Liputan6.com, Jakarta Maryati adalah istri dari R. Ismail Prawira Kusuma, seorang penyandang tunanetra pendiri Yayasan Bakti Islami Takwinul Ummah Karawang. Sebagai non-disabilitas, ia berusaha selalu menanamkan nilai inklusivitas dalam keluarganya.
Menjadi istri dari seorang penyandang tunanetra tak dianggap sebagai hal yang memberatkan oleh Maryati. Ia mengaku pernah menangani satu anak tunanetra ketika menjadi guru Taman Kanak-Kanak.
Baca Juga
“Dulu saya guru TK, saya dipertemukan dengan murid tunanetra. Mungkin ini jalannya Allah untuk saya lebih mengenal sosok laki-laki tunanetra. Dari situ saya banyak belajar cara memperlakukan anak ini,” ujar Maryati ketika ditemui di Karawang, Senin (13/1/2020).
Advertisement
Dalam mendidik anak dengan tunanetra, Maryati memiliki cara tersendiri. Ia mengedepankan ikatan batin dan kasih sayang yang tidak hanya diucap dibibir saja. Anak tersebut bahkan hanya dapat dekat dengannya ketimbang dengan guru lain.
“Dengan sentuhan, perilaku, dan pelukan, dia bisa merasakan kasih sayang kita. Cara khusus penanganan pasti ada, kita harus lebih banyak memberi perhatian dan menggunakan hati,” katanya.
Memberi Pengertian Pada Anak Sejak Dini
Maryati yang kini sudah memiliki buah hati hasil pernikahan dengan Ismail tentunya menerapkan nilai inklusivitas pada anak-anaknya. Sejak usia satu tahun, anak-anaknya diberikan pengertian bahwa sang ayah tidak dapat melihat mereka sedangkan mereka dapat.
Penerapan nilai inklusif sejak dini ternyata membuahkan hasil baik. Seiring bertumbuhnya anak, mereka sama sekali tidak memiliki rasa malu terkait keadaan sang ayah. Sebaliknya, mereka bangga memiliki ayah seperti Ismail.
“Pernah satu ketika, anak saya yang kedua di sekolah diajarkan tentang sahabat Rasul yang tunanetra. Ia berbicara pada teman-temannya dengan bangga bahwa ayahnya pun seorang penyandang tunanetra. Kebetulan hari itu suami saya yang menjemput. Dengan sigap anak saya menuntun ayahnya ke kelas kemudian memperkenalkan pada teman-temannya,” kenang Maryati.
“Saat itu teman-temannya berbaris dan bersalaman satu-satu pada saya,” tambah Ismail.
Maryati berpendapat, jika penanaman nilai inklusif itu tidak diterapkan sejak dini, ia khawatir anak-anak tidak menerima keadaan ayahnya seiring bertambah usia. Dengan melihat perilaku anak yang sangat menerima keadaan Ismail, Maryati menyimpulkan bahwa pendidikan inklusif sejak dini itu sudah merasuk pada diri anak-anaknya.
Advertisement