Liputan6.com, Jakarta - Nilai transaksi kripto yang tumbuh signifikan dinilai berpotensi berdampak terhadap stabilitas keuangan. Dengan pertimbangan itu, pengawasan kripto pun beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Hal itu disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Didid Noordiatmoko pada Rabu, (4/1/2023).
Baca Juga
"Adanya laporan dari financial stability board yang mengatakan bahwa pesatnya nilai pertumbuhan aset kripto dapat berdampak pada stabilitas keuangan," tutur Didid.
Advertisement
Didid menilai, peralihan kewenangan pengawasan kripto kepada OJK bukan kegagalan. Namun, ia mengakui ada target yang belum dirampungkan, salah satunya membangun ekosistem perdagangan kripto. Didid menyampaikan, ekosistem transaksi kripto telah dibangun secara tata kelola dengan ada pengelola, kliring, pedagang fisik dan pelanggan.
Ia mengungkapkan kendala belum terbangunnya ekosistem lantaran Bappebti belum menemukan negara yang jadi acuan untuk pasar kripto. Didid mengeaskan, pihaknya ingin hal terkait bursa kustodian dan kliring dapat memenuhi kriteria baik.
"Masalahnya kami kesulitan untuk mencari benchmarking mana negara yang sudah memiliki bursa yang baik bursa kripto yang baik," ujar Didid.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Reporter: Yunita Amalia
Merdeka.com
OJK Awasi Kripto
Sebelumnya, DPR bersama pemerintah sepakat pengawasan transaksi kripto dilakukan oleh OJK. Sebelumnya, pengawasan ini dilakukan oleh Bappebti.
"Terkait aktivitas transaksi kripto, disepakati pemindahan pengawasan aset keuangan digital, termasuk aset kripto, ke Otoritas Jasa Keuangan," ujar Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam rapat paripurna masa persidangan II tahun sidang 2022-2023 di Gedung DPR, Jumat, 15 Desember 2022.
Dia menuturkan, pemindahan ini dilakukan agar pengaturan dan pengawasan aset keuangan digital dapat makin kuat khususnya di dalam aspek perlindungan investor atau konsumen. Namun, kewenangan OJK mengawasi transaksi kripto, belum dapat dilakukan usai pengesahan RUU PPSK. Sri mengatakan, perlu waktu untuk transisi atas pengalihan kewenangan dalam hal pengawasan.
"Diperlukan waktu transisi antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bappebti dengan baik serta optimal tanpa mengganggu perkembangan transaksi aset kripto yang sedang berjalan," ucapnya.
Bersamaan dengan itu, DPR dan pemerintah sepakat untuk memperluas cakupan pengawasan OJK bidang pasar modal, dana pensiun, asuransi.
"Serta industri yang relatif baru seperti inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK) atau financial technology dan aktivitas transaksi aset keuangan digital seperti kripto," imbuh Sri Mulyani.
Sementara untuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tujuan dan wewenangnya ditambah dengan mandat menjamin polis asuransi yang dikelola perusahaan asuransi. "Penguatan kelembagaan dilakukan melalui penambahan anggota Dewan Komisioner di OJK dan LPS. Yang sangat diperlukan untuk mendukung pencapaian dan tugas yang baru tersebut," tutur Sri Mulyani.
Advertisement
Cakupan Sementara, OJK Hanya Akan Awasi Dua Jenis Kripto Ini
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengungkapkan akan melakukan sejumlah regulasi, yang kemungkinan akan terbatas pada aset kriptonya, tetapi lebih kepada lembaga dan perusahaan keuangan yang melakukan transaksi terhadap produk kripto.
“Dalam hal ini, yang akan dicakup untuk sementara adalah yang disebut dengan kelompok stablecoin, yaitu kripto yang dikaitkan nilainya dengan mata uang atau komoditas tertentu. Lalu kedua, apa yang disebut dengan kripto yang memiliki real underlying asset,” ungkap Mahendra, dalam acara Outlook Economic 2023, Rabu (21/12/2022).
