Sukses

Kisah Salim Harama, Disabilitas Tanpa Tangan yang Gabung Asosiasi Pelukis Swiss

Di tengah kondisinya sebagai seorang penyandang disabilitas, Salim Harama membuktikan bisa melukis dengan menggunakan kakinya.

Liputan6.com, Yogyakarta - Menjadi seorang disabilitas tidak memiliki tangan rupanya tak jadi halangan bagi Salim Harama untuk berkarya. Ia membuktikan bisa melukis dengan menggunakan kakinya.

Dari kedua kakinya itu, justru lahir lukisan-lukisan menawan. Salim Harama tidak pernah menyerah dan putus asa dengan kondisinya sebagai seorang disabilitas.

Pria kelahiran 27 Juli 1968 ini harus kehilangan sepasang tangannya paska mengalami kecelakaan. Salim kecil yang masih duduk di kelas empat SD kala itu menjadi korban kecelakaan kereta api. Kedua tangannya terpaksa diamputasi karena telatnya penanganan dan kurangnya biaya.

"Saya ingat betul. Dulu sebenarnya tangan kanan saya masih bisa diselamatkan tetapi biayanya mahal. Bapak ketika itu sempat bicara ke saya. Kata bapak, saya masih punya banyak saudara. Untuk menyelamatkan tangan kanan saya, bapak yang waktu itu kerjanya cuma macul (petani) harus menjual sawah dan rumah. Padahal sawah satu-satunya tempatnya mendapatkan penghasilan untuk makan. Akhirnya saya mengalah," kenang Salim saat ditemui merdeka.com.

Sebuah lukisan berjudul Demokrasi Amplop sedang dikerjakannya saat merdeka.com bertandang ke rumahnya. Lukisan tersebut menceritakan tentang kondisi demokrasi Indonesia yang identik dengan jual beli suara.

Kuas dipegangnya menggunakan kaki kanan. Goresan-goresan cat pun disapukan ke kanvas yang di dalamnya terdapat gambar beberapa karakter manusia, tangan, sebuah amplop coklat, dan tulisan demokrasi berwarna putih.

Sesekali kaki Salim mencelupkan kuas ke cat acrylic yang sudah disiapkannya. Penuh konsentrasi, Salim mencoba merampungkan lukisan tersebut.

"Dasar lukisan ini saya bikin saat bersama mahasiswa UGM yang demo beberapa waktu lalu. Saya diajak mereka bikin aksi. Saya melukis sambil membacakan puisi karya Rendra. Waktu itu lukisan belum selesai, sekarang mau saya selesaikan," ujar Salim sembari menyelesaikan lukisannya dengan kedua kaki karena kondisinya disabilitas tanpa tangan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Jadi Pemandu Wisata

Salim pertama kali berhijrah selepas kelas 2 SMA. Salim yang mendapatkan bantuan beasiswa dari salah satu yayasan di Yogyakarta ini akhirnya harus meninggalkan rumahnya di Purwodadi. Ia pindah ke Yogyakarta demi meraih cita-cita saat itu, menjadi pemandu wisata.

"Saya ke Yogyakarta terus melanjutkan sekolah kelas 3 di SMA Nusantara yang ada di Sosrowijayan. Itu sekitar tahun 1990. Oleh yayasan saya disekolahkan di Yogyakarta karena ketika itu saya ingin jadi tour guide," tutur Salim.

Keinginannya menjadi pemandu wisata mengantarkan Salim ke Selandia Baru pada 1991. Selepas SMA, yayasan yang menaunginya mengirim Salim ke Selandia Baru untuk belajar Bahasa Inggris.

Selama setahun, Salim tinggal di Selandia Baru. Sepulangnya dari Selandia Baru, Salim diajak bekerja di yayasan tersebut. Salim pun menjadi penerjemah dan membantu administrasi.

Berkenalan dengan dunia seni rupa bagi Salim adalah ketidaksengajaannya. Salim yang belum pernah melukis, pada 1995 saat sedang menemani pameran kerajinan di yayasannya bekerja, bertemu dengan seorang teman disabilitas. Oleh temannya itu, Salim disarankan untuk belajar melukis.

"Waktu itu gak kepikiran akan melukis. Saya konsennya ketika itu membantu yayasan saya. Saya tidak ingin mendua dalam bekerja," ucap Salim.

 

3 dari 4 halaman

Mulai Belajar Lukis

Salim kembali bertemu dengan temannya saat pameran kerajinan di Jakarta pada 1997. Temannya kembali menyarankan untuk melukis.

Kali ini ajakan dari temannya itu pun ditanggapi oleh Salim. Dia mulai meluangkan waktu untuk belajar melukis menggunakan kaki secara autodidak.

"Pertama kali saya masih ingat, saya melukis sebuah pohon Natal. Lukisan itu kemudian saya bawa ke yayasan. Oleh bos saya, lukisan itu kemudian dicetak dan dijadikan kartu ucapan Natal. Semenjak itu saya semakin pede untuk melukis," kata Salim.

Salim pun makin tekun belajar melukis. Dia belajar dengan membaca buku dan didampingi oleh beberapa kawannya dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

"Saya sadar enggak ada bakat melukis. Makanya saya belajar dan berusaha. Pertama diajari saya menggunakan kanvas yang sudah dikotak-kotak dan saya meniru gambar. Kotak-kotaknya buat memermudah belajar saja. Jadi saya belajar keras soalnya kelenturan kaki, membuat garis, membuat sket dan itu memang tidak mudah. Butuh proses," papar dia.

 

4 dari 4 halaman

Gabung Asosiasi Lukis Swiss

Salim kemudian makin mantap menempuh jalur seni lukis. Dia mencoba peruntungannya dengan bergabung ke Association of Mouth and Foot Painting (AMFPA).

Untuk bergabung dengan asosiasi pelukis menggunakan kaki dan tangan yang berpusat di Swiss ini, Salim harus diuji. Ia diminta untuk mengirim fortopolio lukisan-lukisannya.

"Saat diseleksi saya lolos. Organisasi ini bagusnya terus membuat kita berkarya dan belajar. Setiap tahun ada penilaiannya. Kalau tidak lolos penilaian ya tidak bisa bergabung lagi. Penilainya dalam tiga tahun kami harus mengirim minimal 15 lukisan. Kalau tidak lolos seleksi ya karyanya dikembalikan. Kalau lolos seleksi nanti karyanya dimasterkan," kata Salim.

Menurut Salim, di Indonesia hanya ada delapan orang yang tergabung di AMFPA. Salah satunya adalah Salim sendiri.

"Jadi motonya adalah membeli karena kualitas karya lukisannya, bukan membeli karena kasihan," ucap dia.

Dari hal melukis inilah, Salim Harama mampu membiayai keluarganya. Bahkan saat ini anak pertamanya sedang menjalani skripsi dan anak keduanya masih berada semester empat.

"Anak pertama kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Yogyakarta dan sedang skripsi. Anak kedua kuliah arsitektur di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Yogyakarta. Sekarang sudah semester empat," pungkas Salim.

 

Reporter : Purnomo Edi

Sumber : Merdeka