Sukses

Sistem Hukum Indonesia yang Belum Ramah bagi Disabilitas

Bagi difabel atau disabilitas, persoalan utamanya ada pada gagasan awam yang nir inklusi dan akses infrastruktur.

Liputan6.com, Jakarta - Gagasan inklusi membutuhkan pondasi yang demokratis. Demokratis adalah sebuah syarat yang memungkinkan untuk kemajuan produktivitas manusia, termasuk bagi disabilitas.

Bayangkan jika akses ilmu pengetahuan, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan bisa didapatkan dengan mudah oleh masyarakat. Namun nyatanya, kini kita hidup dalam selubung mengenai demagogi demokratisasi.

Termasuk dalam dunia hukum, demokratisasi harus menjadi alas pijak bagi sistem yang paling dominan dalam kehidupan bangsa ini.

Bagi difabel atau disabilitas, persoalan utamanya ada pada gagasan awam yang nir inklusi dan akses infrastruktur, seperti dilansir dari www.newsdifabel.com, Selasa (10/9/2019).

Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang disebut penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Sedangkan pembagian umum kategori difabel yaitu:

1. Difabel Intelektual, bisa disebut sebagai perlambatan pembaharuan/retardasi mental, kebalikan dari akselerasi, dalam bhs. Inggris disebut slow learner.

2. Difabel Mobilitas, berupa hambatan yang ada di tubuh, gangguan motorik gerak tubuh, autis, paraphlegia.

3. Difabel Komunikasi, yaitu pendengaran, wicara.

4. Difabel Sensorik, yaitu pengelihatan total atau low vision, dll.

5. Difabel Psikososial, yaitu orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ.

Selain itu, menurut Resolusi PBB Nomor 61/106 tanggal 13 Desember 2006, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang tidak mampu menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan individual normal dan/atau kehidupan sosial, sebagai hasil dari disabilitas mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam hal kemampuan fisik atau mentalnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Dari ketiga definisi legal di atas, yang menyamakan adalah disematkannya hak untuk mengakses. Dalam hal ini akses layanan publik termasuk peradilan dan sistem hukum. Dan kita semua dimungkinkan bersentuhan dengan hukum, termasuk disabilitas.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Hukum Pidana

Makna aksesibel di sini adalah bisa teraksesnya sistem hukum pidana oleh difabel tanpa diskriminasi. Setidaknya, ada beberapa hal yang tidak ramah difabel, diskriminatif, dan masih luput atau belum diatur dengan tegas sebagai kepastian hukum dari situasi penyandang difabel.

Beberapa hal tersebut adalah pertama, tentang usia anak. Dalam hukum di Indonesia, setidaknya ada tiga perbedaan tentang batas usia anak.

Kitab Undang-undang Hukup Pidana Pasal 45 menyebut bahwa usia anak adalah sebelum enam belas tahun. Sedangkan UU Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Anak yang Berkonflik dengan Hukum mengatakan definisi anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Berbeda dengan ketentuan dalam KUH Perdata Pasal 330 yang menyatakan bahwa, yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya.

Lalu persoalan datang ketika ada situasi bahwa korban adalah seseorang dengan retardasi mental/difabel intelektual yang usia sesuai kalender misal sudah 25, namun umur psikologisnya (hasil dari analisa ilmiah psikologi) masih 10 tahun. Apa yang akan digunakan; sistem peradilan anak atau dewasa? Belum ada yang mengatur.

Kedua adalah keji, dan diskriminatif. Pasal 4 UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan ayat (2) poin (b) memberikan legitimasi kepada suami untuk berpoligami jika istri menjadi difabel.

"(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: (b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,".

Bahkan pemilihan disksinya pun keliru, masih menggunakan diksi cacat, bukan difabel atau disabilitas.

Ketiga,dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka (26) dinyatakan bahwa yang dapat memberikan keterangan untuk kepentingan penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana adalah ia yang melihat sendiri, mendengar sendiri, mengalami sendiri.

3 dari 3 halaman

Pengakuan Kesetaraan Disabilitas

Dalam definisi tersebut maka saksi-korban penyandang difabel yang mengalami sendiri namun tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, atau bahkan keduanya (difabel ganda), berdasarkan ketentuan KUHAP Pasal 1 angka (26) tidak masuk dalam definisi untuk bisa memberikan keterangan atau kesaksian secara jelas dan rinci, sehingga kesaksiannya pun dinyatakan meragukan.

Konsekuensi lainnya tentang definisi di atas, saksi atau saksi-korban tidak masuk dalam kategori yang bisa diterima oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), terutama karena dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 juga mendefinisikan saksi sama dengan definisi KUHAP.

KUHAP (Pasal 178) hanya mengatur tentang hak khusus untuk saksi bisu atau tuli (termasuk tidak dapat menulis), berhak mendapatkan penerjemah; dan hak untuk mendapatkan semua pertanyaan atau teguran secara tertulis dan menjawab secara tertulis bagi saksi bisu dan/atau tuli-bisu tetapi dapat menulis.

Keempat, UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) terutama Pasal 12 dalam Konvensi.

Di situ secara jelas diatur mengenai kesetaraan hak dan pengakuan di hadapan hukum kepada penyandang disabilitas dimana pun berada sehingga, kewajiban penyelenggara negara adalah membuat agar infrastruktur layanan publik bisa dan mudah diakses oleh penyandang difabel.

Pengakuan kesetaraan perlakuan bagi difabel juga diperkuat oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam Pasal 5 menyebutkan bahwa (1) setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum, (2) setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak, (3) setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Sistem hukum pidana kita harus terus diperbarui agar relevan dengan perkembangan masyarakat, jika tidak, maka implikasinya bisa destruktif. Sebagai contoh yaitu kekerasan seksual yang dialami anak di bawah umur yang juga penyandang difabel di Maluku Utara, Ternate. Korban inisial UI adalah anak dengan difabel ganda (bisu dan tuli) yang menjadi korban pelecehan seksual. Alhasil, sejak dilaporkan ke polisi pada November 2014, terduga pelaku melenggang bebas. Alasan aparat adalah belum memiliki bukti yang cukup, meski kepolisian sudah memeriksa empat orang saksi yaitu ibu korban, guru korban, bibi korban, dan korban.

Memang harus diakui oleh Negara bahwa proses diskriminasi masih hidup menggasak sektor masyarakat tertentu. Difabel adalah minoritas-banyak yang masuk dalam kelompok rentan diskriminasi.

Selain oleh sistem peradilan pidana, proses diskriminasinya juga hadir dari proses seleksi penerimaan pegawai atau karyawan. Tentu kita semua tahu jika ada syarat penerimaan pegawai yang menyatakan harus sehat jasmani dan rohani, sebagai contoh adalah Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Guru dan Dosen, Undang-Undang Peradilan Umum.

 

(Desti Gusrina)