Liputan6.com, Jakarta Memberdayakan masyarakat penyandang disabilitas menjadi kegiatan Ratnawati Sutedjo sejak 2004 silam. Dalam mewujudkan keinginannya untuk membuka lapangan pekerjaan bagi difabel, ia mendirikan sebuah yayasan yang disebut Precious One.
Dalam yayasan ini, para penyandang disabilitas dilatih untuk membuat berbagai produk mulai dari kerajinan tangan hingga makanan. Penyandang disabilitas yang bergabung pun beragam seperti tuli, disabilitas daksa, hingga down syndrome.
Baca Juga
“Pelatihan ada tapi tidak sama antara disabilitas satu dengan disabilitas lainnya. Pertama kita lihat dulu keadaan difabelnya dan lihat apa yang dia bisa lakukan. Contohnya Rahel dengan yang menyangdang tunanetra, dia bisa membuat nugget, hal pertama yang kami lakukan adalah harus mencoba makananya dulu, setelah itu saya akan evaluasi,” kata Ratna saat diwawancarai Liputan6.com, ditulis pada Senin (28/9/2020).
Advertisement
Ketika melakukan proses evaluasi, pihak Precious One akan melakukan standarisasi dari sisi standar bahan yang dipakai, kemasan, desain, dan hal lainnya.
“Kami mentor dari sisi itu dan kami bantu sosialisasikan.”
Berbeda dengan perajut, difabel dengan keahlian merajut juga sudah bergabung dengan Precious One dan melakukan standarisasi yang berbeda dengan Rahel. Untuk melihat kemampuan para perajut, Ratna mengirimkan bahan dan desain untuk dibuat menjadi sebuah karya.
“Kita akan evaluasi dari ketepatan waktu, dari cara mereka membuat desain yang kita mau. Itu semua menjadi pertimbangan kami untuk bisa bekerja sama.”
Simak Video Berikut Ini:
Belajar Dari Pengalaman
Menurut Ratna, standarisasi sangat diperlukan karena produknya pernah ditolak. Pengalaman tersebut menyadarkannya bahwa masih banyak yang perlu dilakukan.
“Masyarakat punya pemikiran bahwa produk disabilitas itu pasti jelek, gak bagus, tidak berkualitas, dan itu sebuah pandangan yang kita gak bisa ubah, maksudnya gak bisa kita salahkan. Karena memang pada kenyataanya pengalaman kami semua SLB mengajarkan keterampilan kepada anak didik mereka. Tapi yang mengajar adalah guru yang hanya bisa mengajarkan dasar-dasarnya saja.”
Akibatnya, barang-barang itu dijual dengan kualitas seadanya. Timbul lah label bahwa mereka membeli karena kasihan.
“Saya bersyukur karena pengalaman itu menyadarkan kita bahwa kualitas harus nomor satu, siapa yang membuat itu nomor dua. Itu cerita di balik karya, jadi itu yang membuat kami sampai sekarang terus berjuang dan bisa bertahan serta akhirnya bekerja sama dengan brand besar.”
Advertisement