Liputan6.com, Jakarta Peluncuran kanal Disabilitas dan Workshop Mobile Journalism (MoJo) Liputan6.com, Selasa 3 Desember lalu berlangsung meriah. Puluhan sahabat disabilitas hadir dalam workshop tersebut. Namun ada pemandangan yang begitu manis di CoHive Plaza Asia, siang itu. Salah seorang sahabat difabel datang dengan ditemani oleh ibu, istri, dan anaknya.
Sahabat difabel itu bernama Zulhamka Julianto Kadir yang akrab dipanggil Anto. Ia sekeluarga sengaja datang dari Bandung untuk mengikuti workshop yang digelar tepat pada Hari Disabilitas Internasional.
Baca Juga
Usut punya usut, rupanya ada alasan mereka rela menempuh perjalanan Bandung-Jakarta pada 3 Desember lalu. Tanggal itu memang menjadi tanggal spesial bagi keluarga Anto. Delapan tahun lalu, Anto dan istrinya, Rina, mengucap janji suci pernikahan pada tanggal tersebut.
Advertisement
“Delapan tahun lalu tepat di tanggal ini kami menikah, udah sewindu nih,” ujar Rina sambil tersipu.
Delapan tahun bukan lah waktu yang singkat untuk dilalui bersama. Susah senang sudah dirasakan berdua, mulai dari sulitnya mencari kerja hingga dikaruniai anak laki-laki bernama Kenzi yang kini usianya menginjak 6 tahun.
“Dulu pernah buka usaha sendiri di rumah tapi sepertinya kalau di rumah terus saya gak akan berkembang,” ujar Anto.
Karenanya, Anto bertekad untuk berkumpul dengan kawan disabilitas lainnya. Ia masuk ke dalam organisasi Bandung Independen Living Center atau BILIK. Dari organisasi tersebut ia mendapat banyak kesempatan kerja sama dan akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai costumer service. Sebelumnya, Anto berusaha mengirim lamaran ke berbagai perusahaan namun tidak ada yang menerimanya.
Sebagai istri, Rina mendukung segala kegiatan positif suaminya. Termasuk mengantar suaminya untuk mengikuti workshop MoJo ini. Ia dan keluarga bahkan rela menunggu hingga akhir acara. “Saya sih mendukung acara positif seperti ini. Suami saya kan memang lulusan broadcasting memang suka menulis berita dan membuat video,” kata Rina.
Rina berharap, usai mengikuti workshop MoJo, Anto lebih luas lagi wawasannya dan lebih banyak berkarya lagi. Ia ingin suaminya memberi manfaat bagi kawan-kawan disabilitas lainnya.
Rina berkisah, Anto suka membuat video mengenai akses untuk disabilitas. Misal, ketika Anto jalan-jalan ke mall ia akan meliput fasilitasnya seperti lift dan toilet di sana, apakah sudah dapat diakses difabel atau belum. Jika sudah, maka Anto akan memberitakannya pada kawan-kawan disabilitas.
Keluarga Inklusi Tuai Prestasi
Rina bukanlah penyandang disabilitas seperti Anto namun hal tersebut bukan masalah baginya. Ia memberi pesan pada masyarakat Indonesia agar tidak memandang sebelah mata pada penyandang disabilitas. Ia berpendapat semua orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing tidak ada yang sempurna.
“Banyak juga temen-temen yang secara fisik gak sempurna tapi punya prestasi yang luar biasa selama dikasih kesempatan. Kadang-kadang yang difabel agak susah cari kerja, tapi kalau diberi kesempatan mereka juga bisa kok memberikan yang terbaik jadi bisa berprestasi juga,” kata Rina.
Ucapan Rina bukan isapan jempol belaka. Suaminya yang seorang tunadaksa membuktikan bahwa disabilitas bukanlah pembatas. Anto adalah sosok disabilitas yang tidak menyerah dengan keadaan. Ia sempat menjadi satu dari sepuluh finalis kompetisi Film Anak Muda 2008 tingkat nasional. Ia juga sempat menjadi pemain drum di bandnya. Bahkan, kegigihan Anto berhasil menghantarkannya ke negeri kangguru pada 2016 silam. Ia mendapatka beasiswa short course selama kurang lebih 20 hari di Sydney, Australia.
Aksesibilitas Indonesia dan Australia
Hidup sebagai istri dari penyandang disabilitas bukan lah sesuatu yang menyulitkan bagi Rina. Ia mengaku tak pernah menemui kesulitan yang berarti selama menjadi istri Anto. Bahkan ia merasa menambah ilmu mengenai cara merawat orang dengan kursi roda. Ia juga sedikit mengingatkan siapa pun agar peduli pada pengguna kursi roda dan disabilitas lainnya. Ia berpendapat tidak hanya orang disabilitas yang bisa menggunakan kursi roda, manusia normal pun bisa jadi menggunakan kursi roda jika mengalami kecelakaan atau hal lainnya.
“Hanya saja akses di fasilitas umum yang kadang sulit untuk disabilitas. Contohnya di Bandung, sulit menggunakan bus yang akses kursi rodanya belum maksimal,” kata Rina.
Terkait aksesibilitas, Anto berkisah mengenai pengalamannya di Australia. Menurutnya, Australia tepatnya di Sydney merupakan contoh kota yang ramah disabilitas. Ia dapat melakukan segala halnya sendirian. Mulai dari keluar penginapan, naik bus, hingga pulang lagi ke penginapan. Selain itu, pengguna kendaraan bermotor di Sidney ketika Anto hendak menyebrang mereka berhenti dengan tertib. “Kalau di Indonesia kan seakan-akan pengendara tidak peduli,” ujar Anto.
Pendidikan Inklusi Sejak Dini Bagi Buah Hati
Rina dan Anto telah dikaruniai momongan, seorang anak laki-laki yang kini usianya menginjak 6 tahun. Ia bernama Kenzi, jika dilihat-lihat Kenzi adalah anak laki-laki yang aktif dan berani berbicara. Ketika ditanya mengenai ayahnya, dengan sigap ia berkata “Bangga sih, karena punya uang,” ujar Kenzi dengan polos. Ia juga sempat mendoakan ayahnya agar mendapat rezeki.
Sebagai orangtua, Rina dan Anto memiliki peran besar dalam memberi pendidikan pada Kenzi. Terlebih perihal disabilitas dan perbedaan. Rina mengaku sering mengajak Kenzi ke acara-acara semacam ini. Ia dibiarkan melihat beragam disabilitas dan perbedaan. Kini Kenzi terbiasa dengan perbedaan tersebut, ia juga merasa bangga pada Ayahnya dan sama sekali tidak minder. Sering kali Anto mengantar Kenzi ke sekolah dan tidak terlihat rasa minder datang dari wajah si kecil. Sempat teman Kenzi bertanya mengenai keadaan Anto. Namun, dengan percaya diri Kenzo menyatakan memang begitu lah ayahnya.
Rina bercerita, sempat di sekolah ada pendidikan berbelanja di super market. Kala itu gurunya menjelaskan mengenai ikan salmon yang berasal dari Australia. Dengan spontan Kenzi berkata “Papaku pernah ke sana,” kata Kenzi dengan bangganya.