Liputan6.com, Jakarta - Aset kripto milik JPMorgan, JPM Coin yang digunakan untuk menyelesaikan miliaran transaksi bank, akan digunakan untuk menyelesaikan transaksi antar bank.
Dilansir dari Bitcoin.com, Jumat (8/12/2023), kripto tersebut baru-baru ini memulai debutnya di Partior, sebuah buku besar blockchain yang menampilkan transaksi antar bank menggunakan aset blockchain, yang mungkin memperluas pemanfaatannya.
Baca Juga
Partior, diluncurkan dalam upaya bersama JPMorgan bersama DBS Bank, Temasek, dan Standard Chartered, menampilkan transaksi multi mata uang cepat bersama para anggotanya.
Advertisement
Meskipun demikian, jaringan tersebut masih bergantung pada perbankan koresponden untuk menyelesaikan hasil transaksi ini, sehingga menjaga sistem status quo perbankan.
Meskipun proyek yang berbasis di Singapura ini sudah berjalan, rincian cara kerja dan jumlah pemanfaatannya masih belum jelas. Ledger Insights melaporkan mereka yakin Bank DBS sudah aktif di platform tersebut tetapi bank lain masih belum menggunakannya.
JPMorgan mengalahkan bank-bank lain yang berbasis di AS yang masih harus mendapatkan izin untuk menerapkan solusi semacam ini, setelah menerima surat tidak keberatan dari Kantor Pengawas Keuangan Mata Uang Amerika Serikat untuk penggunaan Partior pada Mei.
Namun, memasukkan JPM Coin ke dalam Partior mungkin dapat meningkatkan penggunaannya, mengingat ukuran dan pentingnya token blockchain JPMorgan dan kehadirannya yang hampir ada di mana-mana.
Pada Oktober, Kepala Pembayaran Global JPMorgan Takis Georgakopoulos menyatakan token tersebut digunakan untuk menyelesaikan USD 1 miliar atau setara Rp 15,4 triliun setiap hari.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Bank Sentral Inggris Usulkan Peraturan Lebih Ketat untuk Stablecoin
Sebelumnya diberitakan, stablecoin telah mendapatkan daya tarik yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir karena potensinya dalam mengurangi volatilitas yang sering dikaitkan dengan mata uang kripto seperti Bitcoin.
Dilansir dari Coinmarketcap, Kamis (7/12/2023), ada kekhawatiran mengenai stabilitas dan keamanan Stablecoin telah mendorong badan pengawas di seluruh dunia untuk mempertimbangkan kembali pendirian mereka mengenai penerbitan dan pengelolaannya.
Proposal baru Bank Sentral Inggris (BoE) mencerminkan sentimen hati-hati yang diungkapkan oleh Federal Reserve awal tahun ini ketika memperingatkan terhadap model bisnis stablecoin tertentu.
Model yang dimaksud melibatkan stablecoin yang didukung oleh sekumpulan aset, termasuk mata uang tradisional dan sekuritas. Sedangkan pendekatan ini bertujuan untuk menjaga kestabilan nilai mata uang digital. Hal ini juga menimbulkan kompleksitas dan potensi risiko yang dianggap mengkhawatirkan oleh regulator.
Inti masalahnya terletak pada sifat stablecoin yang didukung aset ini, di mana penerbitnya memiliki cadangan aset untuk menjamin nilai stablecoin tersebut.
Proposal Bank Sentral Inggris berupaya untuk memperketat pengawasan peraturan terhadap penerbit stablecoin dengan mewajibkan persyaratan cadangan dan praktik manajemen risiko yang lebih ketat.
Peraturan yang diusulkan akan menuntut peningkatan transparansi dari penerbit stablecoin mengenai komposisi cadangan aset mereka. BoE berpatokan terhadap mata uang tradisional tetap aman.
Selain itu, BoE bertujuan untuk menerapkan stress test dan audit rutin untuk menilai ketahanan penerbit stablecoin terhadap fluktuasi pasar. Sementara beberapa pihak berpendapat peraturan yang diusulkan ini merupakan langkah penting untuk menjaga stabilitas keuangan.
Advertisement
FTX Bangkrut, Bank Sentral Inggris Sebut Perlu Aturan Kripto
Sebelumnya diberitakan, Deputi Gubernur Bank Sentral Inggris atau Bank of England (BoE) Jon Cunliffe mengatakan, ledakan bursa kripto FTX menunjukkan kebutuhan membawa dunia kripto dalam kerangka peraturan.
Mengutip Channel News Asia, Selasa (22/11/2022), FTX yang telah mengajukan perlindungan pengadilan kebangkrutan Amerika Serikat berutang hampir USD 3,1 miliar atau sekitar Rp 48,7 triliun (asumsi kurs Rp 15.716 per dolar AS) kepada 50 kreditur terbesarnya.
“Sementara dunia kripto, seperti yang ditunjukkan selama musim dingin kripto tahun lalu, dan ledakan FTX minggu lalu saat ini tidak cukup besar atau cukup terhubung dengan keuangan arus utama untuk mengancam stabilitas sistem keuangan, hubungannya dengan keuangan arus utama telah berkembang pesat,” tutur Cunlife.
Ia menyoroti, tumbangnya FTX perlu regulator yang melakukan kontrol lebih ketat secepat mungkin. “kita tidak boleh menunggu sampai besar dan terhubung untuk mengembangkan kerangka peraturan yang diperlukan untuk mencegah kejutan kripto yang dapat memiliki dampak destabilisasi yang jauh lebih besar.” Tutur Cunliffe.
Saat ini, perusahaan kripto di Inggris hanya perlu menunjukkan dapat menerapkan kontrol yang memadai untuk menghentikan pencucian uang meski banyak permohonan perusahaan yang lisensinya ditolak oleh regulator Inggris.
Perluas Perlindungan Investor
Inggris menyetujui undang-undang layanan keuangan dan pasar baru yang akan memperkenalkan regulasi untuk stablecoin, aset kripto yang didukung oleh aset.
Cunliffe mengatakan, Bank Sentral Inggris akan menetapkan konsultasi publik untuk menyempurnakan aturan stablecoin secara lebih rinci tentang bagaimana klaim pemegang koin pada penerbit dan dompet harus disusun untuk memberikan penebusan setara uang bank komersial.
“Contoh FTX menggarisbawahi betapa pentingnya aspek ini,” ujar Cunliffe.
Kementerian Keuangan juga akan berkonsultasi untuk perluas perlindungan investor, integritas pasar, dan kerangka peraturan lainnya yang mencakup promosi dan perdagangan produk keuangan ke aktivitas dan entitas yang melibatkan aset kripto.
Secara terpisah, Bank Sentral Inggris dan Kementerian Keuangan melihat pontesi pound digital. “Tujuan kami adalah untuk memastikan inovasi dapat terjadi tetapi dalam kerangka di mana risiko dikelola dengan baik,” ujar Cunliffe.
Advertisement