Liputan6.com, Jakarta - Analis prediksi nilai Bitcoin akan berangsur meningkat hingga akhir 2025. Bahkan, Analisis perusahaan riset dan pialan Bernstein memprediksi nilai Bitcoin bisa mencapai USD 200.000 atau setara Rp 3,2 miliar (kurs: Rp 16.400).
Prediksi optimistis ini mengikuti arus masuk yang kuat ke dana yang diperdagangkan di bursa (ETF) Bitcoin Amerika Serikat (AS) sejak disetujui pada Januari 2024. Sebelumnya, Bernstein telah menetapkan target USD 150.000 untuk Bitcoin.
Baca Juga
Proyeksi para analis didasarkan pada asumsi ETF Bitcoin spot akan menyumbang sekitar 7 persen dari total pasokan Bitcoin yang beredar pada akhir tahun 2025.
Advertisement
“Kami melihat ETF Bitcoin berada di titik puncak persetujuan di wirehouse besar dan platform bank swasta besar. pada kuartal ketiga dan keempat,” tulis analis Bernstein Gautam Chhugani dan Mahika Sapra dalam catatannya, memgutip Yahoo Finance, Sabtu (22/6/2024).
Mereka menggambarkan perdagangan berbasis institusional sebagai 'Kuda Troya' untuk diadopsi, dengan investor institusional saat ini sedang mengevaluasi posisi buy. Saat ini, mereka mencatat hampir 80 persen aliran spot Bitcoin ETF berasal dari investor ritel mandiri melalui platform broker, sementara integrasi institusional dengan wirehouse masih dalam tahap awal.
Menurut Bernstein, gabungan ETF telah menarik sekitar USD 15 miliar arus bersih baru. Para analis memperkirakan ETF Bitcoin akan mewakili sekitar 7 persen dari Bitcoin yang beredar pada 2025 dan sekitar 15 persen pada 2033.
Mereka memproyeksikan ETF Bitcoin akan mencapai sekitar USD 190 miliar dalam aset yang dikelola (AuM) pada puncak pasar pada 2025 dan USD 3 triliun pada 2033.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Anak Muda AS Pilih Investasi Kripto
Sebelumnya, Bank investasi asal Amerika Serikat (AS), Bank of America mengungkapkan orang-orang muda kaya di Amerika Serikat lebih cenderung berinvestasi dalam mata uang kripto dibandingkan dengan generasi yang lebih tua.
Hal itu diungkapkan dalam laporan studi terbaru Bank of America bertajuk "Studi Bank Swasta Bank of America 2024 tentang Orang Amerika Kaya"
Dikutip dari News.bitcoin.com, Kamis (20/6/2024) studi tersebut menyoroti tren penting dan mengkaji bagaimana dinamika generasi, serta transfer kekayaan yang akan datang di AS dalam membentuk strategi keuangan.
Bank of America menemukan, investor muda cenderung menyukai portofolio yang terdiversifikasi, mengalokasikan sebagian besar aset kripto dan investasi alternatif.
Pendekatan ini kontras dengan fokus tradisional pada saham dan obligasi yang biasanya diminati oleh generasi yang lebih tua.
"Investor yang lebih tua memiliki lebih banyak ekuitas tradisional, sementara kelompok yang lebih muda memiliki lebih banyak kripto dan lebih banyak investasi alternatif," tulis Bank of America dalam laporannya.
Advertisement
Tak Bisa Andalkan Saham dan Obligasi
"Tiga perempat generasi muda setuju bahwa tidak mungkin lagi mencapai imbal hasil di atas rata-rata hanya dengan saham dan obligasi, dibandingkan dengan hanya seperempat generasi X dan generasi yang lebih tua, serupa dengan temuan tahun 2022," ungkap studi tersebut.
Keyakinan ini mendorong mereka untuk mencari alternatif seperti mata uang kripto dan ekuitas swasta. Meskipun minat terhadap mata uang kripto sedikit menurun sejak tahun 2022, aset digital tersebut masih menjadi bagian penting dari portofolio investor muda.
Maka dari itu, bank tersebut melihat kemungkinan para investor akan meningkatkan alokasi mereka pada investasi alternatif, termasuk mata uang kripto, di tahun-tahun mendatang.
JPMorgan Ragu Izin ETF Kripto Bakal Bertambah Usai Bitcoin dan Ethereum
Sebelumnya, bank investasi asal Amerika Serikt, JPMorgan mengungkapkan keraguannya terkait persetujuan izin ETF kripto spot lainnya selain bitcoin dan Ether oleh Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC).
Direktur pelaksana JPMorgan dan ahli strategi pasar global, Nikolaos Panigirtzoglou, melihat keputusan SEC untuk menyetujui perizinan ETF Ether tidak akan meluas mengingat ketidakpastian tentang apakah Ethereum harus diklasifikasikan sebagai sekuritas.
“Kami ragu. Keputusan SEC untuk menyetujui ETF ETH sudah terlalu besar mengingat adanya ambiguitas tentang apakah Ethereum harus diklasifikasikan sebagai keamanan atau tidak,” kata Direktur pelaksana JPMorgan dan ahli strategi pasar global, Nikolaos Panigirtzoglou, dikutip dari News.bitcoin.com, Selasa (28/5/2024).
“Kami tidak berpikir SEC akan melangkah lebih jauh dengan menyetujui Solana atau token ETF lainnya mengingat SEC memiliki pendapat yang lebih kuat (relatif terhadap Ethereum) bahwa token di luar Bitcoin dan Ethereum harus diklasifikasikan sebagai sekuritas,” jelas fia.
Panigirtzoglou menyoroti sifat kontroversial dari keputusan SEC mengenai ETF Ethereum, yang diyakini beberapa analis dipengaruhi secara politik.
Dia menjelaskan bahwa, jika pembuat kebijakan AS meloloskan undang-undang yang mendefinisikan sebagian besar mata uang kripto sebagai non-sekuritas, SEC kemungkinan besar tidak akan menyetujui ETF spot mata uang kripto lainnya.
Banyak pengusaha di industri kripto, termasuk penerbit ETF spot Ether, tidak mengantisipasi SEC akan menyetujui permohonan mereka.
Sebelum persetujuan, Panigirtzoglou memperkirakan kemungkinan 50% SEC menyetujui izin ETF spot Ether. Meskipun demikian, pada 23 Mei, SEC menyetujui delapan formulir 19b-4 untuk ETF spot Ether.
Ketua SEC Gary Gensler secara konsisten menyatakan sebagian besar token kripto, kecuali Bitcoin, adalah sekuritas. Namun, ia belum secara eksplisit mengkonfirmasi bahwa eter bukanlah suatu sekuritas.
Dokumen pengadilan di AS baru-baru ini mengungkapkan bahwa SEC memulai penyelidikan formal terhadap Ether sebagai potensi keamanan tahun lalu.
Advertisement