Hal ini terkait tugas baru yang diemban OJK sebagai pengatur dan pengawas aset kripto seiring dengan disahkannya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK).
Pada kesempatan yang sama, Mahendra juga menuturkan bagaimana sulitnya dalam mengatur kripto karena pada awalnya aset kripto didesain bukan untuk diatur.
“Untuk urusan kripto ini, memang tidak pernah mudah dan di seluruh dunia pun masih menjadi perdebatan karena memang di awal, cryptocurrency itu didesain bukan untuk diregulasi, didesain untuk tidak diregulasi,” tutur Mahendra.
Mahendra menambahkan, Indonesia memiliki persoalan yang dilakukan dalam aset kripto yaitu underlying aset dan transaksinya bukan di Indonesia.
“Selama ini, underline asetnya, transaksinya, bukan di Indonesia, tapi di tempat lain. Jadi yang dilakukan di Indonesia adalah trading. Sementara, kita inginkan fundrisingnya, dananya, terkait dengan aset dan pertumbuhan perkembangan ekonomi Indonesia," jelas Mahendra.
Menurutnya, Indonesia perlu realistis dalam menyelesaikan perkara tersebut lewat integrasi sistem.
“Dalam hal tersebut, perlu dipertanyakan kembali tujuannya, apakah pasar kripto akan jadi satu kesatuan bagian yang terintegrasi untuk kepentingan nasional, atau hanya jadi sesuatu yang bukan prioritas,” pungkas dia.
Ketua Dewan Komisioner OJK: Urusan Kripto Tak Pernah Mudah
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengungkapkan sulitnya dalam mengatur kripto karena pada awalnya didesain bukan untuk diatur.
“Untuk urusan kripto ini, memang tidak pernah mudah dan di seluruh dunia pun masih menjadi perdebatan karena memang di awal, cryptocurrency itu didesain bukan untuk diregulasi, didesain untuk tidak diregulasi,” ujar Mahendra dalam acara Outlook Economic 2023, Rabu (21/12/2022).
Mahendra menambahkan, dalam perkembangannya aset kripto saat ini telah menjadi sangat besar sehingga menjadi masalah jika tidak diregulasi.
“Jadi desain awal dengan fakta sudah berubah. Sekarang menghadapi kondisi ini, seluruh regulator di seluruh dunia melakukan pembahasan, diskusi, dan nampaknya tidak bisa terelakkan untuk tahap awal akan melakukan sejumlah regulasi,” jelas Mahendra.
Mahendra juga menuturkan OJK akan melakukan sejumlah regulasi, yang kemungkinan akan terbatas pada aset kriptonya, tetapi lebih kepada lembaga dan perusahaan keuangan yang melakukan transaksi terhadap produk kripto.
“Dalam hal ini, yang akan dicakup untuk sementara adalah yang disebut dengan kelompok stablecoin, yaitu kripto yang dikaitkan nilainya dengan mata uang atau komoditas tertentu. Lalu kedua, apa yang disebut dengan kripto yang memiliki real underlying asset,” tutur Mahendra.
Terkait ini, menurut Mahendra Indonesia memiliki persoalan yang dilakukan dalam aset kripto yaitu underlying aset dan transaksinya bukan di Indonesia.
“Selama ini, underline asetnya, transaksinya, bukan di Indonesia, tapi di tempat lain. Jadi yang dilakukan di Indonesia adalah trading. Sementara, kita inginkan fundrisingnya, dananya, terkait dengan aset dan pertumbuhan perkembangan ekonomi Indonesia," jelas Mahendra.
Menurutnya, Indonesia perlu realistis dalam menyelesaikan perkara tersebut lewat integrasi sistem.
“Dalam hal tersebut, perlu dipertanyakan kembali tujuannya, apakah pasar kripto akan jadi satu kesatuan bagian yang terintegrasi untuk kepentingan nasional, atau hanya jadi sesuatu yang bukan prioritas,” pungkas dia.
Advertisement