tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan adanya Undang-Undang tersebut maka biaya transportasi yang diberikan kepada KUA yang melakukan pernikahan diluar balai nikah dihapuskan, hanya boleh menerima biaya nikah sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu Rp 30 ribu. Pada praktiknya instruksi tersebut sulit dilaksanakan di lapangan. Inilah modus "gratifikasi" yang massif dilakukan oleh semua pegawai KUA di seluruh Indonesia.
Fenomena ini terjadi disebabkan adanya missing link antar peraturan. Di satu sisi penghulu tidak diperkenankan menerima transport bila melakukan pencatatan nikah di luar KUA, tetapi pada saat yang sama praktek pencatatan pernikahan di luar KUA masih diberikan toleransi. Perlu diketahui hampir 90 persen lebih akad nikah selalu dilakukan di luar KUA dan diluar hari kerja.Solusi Landasan hukum bolehnya pencatatan nikah di luar KUA adalah pasal 21 Peraturan Menteri Agama no. 11/2007. Ayat satu mengatakan, akad nikah dilakukan di Kantor Urusan Agama, ayat dua, atas permintaan kedua mempelai dan persetujuan petugas akad nikah boleh dilakukan di luar KUA. Inilah pasal karet yang menjebak semua pegawai KUA untuk menerima uang transport. Tradisi masyarakat kita memang menghendaki akad nikah dilakukan di rumah mereka dan penghulu diminta datang ke acara perhelatannya.
Langkah yang dilakukan oleh Kementerian Agama merupakan langkah yang paling tepat, namun regulasi masalah tarif pernikahan yang dilakukan diluar balai nikah atau diluar hari kerja harus secepatnya dibuat agar jangan ada lagi KUA yang diberikan sanksi karena dianggap menerima gratifikasi. Ke depan apa yang telah dilalkukan oleh Kementerian Agama juga diikuti oleh kementerian-kementerian lain agar tidak ada lagi pungli atau gratifikasi di setiap lembaga pemerintah.
Langkah yang dilakukan Kementerian Agama yang di komandoi oleh M Yasin sudah lumrah,dimana sebelumnya kiprah beliau di KPK sudah membuahkan hasil walaupun belum sesuai dengan apa yang kita harapkan bersama, namun dengan posisi sekarang ini sebagai Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, diharapkan agar diposisi ini bisa mengasilkan kerja yang maksimal dibanding di KPK dulu.
Kementerian Agama harus secepatnya mengeluarkan regulasi, agar kedepan jangan ada lagi petugas-petugasKUA yang selesai melaksanakan pernikahan, dihadang aparathukum dan di gelandang layaknya seperti koruptor kakap dengan persangkaan menerima imbalan gratifikasi,padahal gratifikasi tersebut nilainya tidak terlalu besar, dibandingkan dengan gratifikasi yang dihadapi KPK. Artinya kerja baik yang dilakukan KUA dalam rangka menjalankan syariat agama jangan lagi menjadi hambatan dalam menjalankan tugasnya. (mar)
Penulis
Datuak Alat Tjumano (Penulisa adalah peneliti senior Forum Dialog)
Jakarta, datuak.atjumxxx@gmail.com
Disclaimer
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.