Liputan6.com, Jakarta - Kazakhstan mengambil langkah untuk menaikkan pajak untuk entitas yang menambang cryptocurrency di negara tersebut. Menurut pernyataan Menteri Ekonomi Nasional Alibek Kuantyrov, rencananya adalah menghitung pajak berdasarkan nilai pasar dari cryptocurrency yang ditambang.
Pejabat pemerintah mencatat penerapan skema semacam itu akan meningkatkan penerimaan anggaran. Penambang yang beroperasi di Kazakhstan saat ini membayar biaya tambahan untuk listrik yang dikonsumsi.
Baca Juga
Perusahaan pertambangan diwajibkan untuk membayar lebih dari konsumen lain. Tarif dinaikkan dengan biaya 1 tenge Kazakhstan sekitar USD 0,0022 (Rp 31,60) per kilowatt-jam daya listrik yang digunakan oleh industri padat energi.
Advertisement
“Kami sedang mempertimbangkan peningkatan beban pajak bagi para penambang. Saat ini, kami juga mempertimbangkan untuk menghubungkan tarif pajak untuk penambang dengan nilai mata uang kripto. Jika kripto tumbuh, itu akan baik untuk anggaran,” ujar Kuantyrov dalam keterangan tertulis, dikutip dari Bitcoin.com, Jumat (29/4/2022).
Selama pertemuan pemerintah pada Februari, Presiden Kassym-Jomart Tokayev menugaskan para pejabat untuk “menggandakan” retribusi pajak pada penambangan kripto.
Kepala negara juga memerintahkan pengawas keuangan negara untuk mengidentifikasi semua fasilitas pertambangan di negara itu dan memeriksa dokumen pajak dan bea cukai mereka.
Dengan tarif listrik yang dibatasi, Kazakhstan menjadi magnet bagi penambang Bitcoin tahun lalu setelah China melarang industri tersebut pada Mei. Masuknya penambang telah disalahkan atas defisit listrik yang tumbuh di negara itu, dan pemerintah Kazakh mulai menekan sektor ini.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pindah ke Tujuan Pertambangan Lain
Bahkan para penambang resmi terkena pemadaman listrik selama bulan-bulan musim dingin lalu. Kekurangan listrik telah memaksa beberapa perusahaan untuk meninggalkan negara itu dan pindah ke tujuan pertambangan lain seperti Amerika Serikat bulan lalu, lebih dari 100 peternakan pencetakan koin ditutup di seluruh Kazakhstan.
Sebuah laporan baru-baru ini mengungkapkan pihak berwenang mengejar penambangan kripto yang mengeksploitasi celah pajak. Lima entitas pertambangan dituduh mengambil keuntungan dari manfaat pajak yang ditawarkan kepada bisnis IT dan perusahaan lain yang terlibat dalam pengembangan inovasi.
Advertisement
Ekonom Sebut Pajak Kripto Berdampat Positif dan Negatif
Sebelumnya, Pemerintah resmi mengenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap perdagangan aset kripto. Hal itu dianggap momen pengakuan aset digital secara legal untuk diperdagangkan.
Namun, langkah tersebut masih mendapat pro dan kontra terkait imbas pengenaan pajak terhadap geliat perdagangan aset kripto ke depan.
Berdasarkan PMK No. 68/2022 tentang PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto, pemerintah menetapkan tarif PPN dan PPh terhadap transaksi kripto.
Besaran PPN aset kripto sebesar 1 persen dari tarif PPN jika transaksi melalui penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Serta besaran 2 persen tarif PPN jika transaksi dilakukan bukan PMSE.
Selain itu, perdagangan kripto juga dikenakan PPh Pasal 22 yang dipungut kepada penjual, penyelenggara PMSE, serta penambang aset kripto. Besaran tarif PPh itu sebesar 0,1 persen.
Dampak Positif
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, pemerintah memajaki perdagangan kripto bisa dilihat dari sisi positif, yakni pengakuan legalitas perdagangan kripto.
Pernyataan itu mengacu kepada ketidakselarasan pandangan pemangku kebijakan terhadap perdagangan kripto yang belakangan mencuat, terutama sikap dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Meskipun telah dinaungi Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), perdagangan aset kripto sempat dikritik OJK. Karena itu, munculnya kebijakan pajak tentang aset kripto, tidak lain merupakan pengukuhan pengakuan legalitas perdagangan aset kripto.
“Sebab dengan dijadikannya aset kripto sebagai objek pajak, berarti negara mengakui legalitas dari aset kripto ini. Apalagi aturan terkait investasi lewat aset kripto pun sudah ada dari Bappebti, sehingga menjadi pertanyaan kenapa OJK beberapa waktu lalu mengeluarkan peringatan kepada bank-bank di Indonesia,” kata Nailul dalam keterangan tertulis, Jumat, 8 April 2022.
Dampak Negatif
Di lain sisi menurut Nailul, pengenaan pajak kripto juga berpotensi memunculkan efek negatif terhadap geliat perdagangan yang baru mulai tumbuh.
“Jadi saya lihat perpajakan ini akan cukup mengganggu iklim inovasi aset kripto di Indonesia. Karena sebelumnya aset ini tidak dikenai pajak. Tapi memang mau tidak mau harus dikenakan pajak,” ujar dia.
Sebaliknya, dia menilai penerapan pajak juga diberlakukan untuk instrumen investasi ataupun perdagangan komoditas lainnya.
“Nanti para pengembang memang akan berpikir seribu kali untuk membangun aset kripto yang berasal dari Indonesia. Meskipun ketentuan perpajakan ini harus ada untuk menciptakan level of playing field yang sama dengan instrumen investasi lain,” jelas Nailul.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melontarkan pendapat serupa. Meskipun belum terbentuk bursa kripto, jelasnya, dengan adanya aturan perpajakan yang secara khusus mengatur aset kripto, maka telah menempatkan aset digital ini sebagai potensi pemasukan negara bukan lagi dianggap ancaman.
“Apalagi jumlah investor kripto lebih tinggi daripada pasar modal. Indonesia negara nomor 4 dengan jumlah investor aset kripto terbanyak di dunia,” tutur Bhima.
Adapun Bhima mengungkapkan apakah kelak pungutan pajak terhadap aset kripto bisa berjalan secara transparan.
Advertisement