Liputan6.com, Jakarta Pasangan suami-istri tunarungu membagikan cerita terkait tantangan yang harus dialami tunarungu selama pandemi COVID-19.
"Ada banyak kebingungan dan komunikasi terputus. Orang-orang tidak tahu harus berbuat apa,” kata Cody Campbell, yang terlahir tuli. Dia duduk di samping istrinya Melissa melalui zoom, seperti dikutip dari ArkLaTex.
Baca Juga
Pada saat meeting wajah mereka tidak muncul karena program hanya mengenali orang-orang yang berbicara, yang menunjukkan bahwa teknologi juga masih memiliki keterbatasan bagi tunarungu.
Advertisement
Melissa mengatakan, dia menjadi tuli pada usia 18 bulan karena efek samping dari Meningitis. Dia dan Cody menikah dan membesarkan dua anak laki-laki di Benton, Louisiana. Mereka mengatakan kepada saya, mencoba berkomunikasi dengan orang-orang itu sudah sulit, tetapi sekarang pemakaian masker semakin menambah hambatan mereka dalam berkomunikasi.
“Ketika orang memakai masker, sangat sulit untuk memahaminya karena saya benar-benar memahami perkataan seseorang dari ekspresi. Saya membaca (gerakan) bibir sedikit tetapi sulit untuk memakai masker. Kadang-kadang saya harus meminta untuk menurunkan topeng dan kemudian mereka merasa tidak nyaman melakukannya. Jadi itu sulit," kata Cody.
“Bagi saya, saya banyak membaca bibir dan dengan masker, rasanya sangat canggung. Ini seperti mencoba berbicara seperti ini (saat dia menggerakkan tangannya ke wajahnya) dan saya tidak mengerti apa yang mereka katakan, "kata Melissa. Mereka mengatakan topeng bening juga memiliki keterbatasan, misanya saat mereka (masker) berkabut."
Di beberapa negara, terdapat komunitas yang melatih para tunarungu membaca bahasa isyarat. Di AS, nama komunitasnya Open Hands Deaf Services, sebuah organisasi yang membantu para tuna rungu di masyarakat, tempat Cody dan Melissa berlatih bahasa isyarat Amerika yang diajari Steve Evan, pendiri komunitas tersebut. Namun sejak pandemi, pertemuan rutin mereka harus dibatalkan.
Simak Video Berikut Ini:
Kegiatan selama pandemi
“Orang tunarungu adalah kolektivis. Mereka melakukan semuanya bersama-sama,” kata Evans. Ia menjelaskan bahwa sangat penting bagi penyandang tunarungu untuk dapat berinteraksi dengan penyandang tunarungu lainnya. Dia menjelaskan kalau orang biasa menghabiskan hari-hari mereka dengan kebisingan, namun bagi penyandang tunarungu menghabiskan hari-harinya dengan kesunyian. Perlu diingat bahwa mereka, penyandang tunarungu juga membutuhkan komunikasi dengan orang lain. Sehingga biasanya mereka merasa lebih nyaman berbincang dengan sesama tunarungu selain karena tidak hanya lebih mudah menavigasi dunia yang sunyi, tetapi juga lebih merasa nyaman jika dengan sesama tunarungu.
Kebanyakan tunarungu menggunakan bahasa isyarat untuk bercakap-cakap sehingga mereka hanya memiliki interaksi sosial yang terbatas. Kecuali dari kedua belah pihak telah lancar menggunakan bahasa isyarat. Maka dari itu dibutuhkan lebih banyak penerjemah bahasa isyarat. Apalagi di tingkat nasional. "Itu benar-benar masalah besar bagi komunitas tunarungu karena karena tidak adanya penerjemah tunarungu di Gedung Putih," kata Cody.
Keluarga Campbell mengatakan pada awal krisis kesehatan, komunitas mereka tidak menerima informasi yang mereka butuhkan.
“Orang menjadi paranoid dan ada banyak kebingungan tentang informasi dan apa yang benar dan apa yang salah. Ada hal-hal yang perlu kami pahami, ”kata Cody.
“Orang menjadi paranoid dan ada banyak kebingungan tentang informasi dan apa yang benar dan apa yang salah. Itu menakutkan, ”kata Melissa.
Pasangan itu mengatakan bahwa tuna rungu sering kali diabaikan. Jadi mereka ingin mendidik masyarakat tentang budayanya, yang menghargai persahabatan dan percakapan yang baik. Bahkan akan lebih baik jika dapat menginspirasi beberapa orang untuk belajar bahasa isyarat.
“Menurut saya, setiap SD, SMP, dan SMA memiliki ide yang bagus untuk memiliki satu kelas tempat mereka mengajar ASL. Saya pikir itu akan luar biasa, dan orang-orang perlu mempelajari budaya tunarungu juga," kata Cody.
Advertisement