Liputan6.com, Jakarta - Pada 12 Maret 2025, Forbes melaporkan otoritas Amerika Serikat telah menyita sekitar 749 Bitcoin dengan nilai sekitar USD 62,5 juta atau sekitar Rp 1 triliun (asumsi kurs Rp 16.430 per dola AS).
Dilansir dari Bitcoin.com, Jumat (14/3/2025), aset digital ini dikaitkan dengan aktivitas ilegal di Silk Road, sebuah pasar gelap online yang beroperasi hingga 2013 dan dikenal sebagai pusat perdagangan narkoba serta pencucian uang.
Penyitaan ini dilakukan atas perintah Jaksa AS untuk Distrik Barat Texas. Aset tersebut diduga berasal dari dua individu yang tidak disebutkan namanya, seorang mantan penjual narkoba di Silk Road dan seorang kaki tangan yang bertanggung jawab mencuci hasil kejahatan melalui bursa kripto.
Advertisement
Selain Bitcoin, pihak berwenang juga berhasil menyita sejumlah besar mata uang asing, koin emas, dan batangan emas.
Jejak Transaksi Ilegal di Silk Road
Silk Road yang ditutup lebih dari satu dekade lalu ternyata masih meninggalkan jejak transaksi yang dapat dilacak. Pemerintah AS telah beberapa kali melakukan penyitaan terkait dengan marketplace ini, termasuk penyitaan Bitcoin senilai miliaran dolar AS pada 2021.
Dalam kasus terbaru ini, penyidik menemukan para tersangka mencoba mencairkan Bitcoin hasil transaksi ilegal melalui beberapa akun sebelum mengonversinya menjadi uang tunai di platform peer-to-peer LocalBitcoins, yang kini telah ditutup.
Aktivitas mencurigakan mereka pertama kali terdeteksi oleh Gemini, sebuah bursa kripto berbasis di AS. Laporan dari Gemini kepada pihak berwenang memungkinkan tindakan hukum berupa penyitaan aset digital tersebut.
Analisis BlockChain yang Mendalam
Penyelidikan ini menunjukkan betapa canggihnya metode yang kini digunakan oleh penegak hukum dalam melacak transaksi mata uang kripto, meskipun transaksi tersebut sudah bertahun-tahun berlalu.
"Analisis blockchain yang mendalam serta kerja sama dengan bursa kripto yang memiliki sistem anti pencucian uang telah membantu kami mengungkap transaksi ilegal ini," ujar seorang pakar forensik digital.
Silk Road sendiri pernah menjadi pusat perdagangan anonim dengan Bitcoin sebagai mata uang utama. Sebelum ditutup, platform ini menghasilkan sekitar 9,5 juta Bitcoin dari berbagai transaksi ilegal.
Ross Ulbricht, pendiri Silk Road, sebelumnya telah menerima pengampunan penuh, namun otoritas tetap berkomitmen untuk melacak aset yang masih beredar dari hasil aktivitas di marketplace tersebut.
Advertisement
Jumlah Bitcoin Disita dari Silk Road
Sejak 2013, total nilai Bitcoin terkait Silk Road yang telah disita mencapai lebih dari USD 4 miliar. Dana hasil penyitaan sering digunakan untuk kompensasi korban atau dialokasikan ke berbagai program penegakan hukum. Para ahli mencatat bahwa kasus ini menggambarkan dua sisi mata uang kripto: di satu sisi menjanjikan anonimitas, tetapi di sisi lain tetap bisa dilacak dengan teknologi yang semakin maju.
Hingga saat ini, belum ada tuntutan pidana terhadap individu yang terlibat dalam kasus terbaru ini. Departemen Kehakiman AS juga belum memberikan pernyataan resmi mengenai potensi tindakan lebih lanjut terhadap mereka yang terlibat.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Langkah Bolivia Pakai Kripto untuk Bayar Impor Energi
Sebelumnya, Pemerintah Bolivia mengambil langkah inovatif dengan memanfaatkan mata uang kripto untuk membayar impor energi, menyusul krisis bahan bakar dan kelangkaan dolar yang semakin parah.
Dilansir dari Yahoo Finance, Kamis (13/3/2025), keputusan ini diumumkan oleh perusahaan energi milik negara, Yacimientos Petrolíferos Fiscales Bolivianos (YPFB), dan pejabat pemerintah dalam pernyataan kepada Reuters pada Rabu lalu.
Krisis Ekonomi Mendorong Bolivia ke Aset Digital
Bolivia tengah menghadapi penurunan drastis dalam cadangan devisa setelah ekspor gas alamnya merosot selama bertahun-tahun. Kondisi ini memperburuk krisis bahan bakar dengan antrean panjang di pom bensin dan meningkatnya protes dari masyarakat yang terdampak.
Untuk mengatasi tantangan ini, YPFB telah menerapkan sistem baru yang memungkinkan penggunaan mata uang kripto dalam transaksi impor energi setelah mendapatkan persetujuan dari pemerintah.
“Mulai sekarang, transaksi dengan mata uang kripto akan dilakukan,” ujar juru bicara YPFB.
Ia menambahkan sistem ini bertujuan untuk mendukung subsidi bahan bakar nasional di tengah keterbatasan cadangan dolar yang semakin kritis.
Transisi ke Kripto: Tantangan dan Harapan
Meskipun sistem pembayaran ini telah disetujui, juru bicara pemerintah menyebutkan YPFB belum sepenuhnya menggunakan aset digital dalam transaksi impor energi, tetapi berencana untuk segera menerapkannya dalam waktu dekat.
Selama beberapa dekade, Bolivia dikenal sebagai pengekspor energi bersih berkat cadangan gas alamnya yang melimpah. Namun, seiring dengan menurunnya produksi gas domestik akibat minimnya eksplorasi baru, negara ini kini beralih menjadi importir energi.
Langkah Bolivia untuk menggunakan kripto dalam perdagangan energi menandakan perubahan besar dalam cara negara berkembang menghadapi tantangan ekonomi global. Dengan semakin banyak negara mencari alternatif terhadap dolar AS.
Advertisement