Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan kripto Coinbase Global meraih laba kuartal pertama sebesar USD 1,2 miliar atau setara Rp 19,31 triliun (asumsi kurs Rp 16.094 per dolar AS) dari kerugian tahun sebelumnya, dibantu oleh peningkatan dalam perdagangan mata uang kripto setelah peluncuran ETF Bitcoin Spot pertama yang terdaftar di AS pada Januari 2024.
Dilansir dari Yahoo Finance, Sabtu (4/5/2024), laba bersih merupakan peningkatan dibandingkan dengan kerugian sebesar USD 79 juta atau setara Rp 1,2 triliun atau USD 0,34 atau setara Rp 5.471 per saham tahun lalu.
Baca Juga
Harga kripto meroket setelah Komisi Sekuritas dan Bursa AS menyetujui peluncuran serentetan dana yang diperdagangkan di bursa (ETF) yang terkait dengan harga spot bitcoin pada Januari setelah perselisihan selama satu dekade dengan industri tersebut.
Advertisement
Coinbase adalah kustodian untuk beberapa ETF bitcoin spot, termasuk iShares Bitcoin Trust milik BlackRock. Antusiasme terhadap ETF mengirim bitcoin ke rekor tertinggi baru di atas USD 72.000 atau setara Rp 1,15 miliar pada Maret dan memperbarui antusiasme investor terhadap aset digital.Â
Volume perdagangan di Coinbase pada kuartal pertama mencapai USD 312 miliar atau setara Rp 5.021 triliun, dibandingkan dengan USD 145 miliar atau setara Rp 2.333 triliun pada tahun sebelumnya.
Namun, dalam beberapa minggu terakhir, bitcoin mengalami kesulitan karena investor telah mengkalibrasi ulang ekspektasi suku bunga. the Federal Reserve (the fed) atau bank sentral Amerika Serikat (AS)Â mempertahankan suku bunga acuannya tetap tinggi pada Rabu setelah mengetatkan kebijakan moneter dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.Â
Suku Bunga
Hal ini mengisyaratkan pihaknya masih condong ke arah pengurangan biaya pinjaman, namun menyoroti angka inflasi yang mengecewakan baru-baru ini yang dapat membuat penurunan suku bunga semakin jauh.
Suku bunga yang lebih tinggi memungkinkan Coinbase meningkatkan pendapatan bunganya. Coinbase mendapatkan bunga atas cadangan dari USD Coin (USDC), sebuah stablecoin yang dikelola bersama dengan perusahaan cryptocurrency Circle.Â
USDC, token kripto yang dirancang untuk memiliki harga yang relatif stabil, didukung oleh dolar dan aset setara yang disimpan di bank dan lembaga keuangan lainnya.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Advertisement
CEO JPMorgan Jamie Dimon Anggap Kripto Penipuan, Mengapa?
Sebelumnya, Kepala eksekutif JPMorgan Chase, Jamie Dimon, belum berubah pikiran pada pendapatnya terkait Bitcoin (BTC).Eksekutif raksasa bank asal Amerika Serikat itu masih bersikeras memandang aset kripto sebagai penipuan.
"Kripto seperti Bitcoin, saya selalu bilang itu penipuan," ucap Dimon, dikutip dari News.bitcoin.com, Rabu (1/5/2024).
"Jika mereka mengira (kripto) itu adalah mata uang, maka tidak ada harapan untuk itu. Itu adalah skema Ponzi," ujar Dimon dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg, ketika ditanya apakah ada harapan untuk kripto.
Namun, dia melanjutkan; "jika koin kripto dapat melakukan sesuatu seperti, kontrak pintar, maka aset digital tersebut memiliki nilai. Akan ada kontrak pintar, dan blockchain berfungsi. Sejauh ''kripto' mengakses hal-hal blockchain tertentu, ya, itu mungkin memiliki beberapa nilai".
Seperti diketahui, Dimon telah menjadi kritikus vokal terhadap Bitcoin dan mata uang kripto secara keseluruhan.
