Sukses

Pelukis Disabilitas Asal Salatiga yang Mendunia

Dengan keterbatasan disabilitas yang dimiliki, justru membuat Sabar termotivasi untuk bisa bersaing dengan orang normal pada umumnya.

Liputan6.com, Jakarta - Terlahir tanpa kedua tangan, disabilitas bernama Sabar Subandi berhasil memperoleh beberapa prestasi di bidang seni lukis.

Sederet prestasi berhasil diukir Sabae meski dirinya seorang disabilitas. Pria kelahiran Salatiga pada 1979 silam itu menjadi salah satu dari sembilan anggota Association of Mouth and Foot Painting Artist (AMPFA) asal Indonesia, sebuah organisasi pelukis yang menggunakan kaki dan mulut.

Suami Runisa ini berjuang untuk menjadi anggota AMPFA sejak kelas 3 SD. Ia pun mengaku tak minder saat menekuni seni lukis.

Dengan keterbatasan yang dimiliki, justru membuat Sabar termotivasi untuk bisa bersaing dengan orang normal pada umumnya.

"Saya memulai semuanya sejak duduk taman kanak-kanak pada 1985. Ketika bapak saya jadi penjaga sekolah, saya sering menggambar menggunakan kapur yang berceceran di lantai. Lama-kelamaan bapak menganggap itu sebuah bakat. Kemudian saya ditempa demi masa depan yang jelas lewat bakat saya tersebut," ujar Sabar.

Ia pun berulang kali mengikuti lomba. Karena memiliki kemampuan menggambar yang unik dengan menggunakan kaki, keberadaan Sabar berhasil mencuri perhatian publik saat mengikuti lomba tingkat kota maupun provinsi.

Kemampuan lukis Sabar dengan menggunakan kaki semakin terasah saat dirinya berusia 8 tahun. Dan benar saja, ketika duduk di bangku kelas IV SD, ia dilirik Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA) yang selama ini giat mengasah bakat-bakat para difabel di bidang melukis.

"Ternyata bapak saya ngasih izin begitu aja. Harapan orangtua ya biar mapan dan punya pekerjaan tetap," ungkap Sabar, seraya menambahkan bila ia lalu ikut pameran lukisan AMFPA di Taiwan.

Daya tariknya sebagai pelukis kaki disabilitas membuat mendiang Ibu Negara Indonesia, Tien Soeharto tertarik dengannya. Sabar dan rekan-rekannya bertandang ke Cendana Jakarta untuk meminta doa restu kepada Tien Soeharto.

"Setiap anak diminta buat satu karya. Saya ngasih lukisan pemandangan alam dan Bu Tien memberi kado coretan gambar pepohonan," kenang Sabar.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Masa Sulit Sabar

Sabar menceritakan masa tersulitnya adalah ketika bersekolah. Dia berulangkali ditolak karena kondisinya yang dianggap akan merepotkan. Dari total lima sekolah yang didatangi, semua kompak menolaknya.

"Saya didaftarkan sekolah umum tapi semuanya menolak. Sempat disarankan ke SLB, tapi karena banyak anak tuna grahita dan takut kalau mental saya terhambat, jadinya ibu saya ngotot masuk ke sekolah umum. Satu-satunya SD yang mau menerima saya hanya SD Kalicacing 2," kata dia.

"Lalu saya berlanjut ke SMP Negeri 3 dan SMA Negeri 3 sampai kuliah di Stiba Setya Wacana. Itu perjuangan terberat menempuh pendidikan yang layak," sambungnya.

Sabar menyatakan usahanya melukis baru bisa menampakkan hasil saat kelas V SD. Arswendo Atmowiloto pada saat masih jadi wartawan pernah membeli lukisannya seharga Rp 150 ribu pada 1990 silam.

Saat ini, selain dengan melukis untuk AMPFA, untuk setahunya harus menyetor 15-20 lukisan, Sabar telah menulis buku dan juga mendongeng.

Anggota AMPFA di Indonesia berasal dari Jakarta, Bandung, Medan, Madiun, Gresik, Bali dan Salatiga. Delapan merupakan pelukis kaki dan pelukis mulut. Dia juga mengelola Galeri Sabar Subardi, yang menjadi tempat pameran sekaligus mengasah kemampuan para pelukis muda salatiga.

Walau disabilitas Sabar mengaku tak ada kesulitan selama melukis. Kesulitan terbesarnya jika harus melukis di kanvas berukuran besar.

"Kaki saya tidak bisa menjangkau. Selama ini, yang paling besar hanya berukuran 170 centi," pungkas Sabar.

 

Reporter : Dian Ade Permana

Sumber  : Merdeka.com

 

(Annisa Suryanie)