Sukses

Investor Diimbau Gunakan Pertukaran Kripto Terdaftar, Ini Alasannya

Bappebti menilai investor kripto lebih baik memilih para pedagang aset kripto yang terdaftar.

Liputan6.com, Jakarta - Seiring penerapan kebijakan pajak terhadap perdagangan aset kripto, pemerintah membolehkan transaksi dilaksanakan oleh pedagang aset atau exchanger tak berizin. Hanya saja, pemerintah menerapkan tarif pajak yang lebih tinggi.

Aturan itu diatur dalam PMK No. 68/2022 tentang PPN dan PPh aset Kripto. Melalui aturan tersebut, pemerintah menyasar pengenaan pajak terhadap aset kripto sebagai barang kena pajak tak berwujud.

Terdapat tiga bentuk penyerahan aset kripto yang menjadi sasaran pajak, yakni pembelian aset kripto dengan mata uang fiat, tuka menukar aset kripto dengan aset kripto lainnya atau swap, dan tukar menukar aset kripto dengan barang selain aset kripto atau jasa.

Selain itu, peraturan itupun memberikan keleluasaan transaksi yang bisa dilakukan melalui penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) yang tidak terdaftar maupun Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) terdaftar Bappebti.

Tarif PPN bagi PFAK terdaftar sebesar 0,11 persen dikali nilai aset kripto, serta PPh 22 final sebesar 0,1 persen. Sebaliknya, untuk exchanger yang tak terdaftar besaran tarif menjadi dua kali lipat.

Di sisi lain, Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Kementerian Perdagangan Tirta Karma Senjaya menilai investor kripto lebih baik memilih para pedagang aset kripto yang terdaftar. Tidak saja terkait besaran pajak yang berbeda, melainkan pula alasan keamanan.

“Lebih aman berinvestasi transaksi di pedagang dalam negeri yang terdaftar di Bappebti karena jelas badan hukumnya dan rekeningnya ada di dalam negeri dan menggunakan  fiat rupiah,” ujar Tirta seperti dikutip dari keterangan tertulis, Minggu (22/5/2022).

Kepala Sub Direktorat PPM Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Kemenkeu Bonarsius Sipayung juga menyarankan hal serupa. Meskipun DJP (Direktorat Jenderal Pajak) netral, dia menuturkan, masyarakat sebaiknya memilih exchanger terdaftar.

“Kalau tidak mau diatur, kena tarif lebih tinggi. Kami harus selaras dengan Kemendag, yang ada di sistem kementerian itu kita dukung dengan tarif yang lebih rendah,” tutur dia sewaktu media briefing secara daring beberapa waktu lalu.

 

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Hindari Scam

Pegiat kripto yang berpredikat sebagai aktor, Dennis Adhiswara,  mengungkapkan pengalamannya terkait investasi yang telah lama dilakukannya. Aktor sekaligus model itu merupakan pegiat kripto aktif dengan koleksi koin cukup lengkap.

Terkait persoalan transaksi kripto, dia menyarankan agar investor sebisa mungkin menggunakan exchanger terdaftar.

"Masalahnya adalah di luar sana masih banyak project kripto yang secara fundamental meragukan, dan bahkan ada sebagian juga yang terindikasi scam,” ungkapnya.

Dengan menggunakan PFAK terdaftar, investor menjadi lebih terlindungi. “Karena ketika kita belanja kripto sendiri tanpa ada exchanger yang regulated, maka saya harus menghabiskan waktu lama untuk riset satu persatu koin. Untungnya di exchanger yang teregulasi ini sudah memfilter dan menyaring koin-koin dan token yang sudah comply dan bebas scam,” ujar dia..

Secara terpisah, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menjelaskan pentingnya menggunakan PFAK terdaftar. Alasan utamanya, menurut Nailul, pengawasan pada PFAK terdaftar dilakukan secara berlapis, dari perusahaan hingga Bappebti.

“Jika terjadi fraud akan mudah, karena ada dasar hukum yang kuat akan transaksi kita. Jika di luar exchanger Bappebti maka akan susah jika terjadi fraud,” ujar dia.

3 dari 4 halaman

Pemerintah Kenakan Pajak Kripto, Begini Penjelasannya

Sebelumnya, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. 

Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagaimana perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi kripto yang berkembang di masyarakat. 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor mengungkapkan bagaimana pajak memandang aset kripto sebagai komoditas yang memenuhi kriteria sebagai objek PPN dan bukan sebagai alat tukar. 

"Pertama yang harus diluruskan bahwa aset kripto di Indonesia ini tidak dianggap sebagai alat tukar maupun surat berharga, melainkan sebuah komoditas. Bank Indonesia menyatakan bahwa aset kripto bukanlah alat tukar yang sah,” ujar Neilmaldrin dalam keterangan tertulis, Rabu (13/4/2022). 

“Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa aset kripto merupakan komoditas. Karena komoditas, maka merupakan barang kena pajak tidak berwujud dan harus dikenai PPN juga agar adil,” lanjut Neilmaldrin.

Maka dari itu, karena kripto termasuk objek kena pajak baru, pemerintah mengupayakan penerapan aturan yang mudah dan sederhana untuk pajak kripto.

Adapun cara pengenaan pajak pada perdagangan aset kripto adalah dengan melakukan penunjukkan pihak ketiga sebagai pemungut PPN perdagangan aset kripto, yaitu melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) baik dalam negeri maupun luar negeri.

4 dari 4 halaman

Rincian Pajak Kripto

Atas perdagangan aset kripto, dipungut PPN besaran tertentu atau PPN Final dengan tarif 0,11 persen dari nilai transaksi dalam hal penyelenggara perdagangan adalah Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) dan 0,22 persen dalam hal bukan oleh PFAK. 

Sedangkan untuk jasa mining (verifikasi transaksi aset) dengan tarif 1,1 persen dari nilai konversi aset kripto.

Selain itu, dari perdagangan yang dilakukan juga memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi penjual sehingga merupakan objek pajak dan dipungut PPh pasal 22 final 0,1 persen dari nilai aset kripto (jika merupakan PFAK), atau 0,2 persen dari nilai aset kripto (jika bukan PFAK). 

"Hal ini berlaku juga atas penghasilan yang diterima oleh penambang kripto (miner), merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang dikenai PPh pasal 22 dengan tarif sebesar 0,1 persen dari penghasilan yang diterima atau diperoleh, tidak termasuk PPN,” pungkas Neilmaldrin.