Pada Maret 2024, CEO JPMorgan Chase itu menegaskan bahwa dia tidak akan pernah berinvestasi secara pribadi dalam Bitcoin. Dia kerap mengatakan bahwa beberapa kasus penggunaan aset kripto terkait dengan penghindaran pajak, pencucian uang, dan pendanaan terorisme.
Selama sidang Senat, Dimon pun mengungkapkan seandainya dia masuk ke pemerintahan, dia akan menutup mata uang kripto.
"Saran pribadi saya adalah jangan terlibat. Tapi saya tidak ingin memberi tahu siapa pun apa yang harus dilakukan. Ini adalah negara bebas," ungkap Dimon pada Januari 2024, terkait penggunaan aset kripto.
Di sisi lain, Bos JPMorgan juga mengakui minat kliennya terhadap mata uang kripto dan mendukung kebebasan mereka untuk berinvestasi.
Google Gugat 2 Warga China Terkait Tuduhan Penipuan Aplikasi Kripto
Sebelumnya, raksasa teknologi Google mengajukan gugatan terhadap dua warga China di Distrik Selatan New York, terkait tuduhan menggunakan Google Play Store untuk melakukan penipuan terhadap lebih dari 100.000 pengguna di seluruh dunia,melalui aplikasi investasi kripto.
Melansir News.Bitcoin, Jumat (5/4/2024) gugatan tersebut menuduh bahwa Yunfeng Sun (alias Alphonse Sun) dan Hongnam Cheung (alias Zhang Hongnim atau Stanford Fischer) menjalankan skema penipuan ini setidaknya sejak tahun 2019.
"(Mereka diduga membuat) beberapa pernyataan keliru kepada Google untuk mengunggah aplikasi palsu mereka ke Google Play, namun tidak terbatas pada pernyataan keliru tentang identitas, lokasi, dan jenis serta sifat aplikasi yang diunggah," demikian keterangan penggugat.
"Ini adalah kesempatan unik bagi kami untuk menggunakan sumber daya kami untuk benar-benar memerangi pelaku kejahatan yang menjalankan skema kripto ekstensif untuk menipu beberapa pengguna kami," ungkap Halimah DeLaine Prado, penasihat umum di Google.
Pada 2023 saja, Halimah mengungkapkan, pihaknya mendapati lebih dari satu miliar dolar penipuan dan penipuan kripto di Amerika Serikat.
"(Gugatan) ini memungkinkan kami tidak hanya menggunakan sumber daya kami untuk melindungi pengguna, namun juga berfungsi sebagai preseden bagi pelaku kejahatan di masa depan yang kami tidak tolerir," ujar dia.
Gugatan tersebut menuduh Sun, Cheung, dan rekan mereka merancang aplikasi tersebut agar tampak sah.
Pengguna kemudian melihat saldo dan pengembalian yang diharapkan dalam aplikasi, tetapi pada akhirnya tidak dapat menarik investasi mereka atau mengklaim keuntungan.
Â
Advertisement
Korban di AS dan Kanada
Sun dan Cheung diduga membujuk korban untuk mengunduh aplikasi mereka menggunakan berbagai cara, seperti mengirim pesan teks menggunakan Google Voice untuk menargetkan korban di AS dan Kanada, memposting video promosi di Youtube dan platform media sosial lainnya, dan menjalankan kampanye pemasaran afiliasi yang membayar komisi dengan mendaftarkan orang.
"SMS tersebut konon berasal dari nomor yang salah, namun kemudian pengirim SMS tersebut memulai percakapan dengan para korban, mengembangkan ‘persahabatan’ dan ‘keterikatan romantis,'" menurut dokumen pengadilan.
Google menjelaskan dalam keluhannya bahwa ketika aplikasi tersebut offline, para penipu membuat aplikasi baru dan mengunggahnya ke Google Play menggunakan "berbagai infrastruktur jaringan komputer dan akun untuk mengaburkan identitas mereka, dan membuat representasi yang keliru kepada Google dalam prosesnya".
Raksasa teknologi ini menuntut ganti rugi lebih dari USD 75.000 atau setara Rp 1,1 miliar dan perintah pengadilan permanen terhadap para terdakwa dan rekan mereka. Larangan ini akan mencegah mereka membuat akun Google dan mengakses layanan Google apa pun di masa mendatang.
Â