Liputan6.com, Bandung - Namanya Popon Siti Latifah. Ia merupakan seorang jurnalis disabilitas tunanetra. Dengan dipandu tongkat, perempuan itu menyusuri trotoar Kota Bandung, Jawa Barat menuju lokasi liputan.
Dan, seperti pewarta lain, Popon meliput acara yang sedang berlangsung, mewawancarai narasumber, kemudian akan menuangkannya dalam bentuk artikel.
Baca Juga
Namun, bukannya liputan. Tak jarang, aktivitasnya sebagai jurnalis justru diliput wartawan lain dan jadi bahan berita.
Advertisement
Padahal, bukan itu yang dimau para jurnalis News Difabel, media yang 90 persen personelnya adalah orang dengan disabilitas tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa.
"Ketika kami mewawancara narasumber, justru media lain malah meliput kami. Fokus kami cari berita, tapi kami malah jadi pemberitaan bagi media lain," kata Suhendar, pendiri News Difabel (newsdifabel.com).
"Tantangan yang paling utama adalah memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Karena ini media yang semua dikelola oleh teman-teman difabel," tambah dia.
Popon pun mendambakan kaum disabilitas dianggap setara dengan masyarakat lainnya. Baik itu sebagai jurnalis, maupun dalam pemberitaan di media.
"Media mainstream itu biasanya mengangkat tema difabel, kalau tidak yang paling membanggakan ya menyedihkan begitu. Padahal, kita sama saja dengan masyarakat lain, enggak juga membanggakan banget, enggak juga paling menderita," kata Popon, yang juga seorang instruktur komputer untuk disabilitas tunanetra.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sudut Pandang Kaum Disabilitas
Ada alasan kuat mengapa News Difabel harus ada, yaitu untuk menyuarakan sudut pandangan kaum disabilitas dan menghapus stigma.
Meski menjalani kesehariannya dengan meraba dalam gelap, Suhendar mampu membuktikan bahwa kaum difabel setara dengan orang pada umumnya.
"Kami khusus memberitakan tentang kehidupan dan kondisi-kondisi yang terjadi di lingkungan kaum disabilitas itu sendiri," tutur Suhendar kepada Liputan6.com.
"Sehingga identitas kita adalah News Difabel itu sebagai satu sarana corong sosialisasi bagi masyarakat, dan diharapkan masyarakat bisa lebih tahu lebih jauh tentang keberadaan disabilitas itu sendiri," lanjutnya.
Sejalan dengan Suhendar, Editor dan Kontributor News Difabel Popon Siti Latifah juga ingin mengubah stigma masyarakat terhadap kaum difabel.
Sejak media ini berdiri dua tahun lalu, Popon sudah bertekad bulat agar masyarakat bisa menerima kaum difabel dalam kehidupan sehari-hari.
"Stigma negatif itu ya banyak. Misalkan, sebagai ibu rumah tangga yang memiliki anak, (stigma) negatifnya, saya dianggap sudah pasti enggak bisa mengurus anak saya sendiri," ujar Popon.
"Saya ingin melalui News Difabel ini masyarakat tahu bahwa saya bisa kok mengajar anak saya menulis. Saya bisa kok masak untuk anak dan suami saya," lanjutnya.
Popon menjadi seorang tunanetra sejak berumur 2 tahun dipicu sakit panas yang dideritanya ketika masih balita. Awalnya, dia masih bisa melihat meski sangat terbatas. Namun ketika duduk di bangku SMA, Popon menjadi buta sepenuhnya.
Dia berharap, dengan adanya News Difabel, masyarakat tahu bahwa para penyandang disabilitas sama mampunya dengan orang lain. Mereka pun tak lebih spesial maupun susah dibanding dengan keadaan orang pada umumnya.
"Kita ingin sih sebenarnya menunjukkan eksistensi, sebagai difabel kita juga bisa. Buktinya kita tuna netra bisa tulis artikel, ngirim artikel, kirim-kiriman surat elektronik dan sebagainya, editing teks gitu," pungkas Popon.
Advertisement