Sukses

Dari Balai Pelatihan hingga Kedai Kopi Kito Rato

Pertemuan tiga pemuda disabilitas pendiri Kopi Kito Rato berawal dari sebuah pelatihan. Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Penyandang Disabilitas (BBRVPD) menjadi saksi kebersamaan Wahyu Alistia asal Lampung tuna daksa satu tangan, Saldi Rahman asal Padang tanpa s

Liputan6.com, Jakarta Pertemuan tiga pemuda disabilitas pendiri Kopi Kito Rato berawal dari sebuah pelatihan. Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Penyandang Disabilitas (BBRVPD) menjadi saksi kebersamaan Wahyu Alistia asal Lampung tuna daksa satu tangan, Saldi Rahman asal Padang tanpa satu kaki, dan Rendy Agusta asal Riau tanpa tangan kanan.

Program tersebut merupakan salah satu bentuk tanggungjawab dari Kementerian Sosial bagi masyarakat disabilitas. Selama sepuluh bulan terhitung Januari hingga Oktober 2018 mereka dilatih keterampilan di balai yang terletak di Jalan SKB No. 5 Karadenan, Cibinong, Bogor itu.

“Pelatihannya sendiri ada enam bidang yaitu desain grafis, menjahit, elektro, otomotif, program, dan computer,” kata Rendy ketika ditemui di Kopi Kito Rato Ciater, Serpong, Tangerang Selatan (23/1/2020).

Kala itu tiga pemuda ini termasuk dalam angkatan ke-21. Total peserta kala itu sekitar 85 orang pria dan wanita. Terdiri dari penyandang diabilitas daksa dan tuli.

Rendy berpendapat, program ini sangat bagus karena bertujuan menyalurkan difabel untuk mendapat kerja. Di kampung halamannya sendiri, Rendy mengaku para penyandang disabilitas sangat kesulitan mendapatkan kerja.

Di sisi lain, program ini gratis sama sekali. Tempat tinggal, kamar, makan tiga kali sehari, bahkan biaya penerbangan dari kota asa ke lokasi ditanggung balai.

Balai ini menerima penyandang disabilitas dengan kriteria usia 17 sampai 35 tahun dan dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri. “Kalau pendidikan itu tidak dipatok, lulusan SD pun bisa melakukan pelatihan,” ujar Rendy.

2 dari 2 halaman

Sempat Berpisah

Setelah sembilan bulan berlalu, di bulan kesepuluh mereka berpisah dan mendapat pekerjaan masing-masing. Namun, setelah enam bulan bekerja, tiga pemuda ini merasa bahwa mereka tidak berjalan di minat mereka.

Pada akhirnya, Saldi dan Wahyu membicarakan soal usaha kopi. Rendy pun diundang dan ia setuju atas rencana ini.

“Saya sih keluar karena memang saya gak suka kerja di pabrik. Passion saya lebih ke dagang,” ujar Rendy.

Akhirnya, pada Agustus 2019 Kopi Kito Rato berdiri. Dengan bermodal nekat, tabungan hasil kerja, belajar di Youtube, dan mobil pinjaman. Mereka berhasil membuktikan bahwa mimpi itu bisa menjadi kenyataan jika dibarengi dengan usaha dan gotong royong.

Hingga kini mereka berhasil membuka cabang dengan omset sekitar Rp 35 Juta. Tak sampai di situ, mereka juga membuat kampus pelatihan bagi kawan difabel. Hingga kini mereka mengajak 20 penyandang disabilitas untuk mengembangkan keterampilan yang setiap Sabtu dan Minggu diberi materi oleh relawan.

Di Kopi Kito Rato sendiri, yang mulanya mereka hanya bertiga, kini mampu memberdayakan dua difabel dan satu non-difabel untuk menjadi karyawan. Hal ini seperti harapan mereka, yaitu untuk memberdayakan setidaknya 1.000 penyandang disabilitas dari 11 juta difabel usia kerja di Indonesia.