Sukses

Universitas Wyoming Luncurkan Institut Riset Bitcoin

Bitcoin Research Institute akan resmi dibuka pada bulan Agustus saat semester Musim Gugur untuk tahun 2024-2025 dimulai.

Liputan6.com, Jakarta - Universitas Wyoming Amerika Serikat (AS) akan meluncurkan Institut Riset Bitcoin (Bitcoin Research Institute) pada Agustus. Adanya Pusat Riset Bitcoin ini untuk menyediakan studi dan ulasan yang berkualitas tinggi tentang Bitcoin.

Aktivis Bitcoin dan Professor Universitas Wyoming Bradley Rettler mengumumkan lembaga baru tersebut pada X pada 28 Juli. Ia akan menjabat sebagai direktur lembaga tersebut.

Rettler menggambarkan keadaan terkini penelitian Bitcoin masih sangat buruk dan menekankan bahwa industri tersebut membutuhkan lebih banyak publikasi dan ulasan yang berkualitas tinggi.

Hal ini untuk memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang benar tentang apa itu Bitcoin dan cara kerjanya.

Ia menyoroti sebuah studi di 2018 yang dipimpin oleh Profesor Camilo Mora dari University of Hawaii yang mengklaim bahwa emisi Bitcoin saja dapat meningkatkan pemanasan global hingga 3,6° Fahrenheit (2 Derajat Celsius) pada tahun 2048.

"Mereka gagal memperhitungkan penyesuaian tingkat kesulitan dan tidak tahu ada batasan ukuran blok," jelas Rettler dikutip dari cointelegraph, Selasa (30/7/2024).

"Kesalahan-kesalahan ini masuk ke dalam jurnalisme dan kebijakan. Bitcoin memiliki banyak segi dalam teori, dan bahkan lebih lagi dalam praktik. Jurnalis tidak bisa menjadi ahli, jadi mereka bergantung pada akademisi. Terlalu banyak akademisi yang mengecewakan mereka." tambah dia.

Salah satu profesor di lembaga tersebut adalah Andrew M. Bailey, penulis utama "Resistance Money: A Philosophical Case for Bitcoin." Rettler juga disebut sebagai penulis buku tersebut.

Bitcoin Research Institute akan resmi dibuka pada bulan Agustus saat semester Musim Gugur untuk tahun 2024-2025 dimulai.

2 dari 4 halaman

Harga Bitcoin Bakal Melonjak hingga 2050, Ini Pendorongnya

Sebelumnya, Manajer Aset VanEck, penerbit ETF bitcoin spot dan ether prediksi, harga bitcoin (BTC) dapat menyentuh USD 2,9 juta atau sekitar Rp 47,22 miliar (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah 16.285) pada 2050. Namun, harga BTC itu dapat tercapai usai melewati sejumlah tantangan.

Mengutip Yahoo Finance, ditulis Senin (29/7/2024), berdasarkan asumsi VanEck dalam laporan Rabu pekan lalu, bitcoin akan menjadi bagian penting dari sistem moneter internasional dalam beberapa dekade mendatang. Hal ini karena meningkatnya ketegangan geopolitik dan biaya  pembayaran utang yang membengkak mengikis sistem saat ini.

"Saat kita melihat dunia saat ini, kita melihat ketidakseimbangan ekonomi yang sangat besar, meningkatnya ketidakpercayaan pada lembaga yang ada dan deglobalisasi yang berkelanjutan," ujar Head of Digital Asset Research Van Eck, Matthew Sigel seperti dikutip dari Yahoo Finance.

Ia menambahkan, pihaknya memandang banyak dari distorsi ini berasal dari salah alokasi modal yang sangat besar sejak krisis keuangan global. "Pemerintah (negara-red) G7 telah menyalahgunakan mesin cetak, habiskan uang pinjaman untuk tujuan yang mustahil," ujar Sigel.

 

3 dari 4 halaman

Lindung Nilai Utama

Sigel menilai, bitcoin adalah lindung nilai utama terhadap meningkatnya kecerobohan fiskal ini.

Pada skenario dasar laporan itu,bitcoin akan menjadi media pertukaran utama dalam perdagangan lokal dan global yang mewakili 10 persen perdagangan internasional dan lima persen produk domestik bruto (PDB).

Sementara itu, bitcoin juga akan memperoleh keuntungan sebagai aset cadangan global dengan mengorbankan empat mata uang asing cadangan terbesar antara lain dolar AS, euro, pound Inggris dan yen Jepang yang mencapai bobot 2,5 persen dalam cadangan mata uang internasional.

Jika semuanya berjalan sesuai prediksi VanEck, harga bitcoin akan meningkat nilainya sebanyak 44 kali lipat, naik 16 persen per tahun dari harga di bawah USD 65.000. Kapitalisasi pasar akan melonjak hingga USD 61 triliun.

4 dari 4 halaman

Potensi Risiko

VanEck juga memperingatkan tentang potensi risiko pada masa mendatang yang dapat menghambat ekspansi bitcoin.

Peningkatan permintaan energi oleh penambang akan membutuhkan inovasi, sementara pendapatan dari pemrosesan transaksi harus tumbuh secara dramatis untuk menggantikan imbalan penambangan yang semakin berkurang (yang dipotong setengah setiap empat tahun melalui pengurangan separuh) untuk memberi insentif kepada penambang agar mempertahankan jaringan. Upaya bersama oleh pemerintah di seluruh dunia untuk membatasi atau melarang bitcoin juga merupakan ancaman.

Risiko lebih lanjut yang disoroti dalam laporan tersebut meliputi persaingan dari kripto lain dan lembaga keuangan besar yang menerapkan terlalu banyak kontrol.