Sukses

Adopsi Kripto di Indonesia Bakal Terus Tumbuh

Adopsi kripto di Indonesia sudah lebih baik dibandingkan tahun lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Adopsi aset kripto di Indonesia diyakini akan terus tumbuh hingga 10 tahun ke depan. Sebuah riset terbaru dari Chainalysis merilis indeks yang mengukur adopsi kripto global pada  2022, hasilnya Indonesia berada di urutan ke-20.

Chainalysis menyebutkan dalam Indeks Adopsi Kripto Global 2022, Indonesia termasuk dalam kategori negara berkembang berpenghasilan menengah ke bawah yang memiliki pertumbuhan adopsi kripto yang tinggi. Meskipun, Indonesia kalah dengan Vietnam yang menduduki nomor satu.

Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (ASPAKRINDO), Teguh Kurniawan Harmanda, melihat masuknya Indonesia dalam daftar Indeks Adopsi Kripto Global 2022 versi Chainalysis cukup membanggakan. Pasalnya dalam laporan yang sama tahun lalu, Indonesia belum masuk ke posisi 20 negara teratas.

"Laporan ini cukup membuktikan bahwa pertumbuhan aset kripto di Indonesia itu masih terus berjalan dalam hal baik, meski market sedang lesu. Adopsi kripto yang tinggi ini didorong oleh penetrasi teknologi lebih luas dan edukasi investasi yang terus dilakukan, bersamaan regulasi yang aman melindungi konsumen," kata pria yang akrab disapa manda dalam keterangan tertulis, Jumat, 16 September 2022.

Menurut Manda adopsi kripto di Indonesia sudah lebih baik dibandingkan tahun lalu, walaupun dalam masa crypto winter. Aspek nilai transaksi perdagangan aset kripto di Indonesia memang cenderung menurun, khususnya sejak awal 2022.

 

 

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

 
 
2 dari 5 halaman

Adopsi Web 3 dan Blockchain

Misalnya, pada Juni 2022, nilai transaksi kripto tercatat hanya Rp 20 triliun, turun 65,5 persen turun dibanding periode Juni 2021 sebesar Rp 58,06 triliun. Penurunan disebabkan oleh kondisi situasi makroekonomi dan inflasi yang yang tinggi di beberapa negara.

Manda menjelaskan mungkin saat ini terlihat investor telah menjauh dari aset kripto yang lebih tradisional seperti Bitcoin mengingat bearish market, mereka mulai beralih ke aset yang dibangun dengan project utilitas yang menarik di dunia Web3, metaverse dan unsur teknologi blockchain lainnya yang membuatnya lebih mudah diakses.

Adopsi di Indonesia didorong oleh aset kripto yang lebih tradisional yang ditawarkan melalui exchange dan platform teknologi keuangan. 

“Namun, di sisi lain, instrumen kripto tradisional kini kurang diminati, saat ini pertumbuhan yang tinggi ada di project kripto berbasis Web3 yang di mana banyak beralih ke aplikasi, seperti NFT dan game," jelas Manda.

Manda juga mengungkap perkembangan industri blockchain, khususnya Web3 di Indonesia, kini sudah jauh lebih baik dan dikenal lebih luas oleh masyarakat. 

 

3 dari 5 halaman

Jadi Lahan Baru

Web3 sudah menjelma menjadi sebuah lahan baru yang memiliki potensi pengembangan dan keuntungan lebih besar, karena bicara terkait teknologi masa depan dengan konsep yang hampir sama dengan internet.

Terlepas dari peringkat adopsi, laporan Chainalysis juga menunjukkan meskipun adopsi kripto lebih lambat di tengah bear market, tapi masih lebih tinggi dari periode sebelum bull run pada tahun 2020.

Web3 dan segala hal lainnya di dunia blockchain akan melihat adopsi yang cukup tinggi dan meluas dalam 10 tahun ke depan. Untuk memacu adopsi, pengalaman pengguna harus ditingkatkan. 

“Keamanan juga penting, misalnya pemain kripto harus berlisensi dan bersertifikat. Kemudian, edukasi tentang manfaat dan kegunaan dari teknologi yang dikembangkan untuk meraih tingkat kepercayaan yang tinggi di masyarakat," pungkas manda.

4 dari 5 halaman

Adopsi Bitcoin Republik Afrika Tengah Mengejutkan Dunia Kripto

Sebelumnya, adopsi Bitcoin Republik Afrika Tengah, cukup mengejutkan dan membingungkan dunia kripto. Hal itu karena masih banyak beberapa negara dengan ekonomi terbesar dunia masih waspada dengan risiko dari aset digital tersebut. 

Peresmian Republik Afrika Tengah menggunakan Bitcoin sebagai alat pembayaran juga cukup membingungkan dunia cryptocurrency dan mendorong kehati-hatian dari IMF yang selama ini telah memberikan pengumuman soal risiko dari adopsi Bitcoin sebagai alat pembayaran.

Bitcoin, merupakan salah satu mata uang digital yang ada di teknologi buku besar yang disebut blockchain. Dengan begitu, transaksi Bitcoin untuk membeli dan menjual barang atau jasa bergantung pada internet yang andal, cepat, dan akses luas ke komputer atau ponsel cerdas.

Di sisi lain, menurut situs web DataReportal memperkirakan Republik Afrika Tengah hanya memiliki tingkat penetrasi internet 11 persen, sama dengan sekitar 550.000 orang online tahun lalu.

Sementara itu hanya sekitar 14 persen orang yang memiliki akses listrik dan kurang dari setengahnya memiliki koneksi telepon seluler, kata Economist Intelligence Unit.

Empat analis dan pakar kripto mengatakan tantangan besar terbentang di depan dalam mengadopsi Bitcoin di salah satu negara termiskin di dunia dengan penggunaan internet yang rendah, konflik yang meluas, listrik yang tidak stabil, dan populasi yang sebagian besar tidak terbiasa dengan kripto.

Republik Afrika Tengah memberikan beberapa rincian dalam pernyataannya tentang bagaimana rencananya untuk mengatasi tantangan ini. 

 

5 dari 5 halaman

Selanjutnya

Pernyataan pemerintah mengatakan langkah itu menjadikan Republik Afrika Tengah salah satu "negara paling visioner" di dunia, tetapi sebagian besar penduduk di sana yang telah akrab dengan uang seluler untuk membeli barang dan membayar tagihan masih bingung soal kripto.

"Bitcoin. Apa itu? Apa yang bisa dibawa Bitcoin ke negara kita?" ujar Auguste Agou, yang menjalankan perusahaan kayu lokal di Bangui (ibu kota Republik Afrika Tengah), dikutip dari Channel News Asia, Rabu (4/5/2022). 

Negara Afrika berpenduduk 4,8 juta orang ini adalah negara kedua di dunia yang beralih ke Bitcoin, setelah El Salvador.

Analis di Economist Intelligence Unit, Nathan Hayes mengatakan ada hambatan besar untuk adopsi kripto sebagai alat pembayaran. 

“Mengingat hambatan besar untuk adopsi dan risiko yang terkait dengan penggunaan, dan keuntungan yang tampaknya terbatas, kami tidak mengharapkan adopsi cryptocurrency secara luas di negara ini,” ujar Hayes.

Adapun, perusahaan penelitian blockchain, Chainalysis, yang bertugas melacak penggunaan kripto juga mengungkapkan tidak memiliki data tentang Republik Afrika Tengah.