Liputan6.com, Jakarta - Banyak bank sentral di berbagai belahan dunia mulai melakukan uji coba Central Bank Digital Currency atau CBDC. Begitupun Indonesia dengan proyek Rupiah Digital yang diumumkan akhir tahun lalu.
Lantas apa itu CBDC? Dilansir dari Investopedia, Jumat (22/12/2023), CBDC adalah bentuk mata uang digital yang dikeluarkan oleh bank sentral suatu negara. Mata uang ini mirip dengan mata uang kripto, hanya saja nilainya ditetapkan oleh bank sentral dan setara dengan mata uang fiat negara tersebut.
Baca Juga
Uang fiat adalah mata uang yang dikeluarkan pemerintah yang tidak didukung oleh komoditas fisik seperti emas atau perak. Ini dianggap sebagai bentuk alat pembayaran yang sah yang dapat digunakan untuk menukarkan barang dan jasa.
Advertisement
Secara tradisional, uang kertas berbentuk uang kertas dan koin, tetapi teknologi telah memungkinkan pemerintah dan lembaga keuangan untuk melengkapi uang kertas fisik dengan model berbasis kredit yang mencatat saldo dan transaksi secara digital.
Jika dilansir dari situs Ditjen Perbendaharaan Direktorat PKN, Central Bank Digital Currency (CBDC) adalah uang digital yang diterbitkan dan peredarannya dikontrol oleh bank sentral, dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk menggantikan uang kartal.
CBDC akan bertindak sebagai representasi digital dari mata uang suatu negara. CBDC sudah memenuhi tiga fungsi dasar uang, yaitu sebagai alat penyimpan nilai (store of value), alat pertukaran/pembayaran (medium of exchange) dan alat pengukur nilai barang dan jasa (unit of account).
Perbedaan CBDC dan Kripto
CBDC menggunakan private blockchain, identitas pengguna CDBC terikat dengan akun bank miliknya, berfungsi sebagai alat pembayaran seperti biasa dan Bank Sentral dapat mengatur jumlah pasokan dan jaringannya.
Sedangkan pada cryptocurrency, menggunakan public blockchain, dapat menggunakan identitas anonim, bertujuan spekulasi dan sistem pembayaran tergantung regulasi di tiap negara serta otoritas yang mengaturnya adalah pasar jaringan kripto tersebut.
Penerapan CBDC berdampak pada sistem pembayaran yang lebih cepat, efektif dan efisien. Bank sentral dapat memantau supply uang secara efektif, memudahkan penelusuran transaksi dan memangkas biaya perbankan.
Saat ini terdapat sembilan negara yang telah menerapkan CBDC secara penuh yaitu Nigeria, Bahama dan 7 negara di Kepulauan Karibia. Adapun di negara-negara seperti Rusia, Amerika Serikat, Singapura dan China yang masih dalam tahap kajian/piloting memiliki tujuan dan model CBDC yang berbeda-beda.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Advertisement
Asosiasi Bankir AS Bantu Susun Undang-Undang Anti-Kripto
Sebelumnya diberitakan, Organisasi pelobi untuk industri perbankan AS, Asosiasi Bankir Amerika diminta untuk membantu undang-undang anti-kripto, menurut komentar Senator baru-baru ini.
Melansir Cointelegraph, Rabu (20/12/2023), bank-bank besar telah membantu Senator Amerika Serikat Roger Marshall dan Elizabeth Warren menyusun rancangan undang-undang anti-kripto mereka yang kontroversial.
Video pada 20 Desember yang muncul di X (sebelumnya Twitter), menunjukkan cuplikan Senator Marshall yang mengakui bahwa dia dan Senator Warren mendekati organisasi lobi terbesar untuk industri perbankan AS, yakni American Bankers Association (ABA) untuk mendapatkan bantuan dalam menyusun Undang-Undang Anti Pencucian Uang Aset Digital.
Undang-Undang Anti Pencucian Uang Aset Digital, yang pertama kali diperkenalkan pada Desember 2022, bertujuan untuk membawa teknologi kripto seperti non-custodial wallets, validator, dan kumpulan penambangan di bawah peraturan perbankan yang ketat di Amerika Serikat.
“Hal pertama yang kami lakukan adalah menemui American Bankers Association dan berkata 'bantu kami mewujudkannya',” katanya.
Marshall juga menyebutkan pertemuan Warren dengan CEO JPMorgan Jamie Dimon di mana mereka berdua sepakat bahwa “kripto hanyalah alat untuk penjahat”. Rekaman itu bersumber dari forum intelijen keamanan parlemen awal bulan ini.
Menanggapi video tersebut, CEO Coinbase Brian Armstrong mengungkapkan kekecewaannya karena Senator Warren dan Marshall kini melobi bank. “Menjadi anti-kripto adalah strategi politik yang sangat buruk memasuki tahun 2024,” tambahnya.
Pemakaian Kripto
Sementara itu, pengacara keuangan Scott Johnsson menyarankan agar pemilih yang marah pada Senator Warren harus fokus pada kursi rentan yang mendukung kampanyenya tahun lalu.
Pada 11 Desember, RUU tersebut mendapatkan lima Senator baru sebagai co-sponsor, termasuk tiga anggota Komite Perbankan. Selain itu, kelompok advokasi perbankan AS, Bank Policy Institute (BPI), juga mendukung undang-undang anti-kripto yang diperkenalkan oleh Senator Warren.
Komentator anti-kripto sering kali membuat klaim bahwa aset digital sebagian besar digunakan untuk aktivitas jahat, meskipun banyak bukti yang menyatakan sebaliknya. Platform analisis Blockchain Chainalysis menunjukkan bahwa kurang dari 0,2% kripto digunakan untuk tujuan terlarang.
Pendukung anti-kripto juga sering gagal untuk mengakui tingkat aktivitas kriminal di dunia keuangan tradisional, dengan JPMorgan menjadi salah satu bank dengan denda paling besar. Bank Wall Street telah membayar denda hampir USD 40 miliar untuk berbagai pelanggaran sejak 2000, menurut Violation Tracker.
Advertisement