Jakarta - Ega Musriyanti memilih untuk bekerja sebagai pendamping disabilitas. Pekerjaan ini dilakukannya saat akhir pekan selama lima tahun ke belakang.
Dikutip dari DW Indonesia, Senin (11/11/2019), Ega bekerja di Rumah Penyandang Disabilitas Frida Kahlo di kota Köln, Jerman. Setiap akhir pekan, warga asli Jakarta ini bekerja di tempat itu.
Jangankan Sabtu dan Minggu, hari libur nasional pun harus kerap kali ia habiskan di tempat kerja. Rumah penyandang disabilitas Frida Kahlo sudah seperti rumah kedua bagi Ega sejak tahun pertama kuliahnya di Jurusan Kimia di Universitas Reinische Friedrich-Wilhelm, kota Bonn.
Advertisement
Ega kecewa dengan pekerjaan pertamanya di toko roti karena upahnya di bawah standar. Ia lalu tergiur dengan ajakan teman untuk bekerja sebagai pendamping penyandang disabilitas.
Pada awalnya, Ega mengaku bekerja di tempat itu lantaran upah yang ditawarkan lebih besar dari pekerjaan sebelumnya.
Tetapi, lama kelamaan, keharmonisan hubungan dengan para penghuni di Rumah Penyandang Disabilitas Frida Kahlo membuatnya betah untuk kembali dan kembali lagi setiap pekannya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ragam Pekerjaan Ega
Ketika jarum jam menunjukkan pukul 14.00 waktu setempat, ramai dentingan cangkir yang dikeluarkan dari laci, hingga harum semerbak kopi yang baru diseduh menjadi suasana pembuka hari kerja Ega.
Dua buah teko penuh berisi kopi di siapkannya di dapur. Tak lupa susu, teh, buah serta kue disiapkan untuk kudapan sore hari para penghuni Rumah Frida Kahlo.
"Apakah sudah cukup gulanya?," tanya Ega ke salah satu penghuni seraya memasukkan gula ke kopinya. Beberapa penghuni juga ada yang minta tolong diambilkan jus jeruk.
Semua penghuni yang bersantai di ruang kumpul lantai dua mampu dilayani Ega dan dua orang koleganya.
Biasanya, Ega mengambil jadwal kerja untuk pembagian waktu kerja yang kedua, yaitu dimulai dari kegiatan kudapan sore hari hingga pukul 21.00 waktu setempat.
Kegiatan lainnya beragam, seperti mengajak berkeliling di taman, membantu berpakaian, hingga urusan di kamar kecil.
Memang tidak semua penghuni di sini selalu membutuhkan bantuan karena banyak juga dari mereka yang terbilang mandiri untuk melakukan sesuatu.
Jika sedang tidak ada penghuni yang butuh bantuan, Ega bisa sedikit bersantai di ruang tunggu pekerja. Namun ketika bel panggilan di ruang tunggu pekerja berbunyi, maka Ega lekas bergegas menuju kamar pemanggil.
"Setiap bel selalu dianggap panggilan darurat. Walau sedang istirahat dan sendiri harus jalan," kata Ega.
Â
Advertisement
Pelajaran dari Profesi
Memiliki jadwal harian yang sudah padat dengan perkuliahan dan pekerjaan, Ega masih sempatkan diri untuk belajar mengemudikan mobil. Beberapa bulan ini ia ikut sekolah mengemudi.
Satu hal yang sangat dicamkannya selama pelajaran adalah untuk benar-benar memahami teori dan praktiknya. Hal itu agar tidak ada hal buruk menimpa di masa depan.
"Kebanyakan penghuni di sini bisa berada dalam kondisi seperti sekarang karena kecelakaan lalu lintas ya. Aku kan sekarang lagi belajar bawa mobil, nah harus bener-bener belajarnya," kata Ega.
Dari profesinya ini Ega juga belajar untuk lebih bersimpati kepada penyandang disabilitas.
"Kalau ketemu mereka di jalan, ditanya apakah butuh bantuan karena mungkin mereka malu mau tanya atau minta tolong," ucap dia.
Kesedihan Ega terasa ketika mendengar cerita penghuni Rumah Frida Kahlo yang jarang dikunjungi anggota keluarganya.
Hal ini selalu mengingatkan Ega akan kedua orangtuanya di Jakarta. Meski tinggal jauh di benua biru seorang diri, Ega rutin berkomunikasi dengan orangtua. Tujuannya untuk tetap selalu merasakan kehangatan keluarga.
Â
Sempatkan Belajar di Tempat Kerja
Belakangan, Ega makin disibukkan dengan aktivitas kuliah. Maklum saja, kini ia tengah berlomba dengan waktu untuk menyelesaikan skripsinya.
Tidak ada hari libur bagi Ega karena setiap hari Senin hingga Jumat harus berkonsentrasi penuh sejak pagi berkutat dengan penelitiannya di laboatorium kimia.
Kedengarannya melelahkan, tapi Ega sangat menikmatinya sebab ia tidak merasa salah jurusan. Ega memang menyukai pelajaran Kimia sejak di bangku SMA.
Ketika lulus SMA ia mantap mendaftar ke sejumlah universitas di Jerman dengan Jurusan Kimia. Beruntung, Ega diterima di semua universitas yang dilamarnya, namun pilihan jatuh ke universitas di kota kelahiran Beethoven, Bonn.
Pekerjaan rumah dari para dosen pun tak sedikit menyita waktu di luar kampus. Jika Ega harus membawanya ke tempat kerja, waktu istirahat selama 30 menit pun terpaksa harus dibagi dengan persoalan perkuliahan.
Meski demikian, Ega merasa pelajaran kimia yang dipelajarinya membantunya untuk mengerti pekerjaan lebih cepat. Beragam istilah obat-obatan dan jenis penyakit yang dijumpai di lokasi kerja terdengar sudah tak asing di telinga gadis berusia 24 tahun ini.
Di balik itu semua, Ega bangga karena jurusan kimia di universitasnya pernah dipimpin oleh seorang ilmuan dunia, yakni orang pertama yang menemukan struktur senyawa benzena, August Kekulé.
Suka cita lainnya adalah profesor pembimbing skripsinya memfasilitasi mahasiswa bimbingaannya dengan meja kerja dan komputer, di sebuah ruangan yang tak jauh dari laboratorium.
Tentunya hal ini disambut baik oleh Ega, sebab hasil dari perkembangan penelitian di laboratorium bisa segera ditulis.
Advertisement