Liputan6.com, Jakarta Dua puluh tahun lalu, tepatnya pada 2002, Frans Santoso memutuskan untuk menjadi penerjemah bahasa isyarat. Ia bergabung dalam Paguyuban Tuna Rungu Katolik atau Paturka di Gereja Katedral. Paturka sudah terbentuk sejak 2001, hampir beriringan dengan masuknya Frans ke paguyuban tersebut.
Mulanya, ia mendapat tugas pelayanan masyarakat dari kampusnya. Namun walau kini kuliahnya sudah lama rampung, pelayanannya masih dilakukan hingga saat ini.
Baca Juga
Frans menjelaskan, beberapa istilah bahasa isyarat dalam peribadatan Katolik itu dapat berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan masing-masing komunitas.
Advertisement
“Misalkan di gereja kita di Katedral dengan gereja non-Katolik lain ya mungkin ada beberapa isyarat tertentu yang agak berbeda,” kata Frans usai ibadah misa di Gereja Katedral Jakarta, Rabu (25/12/2019).
Bahasa Isyarat Tak Bisa Diseragamkan
Frans menambahkan, secara umum Bahasa Isyarat Indonesia atau Bisindo itu masih sangat cair. Hal ini membuat bahasa isyarat tidak dapat diseragamkan dan tidak dapat distandarisasi.
“Contoh sekarang sudah ada Bisindo, tapi Bisindo Jakarta, Bisindo Jogja, nanti Bisindo Bandung, Kalimantan mungkin ada lagi dan itu yang musti kita hormati. Kalau ingin belajar Bisindo di Katedral, kita akan ajarkan Bisindo yang sudah lazim kita pakai,” kata Frans.
Frans pernah menyaksikan perayaan Natal di Bandung melalui televisi dengan adanya penerjemah bahasa isyarat. Ia menemukan adanya beberapa bahasa yang berbeda. Biasanya, bahasa yang berbeda itu adalah yang termasuk dalam istilah-istilah Katolik.
“Misal, Tuhan Yesus, Maria, Natal, pohon Natal itu bagaimana bahasa isyaratnya,” ujarnya.
Selain melayani bahasa isyarat di gereja, Frans juga melayani bahasa isyarat yang umum. Contohnya penggunaan bahasa isyarat di televisi. Hal tersebut membantunya memperkaya kosa kata isyarat yang ia miliki.
Advertisement