Liputan6.com, Jakarta Disabilitas netra yang dialami seorang anak akan sangat memengaruhi cara anak melakukan interaksi sosial. Menginjak usia prasekolah, anak mulai berinteraksi dengan teman-teman sebayanya diiringi tantangan tersendiri.
Menurut Didi Tarsidi peneliti di Universitas Pendidikan Indonesia, arena utama untuk interaksi sosial bagi anak adalah kegiatan bermain, dan kajian yang dilakukan oleh McGaha & Farran (2001) terhadap sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa anak tunanetra menghadapi banyak tantangan dalam interaksi sosial dengan sebayanya yang non disabilitas.
Baca Juga
“Agar efektif dalam interaksi sosial, anak perlu memiliki keterampilan-keterampilan tertentu, termasuk kemampuan untuk membaca dan menafsirkan sinyal sosial dari orang lain dan untuk bertindak dengan tepat dalam merespon sinyal tersebut,” tulis Didi dalam penelitiannya, dikutip Kamis (10/9/2020).
Advertisement
Anak dengan disabilitas netra umumnya membutuhkan cara khusus untuk memperoleh keterampilan sosial, seperti keterampilan untuk mengawali dan mempertahankan interaksi. Mengingat, salah satu tantangan anak tunanetra adalah mempersepsi isyarat-isyarat komunikasi nonverbal (yang pada umumnya visual).
Tanpa keterampilan ini, anak tunanetra sering kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dan menjadi terpencil dalam kelompoknya.
Didi juga mengutip penelitian Kekelis, Sacks, dan Preisler dalam McGaha dan Farran (2001) yang melaporkan bahwa anak-anak non disabilitas pada mulanya berminat untuk berinteraksi dengan anak tunanetra, tetapi lama kelamaan kehilangan minatnya itu ketika isyarat mereka tidak memperoleh respons yang diharapkan.
Selain itu, anak tunanetra memerlukan waktu untuk dapat diterima karena penerimaan sosial sering didasarkan atas kesamaan. Anak cenderung mengalami penolakan sosial bila mereka dipersepsi sebagai anak yang berbeda dari teman-teman sebayanya.
Simak Video Berikut Ini:
Keterbatasan Bermain
Faktor-faktor tersebut menjadi alasan mengapa anak tunanetra lebih sering melakukan kegiatan bermain “repetitive and stereotyped play”. Mereka sering tidak mengeksplorasi lingkungannya atau obyek-obyek, dan mengarahkan kegiatan bermainnya ke tubuhnya sendiri.
Kegiatan bermain manipulatif dan penggunaan barang mainan secara fungsional juga kurang sering terlihat pada anak tunanetra meskipun banyak dari kegiatan bermain anak prasekolah melibatkan objek-objek yang dapat berfungsi sebagai titik rujukan bersama.
Sebagai alternatif dari bermain dengan objek adalah bermain peran atau pretend play, tetapi anak tunanetra juga ditemukan kurang sering dan kurang berhasil melakukan bermain simbolik atau bermain peran.
Dalam hal ini, anak tunanetra mengalami kerugian ganda, karena kegiatan bermain fantasi sosial terkait dengan perkembangan kompetensi sosial. Selain dari itu, anak tunanetra cenderung mengarahkan kegiatan bermainnya lebih banyak kepada orang dewasa daripada kepada teman sebayanya.
Anak tunanetra memilih untuk berinteraksi dengan orang dewasa karena interaksi ini mungkin lebih bermakna dan menstimulasi daripada interaksi dengan teman sebayanya, dan orang dewasa dapat mengkompensasi keterbatasan keterampilan sosial anak tunanetra itu, misalnya dengan mensubstitusi isyarat visual dengan isyarat verbal.
“Kompensasi yang dilakukan oleh orang dewasa tersebut mungkin dapat menjelaskan temuan Crocker dan Orr (McGaha & Farran, 2001) bahwa anak tunanetra prasekolah, dalam setting sekolah reguler maupun setting program rehabilitasi, 2,5 kali lebih tinggi kemungkinannya daripada anak awas prasekolah untuk berada dekat gurunya, sedangkan anak awas 2,5 kali lebih tinggi kemungkinannya untuk berada dekat teman sebayanya.”
Advertisement