Liputan6.com, Jakarta - Gerakan 1.000 lipstik untuk penyandang disabilitas dimulai dari sosial media. Namun seiring berjalannya waktu, banyak yang tergerak ikut gerakan berbagi lipstik untuk mempertebal rasa percaya diri perempuan.
Dilansir BBC Indonesia, Jumat (13/12/2019), perempuan-perempuan disabilitas berkebutuhan khusus ditantang juga untuk mengenal wajahnya dan tampil percaya diri dalam setiap kesempatan melalui make up atau tata rias.
"Dari make up (tata rias), saya belajar untuk percaya diri. Saya lahir 'normal,' tapi penyakit yang membuat saya jadi difabel," ujar disabilitas bernama Laninka Siamiyono yang merupakan penggagas gerakan lipstik untuk difabel.
Advertisement
Menurutnya, semua perempuan terlahir cantik dan punya hak yang sama untuk menjadi cantik. Oleh karena itu, Laninka pun merangkul perempuan disabilitas berkebutuhan khusus dengan mengadakan kelas rias atau make up.
Laninka mengaku sempat kehilangan kepercayaan diri selama hampir 10 tahun. Ia menderita Rheumatoid Arthritis, yaitu penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan sendi.
"Saya malu untuk keluar rumah dengan kursi roda," kata Laninka.
Sampai pada suatu hari Lanika menyadari, make up membantunya agar bisa percaya diri saat menggunakan kursi roda.
Ketika Laninka melihat dirinya di depan cermin dan mencoba pensil alis pemberian temannya, dia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan tampilannya.
Sejak itulah kepercayaan dirinya terbangun. Laninka lantas ingin membagikan pengalaman serta pencapaiannya dengan para penyandang disabilitas lain agar bisa tampil percaya diri sepertinya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kelas Make Up
Laninka pun meluncurkan gerakan 1.000 lipstik untuk difabel dengan pertama-tama membuka kelas make up yang diikuti 20 perempuan berkebutuhan khusus.
Selain kelas make up, Laninka mengumpulkan lipstik dari para donatur dan rutin membagikannya kepada teman-teman berkebutuhan khusus di seluruh Indonesia.
Salah satu peserta, Johanna Caroline atau Jojo sebelumnya tak mengenal cara berdandan. Dia pernah ikut kelas serupa, namun tidak dikhususkan bagi orang-orang difabel.
"Agak canggung, saya berkursi roda sendiri, yang lain bisa jalan," kata Jojo.
Kelas make up untuk difabel baru pertama kalinya ia ikuti. Dengan alat make up yang banyak di meja riasnya, Jojo coba memahami satu persatu kegunaannya.
"Sejujurnya saya enggak pernah make up, satu-satunya yang saya bisa adalah (membentuk) alis," ucap Jojo.
Bagi Jojo, merias bagian alis adalah keharusan bagi dirinya. Ia sapukan kuas bedak taburnya sebagai langkah terakhir untuk menyempurnakan riasannya. Sesekali tertawa, Jojo mengaku masih sering kebingungan dalam melakukan rias wajah.
Pemandu kelas make up Jennifer Tan, yang hari itu ikut membantu jalannya kelas mengatakan, baginya tidak ada bedanya ketika memandu kelas tata rias bagi yang berkebutuhan khusus atau tidak. Jennifer memilih untuk memandu tata rias untuk sehari-hari.
"Difabel atau tidak, make up itu pada dasarnya sama, membuat kita lebih bisa memperlihatkan sisi cantik diri kita yang sudah ada," kata Jennifer.
Bagi Jennifer, cantik itu tidak memilik standar. Dan merias wajah merupakan bagian keseharian siapa pun, bahkan tak hanya perempuan.
Sedangkan bagi Laninka, merias diri juga menjadi medium untuk terapi dan untuk membangun kepercayaan diri serta membuka dunia baru yang telah dibagikannya kepada sesama penyandang disabilitas.
Advertisement