Liputan6.com, Jakarta - Investor besar bitcoin (BTC), atau biasa dijuluki Whale, tampaknya tidak terpengaruh oleh pelemahan harga baru-baru ini. Bahkan mereka secara substansial meningkatkan kepemilikan.
Whale adalah entitas yang mengendalikan aset digital dalam jumlah besar. Pembelian dan penjualan mereka dapat memberikan dampak yang cukup besar pada pasar, sehingga pengamat kripto memantau dengan cermat perilaku mereka untuk mengantisipasi pergerakan pasar.
Baca Juga
Data oleh perusahaan analisis kripto IntoTheBlock menunjukkan bahwa alamat yang menyimpan setidaknya 0,1 persen dari pasokan bitcoin yang bernilai lebih dari USD 500 juta, meningkatkan simpanan mereka dengan total USD 1,5 miliar dalam dua minggu terakhir pada Agustus. Peningkatan tersebut terjadi ketika arus masuk ke bursa terpusat mendekati nol.
Advertisement
"Itu menunjukkan bahwa ada permintaan pembelian organik, bukan hanya dana yang berpindah ke alamat bursa,” tulis Lucas Outumuro, kepala penelitian di IntoTheBlock, dalam sebuah laporan, dikutip dari laman Coindesk, Sabtu (2/9/2023).
Pembelian tersebut terjadi pada periode ketika harga Bitcoin merosot ke level terendah dalam dua bulan. Pemegang saham besar pertama kali melakukan investasi setelah 17 Agustus, ketika BTC anjlok lebih dari 10 persen hingga di bawah USD 26.000, harga terendah sejak Juni, menurut data IntoTheBlock.
Mereka juga meningkatkan kepemilikan awal pekan ini menyusul kemenangan pengadilan manajer aset Grayscale atas Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC).
Pengadilan banding federal memerintahkan badan tersebut untuk mengosongkan dan meninjau penolakannya untuk mengubah Grayscale Bitcoin Trust senilai USD 14 miliar menjadi ETF bitcoin spot yang lebih diinginkan.
Para analis menafsirkan putusan pengadilan tersebut sebagai kemajuan penting menuju pencatatan ETF BTC pertama di AS, menjadikan mata uang kripto terbesar ini lebih mudah diakses oleh kelas investor baru. Namun, BTC telah menghapus semua keuntungan dari reli singkat yang dipicu oleh keputusan Grayscale dan turun kembali di bawah USD 26.000 pada Jumat.
Robinhood Jadi Pemegang Bitcoin Terbesar Ketiga, Aset Tembus USD 3 Miliar dalam BTC
Sebelumnya, Robinhood, salah satu platform perdagangan kripto terkemuka, sekarang menjadi pemegang Bitcoin terbesar ketiga dengan BTC senilai lebih dari USD 3 miliar dalam satu dompet (wallet).
Data Arkham Intelligence menunjukkan posisi platform tersebut hanya satu urutan di belakang Binance dan Bitfiniex yang masing-masing mengempit USD 6,4 miliar dan USD 4,3 BTC dalam satu dompet.
Dompet milik Robinhood ini sebelumnya menjadi perbincangan di kalangan pengamat pasar dalam beberapa bulan terakhir karena identitas pemiliknya memicu kekhawatiran tentang siapa pemilik misterius bitcoin dalam jumlah besar.
Dalam beberapa bulan terakhir platform ini telah mentransfer lebih dari 118,30 BCT dari berbagai dompet kecil lainnya.
Semua kepemilikan ini disimpan di blockchain Bitcoin. Transaksi pertama dilakukan pada 8 Maret, setelah itu sejumlah besar bitcoin ditransfer hingga 14 Juli, menurut data dari BitInfoCharts.
Melansir CoinDesk, Selasa (29/8/2023), transfer tersebut memicu spekulasi mulai dari kepemilikan bitcoin milik raksasa keuangan BlackRock, yang mengajukan ETF Bitcoin awal tahun ini, hingga pertukaran kripto Gemini yang mengalihkan kepemilikan penggunanya ke dompet.
Robinhood melaporkan pendapatan perdagangan kripto hanya USD 31 juta pada kuartal kedua, turun 18 persen dari USD 38 juta pada kuartal pertama.
Angka tersebut merupakan 16 persen dari USD 193 juta pendapatan perdagangan di semua kategori, yang mengalami penurunan berurutan sebesar 7 persen, seperti yang dilaporkan sebelumnya.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Advertisement
Asia Jadi Wilayah Paling Menguntungkan Bagi Penambang Bitcoin
Sebelumnya, menurut sebuah penelitian baru dari portal agregasi aset kripto Coingecko wilayah Asia secara keseluruhan memiliki biaya rata-rata penambangan bitcoin terendah bagi penambang tunggal.
Dilansir dari Bitcoin.com, Kamis (24/8/2023), lonjakan harga energi akibat Covid, gelombang panas, dan perang di Ukraina membuat penambangan bitcoin sebagian besar tidak menguntungkan di Eropa.
Seorang penambang tunggal akan membutuhkan rata-rata 266,000 kilowatt per jam (kWh) listrik untuk mencetak satu bitcoin dan prosesnya akan memakan waktu sekitar tujuh tahun untuk menyelesaikannya, sehingga memerlukan konsumsi listrik bulanan sekitar 143 kWh, menurut perkiraan para peneliti.
Meskipun masa-masa ketika bitcoin (BTC) dapat ditambang dengan daya minimal dan di komputer desktop sudah tidak ada lagi, para peneliti telah menganalisis biaya listrik rumah tangga di seluruh dunia untuk memberikan prospek bagi penambang tunggal yang beroperasi dalam jaringan terdesentralisasi.
Biaya rata-rata listrik rumah tangga yang dibutuhkan untuk menambang 1 bitcoin adalah USD 46.291 atau setara Rp 708,3 juta (asumsi kurs Rp 15.301 per dolar AS), 35 persen lebih tinggi dari harga harian rata-rata BTC pada Juli 2023.
Namun, perbedaan regional dalam biaya listrik rumah tangga di seluruh dunia sangatlah besar. Dengan biaya rata-rata USD 20.635 atau setara Rp 315,7 juta per bitcoin, Asia menjadi satu-satunya wilayah di mana rata-rata biaya listrik rumah tangganya menguntungkan penambangan Bitcoin.
Eropa Menjadi Biaya Listrik Termahal untuk Penambang Bitcoin
Saat ini hanya 65 negara yang memberikan keuntungan bagi penambangan tunggal berdasarkan biaya listrik rumah tangga saja.
Hanya lima di antaranya berada di Eropa, yang memiliki rata-rata biaya listrik rumah tangga tertinggi, yaitu USD 85.767 atau setara Rp 1,3 miliar.
Sembilan dari 10 negara paling tidak menguntungkan bagi penambang tunggal berada di wilayah tersebut, dengan biaya listrik untuk mencetak 1 BTC di Italia mencapai USD 208.560 atau setara Rp 3,1 miliar.
Advertisement