Liputan6.com, Jakarta Cheta Nilawaty, penyandang tunanetra yang aktif menjadi wartawan di salah satu media ternama ibu kota berusaha melawan stigma di masyarakat. Ia mengatakan, penyandang tunanetra tidak hanya bisa jadi tukang pijat.
“Stigma sudah menjadi sahabat sehari-hari. Kalau saya berangkat kerja, sopir ojek daring biasanya menyangka saya adalah tukang pijat,” ujar Cheta dalam M-Talks: Kartini Penggerak Inklusi, Minggu (19/4/2020).
Menurutnya, karena tunanetra, orang-orang tidak menyangka bahwa ia adalah seorang wartawan. Namun, menjelaskan dan mengubah stigma masyarakat tentang orang difabel khususnya tunanetra akan ia lakukan hingga akhir hayatnya.
Advertisement
“Ya seperti kaset, diputar lagi dan lagi sampai rusak.”
Simak Video Berikut Ini:
Kisah Disabilitas Cheta
Cheta tidak terlahir sebagai penyandang tunanetra. Ia kehilangan penglihatannya secara total pada usia 34 tahun tepatnya pada 2016. Kala itu, ia sudah menjadi wartawan di media tempatnya bekerja selama 10 tahun.
Sebelumnya, Mei 2016 ia melakukan operasi mata dan sudah menyangka bahwa penglihatannya dapat hilang total. Maka dari itu, ia mulai mencari pekerjaan lain yang bisa dilakukan oleh tunanetra.
“Tapi stigma saya salah, tunanetra bisa melakukan lebih dari yang dibayangkan orang.”
Setelah seorang kerabat memberi tahunya bahwa ada tempat belajar komputer untuk tunanetra, ia pun menyambangi tempat tersebut.
Selama empat bulan ia menekuni cara menggunakan komputer untuk tunanetra. Penggunaan komputer untuk tunanetra dilengkapi dengan pembaca layar.
“Saya bersyukur, tempat kerja saya masih mengizinkan saya bekerja di sana dan memberikan akses untuk mengisi kanal difabel.”
“Semua orang pasti bisa, asal ada kemauan dan terus belajar,” pungkasnya.
Advertisement