Sukses

Hindari Kelaparan, Gadis Remaja Bonceng Ayah Difabel dengan Sepeda Sejauh 1.200 KM

Jyoti Kumari, gadis berusia 15 tahun di India Timur rela menempuh jarak sejauh 1200 kilometer (745 mil) sambil membonceng ayahnya yang seorang difabel dengan sepedanya.

Liputan6.com, Jakarta Jyoti Kumari, gadis berusia 15 tahun di India Timur rela menempuh jarak sejauh 1200 kilometer (745 mil) sambil membonceng ayahnya yang difabel dengan sepedanya. 

"Aku tidak punya pilihan lain," katanya kepada WashingtonPost.

"Kami tidak akan selamat jika saya tidak bersepeda ke desa saya."

Kumari mengatakan, bahwa dia dan ayahnya berisiko kelaparan jika mereka tinggal di Gurugram, pinggiran kota New Delhi, tanpa penghasilan di tengah lockdown.

Ayahnya, kata dia, cedera karena kecelakaan hingga membuatnya tidak bisa berjalan. Namun ayahnya yang kini difabel masih mencari nafkah dengan mengendarai becak otomatis. Tetapi dengan semua larangan bepergian, ia menjadi bagian dari jutaan pengangguran yang baru.

Sang pemilik becak menuntut sewa yang tidak bisa mereka bayar dan mengancam akan mengusir mereka, kata Kumari. Jadi ia memutuskan untuk membuka tabungannya lalu membeli sepeda dan pulang ke kampung halamannya, sejak Maret.

Kumari bercerita, kalau cuaca cerah, ia bisa membonceng ayahnya dengan sepeda merah mudanya selama 10 hari. Dan mereka bertahan hidup dengan makanan dan air yang diberikan oleh orang asing. Sesekali, Kumari mengistirahatkan kakinya dengan menumpang sebentar di atas truk yang melintas ke arah yang sama dengannya.

 

2 dari 2 halaman

Kisahnya Menarik perhatian dunia

Hingga awal bulan Mei lalu, remaja tersebut dan ayahnya akhirnya tiba di Darbhanga, kampung halaman mereka.

Kumari sendiri merupakan seorang siswa kelas delapan yang pindah dari Desa ke sebuah kota bernama Gurugram pada bulan Januari untuk merawat ayahnya dan terus berusaha untuk bertahan hidup disana dengan ayahnya.

Dia mengatakan bahwa dia masih lelah dari perjalanan jauh yang ditempuhnya. "Itu adalah perjalanan yang sulit, cuacanya terlalu panas, tetapi kami tidak punya pilihan. Saya hanya punya satu tujuan dalam pikiran saya, dan itu adalah untuk mencapai rumah," ujarnya.

Setelah kedatangan mereka, para pejabat desa menempatkan ayah Kumari di sebuah pusat karantina, sebuah kebijakan yang telah diterapkan oleh banyak pemerintah negara bagian dan lokal di India untuk mencoba mencegah para migran yang kembali dari menyebarkan coronavirus. Mereka sekarang semua dikarantina di rumah.

Meskipun kebijakan lockdown di India mampu menghentikan lonjakan jumlah kasus, namun juga ternyata berdampak pada krisis kemanusiaan.

Ribuan orang miskin kembali ke desa mereka yang jauh dengan berjalan kaki, sambil menggendongg para lansia di pundaknya serta para anak kecil mendorong koper barang bawaan. Selain itu, lusinan orang tewas dalam perjalanan, entah karena ditabrak kereta api atau truk, karena kelaparan, atau karena bunuh diri.

Sedangkan kereta api, transportasi paling umum di India, diberhentikan operasinya selama lockdown. Bus, pesawat dan taksi juga dilarang. Tapi, awal bulan ini, pemerintah kembali membuka jalur kereta api dengan terbatas hanya untuk para migran yang ingin pulang ke rumah.

Sebagaimana pada sebagian besar negara, ekonomi di India juga mengalami kelumpuhan. Sehingga pemerintah akhirnya melonggarkan lockdown dalam beberapa minggu terakhir untuk memungkinkan lebih banyak orang kembali bekerja.

Kumari sebenarnya tahu tentang operasi kereta api khusus tersebut, tetapi ayahnya yang tidak bisa berjalan tidak akan bisa mencapai platform kereta api. Maka dari itu ia memutuskan memakai sepeda.

Perjalanan Kumari menarik perhatian Cycling Federation of India. Lembaga pebalap yang mengirim tim untuk olimpiade sampai menawarkan untuk membawanya kembali ke New Delhi dengan kereta api untuk uji coba ketahanan fisik bulan depan.

Berita ini pun sampai terdengar hingga Washington. Amerika Serikat, dan putri Presiden Donald Trump, Ivanka Trump, menyebutnya "a beautiful feat of endurance and love (prestasi indah dari daya tahan dan cinta)" di Twitter.

 

Dengan ketenaran ini, Kumari mengatakan bahwa meskipun dia senang dengan pengakuan itu, namun dia tidak mengayuh sepeda hingga ke kampung halamannya untuk mengejar ketenaran. "Itu keputusan yang diambil dengan putus asa," pungkasnya.