Sukses

Asosiasi Sebut Penerapan Pajak Kripto Terlalu Cepat

Perdagangan aset kripto di Indonesia mulai dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dan Pajak Penghasilan atau PPh pada 1 Mei 2022.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia telah menerbitkan aturan pengenaan pajak atas transaksi perdagangan aset kripto. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada 30 Maret 2022.

Perdagangan aset kripto di Indonesia mulai dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dan Pajak Penghasilan atau PPh pada 1 Mei 2022. 

Namun, peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia tersebut masih menjadi perdebatan banyak pihak, terutama di antara para pelaku usaha. 

Menanggapi hal tersebut, Asosiasi Blockchain Indonesia (A-B-I), mewakili calon pedagang fisik aset kripto yang terdaftar di Badan pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menyebutkan waktu pemberlakuan pajak aset kripto dinilai terlalu cepat. 

Hal ini mengingat calon pedagang fisik aset kripto harus mempersiapkan proses teknis pemotongan pajak, kemudian melakukan sosialisasi kepada pelanggan aset kripto yang akan menjadi pembayar pajak.

Chairwoman Asosiasi Blockchain Indonesia, Asih Karnengsih mengungkapkan pihaknya mendukung langkah yang diambil pemerintah. 

“Industri Aset Kripto saat ini menjadi salah satu hal yang diperhatikan oleh Pemerintah karena memiliki potensi yang besar untuk dapat menyumbang pada pendapatan Negara,” ujar Asih dalam keterangan tertulis, Kamis (30/6/2022).

“Namun, yang menjadi kekhawatiran kami saat ini ialah tarif pajak PPh dan PPN yang harus diperkuat dasar hukumnya dan juga memperhatikan kemampuan dalam mempertahankan daya saing pelaku usaha dalam negeri,” lanjut dia.

 

 

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 5 halaman

Pengenaan Tarif Pajak Kripto Dinilai Perlu Diperjelas

Menurut Asih, pengenaan tarif pajak kripto harus lebih diperjelas. Terlebih karena berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 99 Tahun 2018 tentang “Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto”, menetapkan aset kripto sebagai komoditas yang dapat dijadikan subjek kontrak berjangka yang diperdagangkan di Bursa Berjangka (Pasal 1). 

“Sedangkan, belum terdapat dasar peraturan yang jelas atas pengenaan tarif PPN pada jenis barang Komoditi Berjangka dengan klasifikasi Aset tidak berwujud seperti Aset Kripto, sehingga tidak dapat diperlakukan sama dengan komoditas berjangka lainnya,” ujar Asih.

Kemudian terkait tarif pajak penghasilan, menurut dia sampai saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang sudah diperbaiki atau diperbaharui mengenai tarif PPh secara khusus pada Komoditas Berjangka. 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2009 (PP 17/2009) tentang “Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa” tarif PPh pada Komoditas Berjangka dikenakan sebesar 2,5 persen. 

Akan tetapi, peraturan yang pada pokoknya harus dijadikan pertimbangan dalam pengenaan tarif PPh Aset Kripto ini telah dicabut berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2011 (PP 31/2011).

 

3 dari 5 halaman

Dinilai Kurangi Daya Kompetitif Pelaku Usaha

Di sisi lain, tarif pajak yang dikenakan dapat mengurangi daya kompetitif bagi pelaku usaha dalam negeri, sehingga dikhawatirkan calon pelanggan dalam negeri akan berpaling dan memilih bertransaksi menggunakan pedagang fisik aset kripto luar negeri (menyebabkan capital outflow). 

Ekosistem aset kripto yang sedang dibangun oleh pemerintah, mencakup bursa berjangka, lembaga kliring dan depository, menunjukkan akan ada biaya tambahan yang tidak dikenakan pada pedagang fisik aset kripto luar negeri. 

“Investasi keluar (capital flow) yang tidak diawasi oleh Bappebti dapat berdampak terhadap pertumbuhan industri aset kripto domestik, khususnya terhadap pelaku usaha yang sudah terdaftar dan patuh terhadap peraturan Bappebti.” ujar Asih.

Adapun, merujuk pada pernyataan Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga melalui siaran pers pada Selasa, 29 Maret 2022, nilai transaksi aset kripto di Indonesia pada Februari 2022 tumbuh hingga 14,5 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Data tersebut menunjukkan perkembangan pesat perdagangan aset kripto di Indonesia dan akan sangat disayangkan jika perkembangan tersebut terhambat. 

Apalagi ditambah dengan adanya kemungkinan penurunan tingkat kepatuhan pajak (tax compliance level) pada transaksi aset kripto akibat dampak pemberlakuan pajak tanpa pengkajian mendalam. 

“Untuk itu, demi mendorong pengaturan pajak yang lebih dapat dipatuhi oleh seluruh pemangku kepentingan, Asosiasi Blockchain Indonesia tengah menyiapkan kajian mendalam terkait Pajak Aset Kripto,” pungkas Asih.

4 dari 5 halaman

Pemerintah Kenakan Pajak Kripto, Begini Penjelasannya

Sebelumnya, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. 

Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagaimana perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi kripto yang berkembang di masyarakat. 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor mengungkapkan bagaimana pajak memandang aset kripto sebagai komoditas yang memenuhi kriteria sebagai objek PPN dan bukan sebagai alat tukar. 

"Pertama yang harus diluruskan bahwa aset kripto di Indonesia ini tidak dianggap sebagai alat tukar maupun surat berharga, melainkan sebuah komoditas. Bank Indonesia menyatakan bahwa aset kripto bukanlah alat tukar yang sah,” ujar Neilmaldrin dalam keterangan tertulis, Rabu (13/4/2022). 

“Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa aset kripto merupakan komoditas. Karena komoditas, maka merupakan barang kena pajak tidak berwujud dan harus dikenai PPN juga agar adil,” lanjut Neilmaldrin.

Maka dari itu, karena kripto termasuk objek kena pajak baru, pemerintah mengupayakan penerapan aturan yang mudah dan sederhana untuk pajak kripto.

Adapun cara pengenaan pajak pada perdagangan aset kripto adalah dengan melakukan penunjukkan pihak ketiga sebagai pemungut PPN perdagangan aset kripto, yaitu melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) baik dalam negeri maupun luar negeri.

5 dari 5 halaman

Rincian Pajak Kripto

Atas perdagangan aset kripto, dipungut PPN besaran tertentu atau PPN Final dengan tarif 0,11 persen dari nilai transaksi dalam hal penyelenggara perdagangan adalah Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) dan 0,22 persen dalam hal bukan oleh PFAK. 

Sedangkan untuk jasa mining (verifikasi transaksi aset) dengan tarif 1,1 persen dari nilai konversi aset kripto.

Selain itu, dari perdagangan yang dilakukan juga memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi penjual sehingga merupakan objek pajak dan dipungut PPh pasal 22 final 0,1 persen dari nilai aset kripto (jika merupakan PFAK), atau 0,2 persen dari nilai aset kripto (jika bukan PFAK). 

"Hal ini berlaku juga atas penghasilan yang diterima oleh penambang kripto (miner), merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang dikenai PPh pasal 22 dengan tarif sebesar 0,1 persen dari penghasilan yang diterima atau diperoleh, tidak termasuk PPN,” pungkas Neilmaldrin.